Senin, 27 April 2015

Apakah Nabi Pernah Berbuat Salah?

Ana mau bertanya tentang bagaimana sebenarnya konsep kema’shuman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam itu. Sedangkan kalau kita merujuk kepada al-Qur’an dan as-sunnah, maka akan kita temukan ayat-ayat dalam al-Qur’an yang isinya menegur beliau (misalnya QS. at-Tahrim: 1 dan QS. Abasa: 1-11) dan di dalam as-sunnah maka akan kita temukan juga hal yang semisal, seperti beliau pernah shalat dzuhur 2 rakaat karena lupa, yang akhirnya beliau melakukan sujud sahwi. Beliau shallallahu ‘alahi wa sallam juga ditegur oleh Allah berkenaan dengan fitnah yang terjadi pada ‘Aisyah. Mohon kiranya pa’ Ustad berkenan menjelaskan, apa dan bagaimana sebenarnya konsep kema’shuman Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam. Jazakumullah khairan katsiran.
Ubaid
Alamat: Jakarta Timur
Email:
aerxxxx@yahoo.com
Al Akh Yulian Purnama menjawab:
Mengenai kema’shuman Rasulullah serta para Nabi dan Rasul secara umum, perlu dibagi menjadi dua macam:
1. Kema’shuman dari kesalahan dalam menyampaikan ajaran agama
Yaitu apakah Rasulullah serta para Nabi dan Rasul terjaga dari melakukan kesalahan dalam menyampaikan agama? Jawabnya: ya. Allah Ta’ala berfirman:
آمَنَ الرَّسُولُ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِ مِنْ رَبِّهِ وَالْمُؤْمِنُونَ ۚ كُلٌّ آمَنَ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ لَا نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِنْ رُسُلِهِ ۚ وَقَالُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا ۖ غُفْرَانَكَ رَبَّنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ
Rasul telah beriman kepada Al Quran yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan): “Kami tidak membeda-bedakan antara seseorangpun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya”, dan mereka mengatakan: “Kami dengar dan kami taat”. (Mereka berdoa): “Ampunilah kami ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali“. (QS. Al Baqarah: 285)
Pada ayat di atas, setiap mu’min diwajibkan untuk beriman kepada apa yang dibawa oleh para Nabi dan Rasul, ini menunjukkan bahwa ajaran yang dibawa oleh para Nabi dan Rasul terbebas dari kesalahan, kealpaan dan kecacatan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah– berkata:
ان الأنبياء صلوات الله عليهم معصومون فيما يخبرون به عن الله سبحانه وفى تبليغ رسالاته باتفاق الأمة ولهذا وجب الايمان بكل ما اوتوه
“Para Nabi Shalawatullah ‘alaihim mereka ma’shum dalam mengabarkan dan menyampaikan ajaran agama dari Allah, ini disepakati para ulama. Oleh karena itulah mengimani apa yang mereka bawa adalah wajib” (Majmu’ Fatawa, 289-290/10)
2. Kema’shuman dari dosa dan maksiat
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah– juga menjelaskan bahwa kema’shuman dari dosa dan maksiat terdapat perbedaan pendapat diantara para ulama. Sebagian ulama berpendapat mereka ma’shum secara mutlak. Sebagian yang lain berpendapat bahwa mereka ma’shum dari dosa besar saja. Sebagian yang lain berpendapat bahwa mereka hanya ma’shum dalam penyampaian risalah namun tidak ma’shum dari dosa dan maksiat.
Sebagian ulama yang berpendapat bahwa para Nabi dan Rasul ma’shum secara mutlak berdalil dengan alasan logika, yaitu bagaimana mungkin kita diperintahkan untuk meneladani dan mentaati para Nabi dan Rasul jika mereka pernah berbuat dosa. Alasan logika yang lain adalah, para Nabi dan Rasul adalah manusia-manusia sempurna, jika mereka berbuat dosa dan maksiat, tentu tidak sempurna lagi. Pendapat ini lemah karena hanya didasari oleh logika saja. Maka Syaikhul Islam pun menyanggahnya:
فهذا انما يكون مع البقاء على ذلك وعدم الرجوع والا فالتوبة النصوح التى يقبلها الله يرفع بها صاحبها الى اعظم مما كان عليه كما قال بعض السلف كان داود عليه السلام بعد التوبة خيرا منه قبل الخطيئة
“Logika tersebut bisa saja benar jika para Nabi dan Rasul terus-menerus berbuat dosa lalu tidak ruju’, padahal tidak demikian. Dan taubat nasuha yang diterima oleh Allah dapat mengangkat orang yang bertaubat tersebut kepada martabat yang lebih tinggi daripada sebelum ia bertaubat. Sebagaimana perkataan para salaf:
