Posted by Unknown on Jumat, April 10, 2015 in Islami | No comments
Tidak sedikit remaja yang sering bolong shalatnya, terutama barangkali
shalat Shubuh. Atau mungkin saja ada yang shalat hanya ketika Jumatan
saja, sekali sepekan. Atau yang lebih parah lagi jika setahun sekali.
Artikel ini akan merinci mengenai hukum meninggalkan shalat. Semoga
bermanfaat.
Perlu diketahui, para ulama telah sepakat (baca: ijma’) bahwa dosa
meninggalkan shalat lima waktu lebih besar dari dosa-dosa besar lainnya.
Ibnu Qayyim Al Jauziyah –rahimahullah- mengatakan, ”Kaum
muslimin bersepakat bahwa meninggalkan shalat lima waktu dengan sengaja
adalah dosa besar yang paling besar dan dosanya lebih besar dari dosa
membunuh, merampas harta orang lain, berzina, mencuri, dan minum minuman
keras. Orang yang meninggalkannya akan mendapat hukuman dan kemurkaan
Allah serta mendapatkan kehinaan di dunia dan akhirat.” (Ash Sholah wa Hukmu Tarikiha, Ibnul Qayyim, hal. 7)
Adapun berbagai kasus orang yang meninggalkan shalat, kami dapat rinci sebagai berikut:
Kasus pertama: Meninggalkan shalat dengan mengingkari kewajibannya sebagaimana mungkin perkataan sebagian orang, ‘Sholat oleh, ora sholat oleh.’
[Kalau mau shalat boleh-boleh saja, tidak shalat juga tidak apa-apa].
Jika hal ini dilakukan dalam rangka mengingkari hukum wajibnya shalat,
orang semacam ini dihukumi kafir tanpa ada perselisihan di antara para
ulama.
Kasus kedua:
Meninggalkan shalat dengan menganggap gampang dan tidak pernah
melaksanakannya. Bahkan ketika diajak untuk melaksanakannya, malah
enggan. Maka orang semacam ini berlaku hadits-hadits Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam yang
menunjukkan kafirnya orang yang meninggalkan shalat. Inilah pendapat
Imam Ahmad, Ishaq, mayoritas ulama salaf dari shahabat dan tabi’in.
Contoh hadits mengenai masalah ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Perjanjian antara kami dan mereka (orang kafir) adalah shalat. Barangsiapa meninggalkannya maka dia telah kafir.” (HR. Ahmad, Tirmidzi, An Nasa’i, Ibnu Majah, shahih)
Kasus ketiga:
Ttidak rutin dalam melaksanakan shalat yaitu kadang shalat dan kadang
tidak. Maka dia masih dihukumi muslim secara zhohir (yang nampak pada
dirinya) dan tidak kafir. Inilah pendapat Ishaq bin Rohuwyah yaitu
hendaklah bersikap lemah lembut terhadap orang semacam ini hingga dia
kembali ke jalan yang benar. Wal ‘ibroh bilkhotimah [Hukuman baginya dilihat dari keadaan akhir hidupnya]. (Majmu’ Al Fatawa, 7/617)
Kasus keempat:
Meninggalkan shalat dan tidak mengetahui bahwa meninggalkan shalat
membuat orang kafir. Maka hukum bagi orang semacam ini adalah
sebagaimana orang jahil (bodoh). Orang ini tidaklah dikafirkan
disebabkan adanya kejahilan pada dirinya yang dinilai sebagai faktor
penghalang untuk mendapatkan hukuman.
Kasus kelima:
Mengerjakan shalat hingga keluar waktunya. Dia selalu rutin dalam
melaksanakannya, namun sering mengerjakan di luar waktunya. Maka orang
semacam ini tidaklah kafir, namun dia berdosa dan perbuatan ini sangat
tercela sebagaimana Allah berfirman (yang artinya), “Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya.”
(QS. Al Maa’un [107] : 4-5) (Lihat Al Manhajus Salafi ‘inda Syaikh
Nashiruddin Al Albani, Syaikh Abdul Mun’im Salim, hal. 189-190)
Nasehat Berharga: Jangan Tinggalkan Shalatmu!
Amirul Mukminin, Umar bin Al Khoththob –radhiyallahu ‘anhu- mengatakan,
“Sesungguhnya di antara perkara terpenting bagi kalian adalah shalat.
Barangsiapa menjaga shalat, berarti dia telah menjaga agama. Barangsiapa
yang menyia-nyiakannya, maka untuk amalan lainnya akan lebih
disia-siakan lagi. Tidak ada bagian dalam Islam, bagi orang yang
meninggalkan shalat.“ (Ash Sholah, hal. 12)
Imam Ahmad –rahimahullah- juga mengatakan perkataan yang serupa, “Setiap
orang yang meremehkan perkara shalat, berarti telah meremehkan agama.
Seseorang memiliki bagian dalam Islam sebanding dengan penjagaannya
terhadap shalat lima waktu. Seseorang yang dikatakan semangat dalam
Islam adalah orang yang betul-betul memperhatikan shalat lima waktu.
Kenalilah dirimu, wahai hamba Allah. Waspadalah! Janganlah engkau
menemui Allah, sedangkan engkau tidak memiliki bagian dalam Islam. Kadar
Islam dalam hatimu, sesuai dengan kadar shalat dalam hatimu.“ (Ash
Sholah, hal. 12)
Ibnul Qoyyim mengatakan, “Iman adalah dengan membenarkan (tashdiq).
Namun bukan hanya sekedar membenarkan (meyakini) saja, tanpa
melaksanakannya (inqiyad). Kalau iman hanyalah membenarkan (tashdiq)
saja, tentu iblis, Fir’aun dan kaumnya, kaum sholeh, dan orang Yahudi
yang membenarkan bahwa Muhammad adalah utusan Allah (mereka meyakini
hal ini sebagaimana mereka mengenal anak-anak mereka), tentu mereka
semua akan disebut orang yang beriman (mu’min-mushoddiq).“ (Ash Sholah,
35-36)
Wallahu waliyyu taufiq was sadaad.
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan Komentar Disini