كان داود عليه السلام بعد التوبة خيرا منه قبل الخطيئة
Nabi Daud ‘Alaihissalam keadaannya lebih mulia setelah bertaubat daripada sebelum ia berbuat kesalahan‘” (Majmu’ Fatawa, 294/10)
Oleh karena itu kita jumpai banyak dalil yang menunjukkan bahwa para Nabi dan Rasul pernah berbuat dosa. Namun jika kita perhatikan setiap dalil yang menunjukkan para Nabi dan Rasul berbuat dosa selalu digandengkan dengan taubat dan ruju’nya mereka.
Nabi Adam dan istrinya ‘Alaihimassalam berkata:
قَالَا رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
Keduanya berkata: “Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi” (QS. Al A’raf: 23)
Nabi Nuh ‘Alaihissalam berkata:
قَالَ رَبِّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أَسْأَلَكَ مَا لَيْسَ لِي بِهِ عِلْمٌ ۖ وَإِلَّا تَغْفِرْ لِي وَتَرْحَمْنِي أَكُنْ مِنَ الْخَاسِرِينَ
Nuh berkata: Ya Tuhanku, sesungguhnya aku berlindung kepada Engkau dari memohon kepada Engkau sesuatu yang aku tiada mengetahui (hakekat)nya. Dan sekiranya Engkau tidak memberi ampun kepadaku, dan (tidak) menaruh belas kasihan kepadaku, niscaya aku akan termasuk orang-orang yang merugi” (QS. Hud: 47)
Allah Ta’ala menceritakan tentang Nabi Daud ‘Alaihissalam :
فَاسْتَغْفَرَ رَبَّهُ وَخَرَّ رَاكِعًا وَأَنَابَ فَغَفَرْنَا لَهُ ذَٰلِكَ ۖ وَإِنَّ لَهُ عِنْدَنَا لَزُلْفَىٰ وَحُسْنَ مَآبٍ
Nabi Daud meminta ampun kepada Tuhannya lalu menyungkur sujud dan bertaubat. Maka Kami ampuni baginya kesalahannya itu. Dan sesungguhnya dia mempunyai kedudukan dekat pada sisi Kami dan tempat kembali yang baik” (QS. Shad: 24-25)
Begitu juga Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Banyak terdapat hadits dari yang menunjukkan bahwa beliau tidak lepas dari kesalahan. Sebagaimana hadits:
سألت عائشة عن دعاء كان يدعو به رسول الله صلى الله عليه وسلم . فقالت : كان يقول ” اللهم ! إني أعوذ بك من شر ما عملت ، وشر ما لم أعمل ” . وفي رواية : ” ومن شر ما لم أعمل
Aisyah ditanya tentang doa yang biasa diamalkan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Ia menjawab: ‘Beliau sering berdoa: ‘Ya Allah, aku berlindung dari keburukan yang telah aku perbuat dan keburukan yang belum aku perbuat’. Dalam riwayat lain: ‘Dari keburukan yang aku belum tahu’‘” (HR. Muslim no.2716)
Oleh karena itu beliau tidak pernah bosan bertaubat. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ تُوبُوا إِلَى اللَّهِ فَإِنِّى أَتُوبُ فِى الْيَوْمِ إِلَيْهِ مِائَةَ مَرَّةٍ
Wahai manusia, bertaubatlah kepada Allah. Sungguh aku biasa bertaubat kepada Allah seratus kali dalam sehari” (HR. Muslim no.7034)
Sehingga pendapat yang kuat adalah sebagaimana yang dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah:
فإن القول بأن الانبياء معصومون عن الكبائر دون الصغائر هو قول أكثر علماء الاسلام وجميع الطوائف حتى إنه قول اكثر أهل الكلام
“Pendapat yang menyatakan bahwa para Nabi itu ma’shum dari dosa besar namun tidak ma’shum dari dosa kecil adalah pendapat mayoritas ulama dan seluruh aliran-aliran Islam yang ada, bahkan sampai-sampai ini pun merupakan pendapat mayoritas ahlul kalam” (Majmu’ Fatawa, 319/4)
Kesimpulan: pendapat yang benar –wallahu’alam-, para Nabi dan Rasul ma’shum dari dosa besar dan ma’shum dari terus-menerus melakukan dosa kecil. Mereka pernah berbuat kesalahan yang tergolong dosa kecil namun segera bertaubat dan pasti diampuni oleh Allah Ta’ala. Dengan demikian akan selaras dengan sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam:
كُلُّ ابْنِ آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِينَ التَّوَّابُونَ
Setiap manusia pasti banyak berbuat salah, dan sebaik-baik orang yang berbuat salah adalah orang yang sering bertaubat” (HR. Tirmidzi no.2687. At Tirmidzi berkata: “Hadits ini gharib”. Di-hasan-kan Al Albani dalam Al Jami Ash Shaghir, 291/18)
Wallahu Ta’ala A’lam

Penulis: Yulian Purnama
Artikel UstadzKholid.Com

Resep Panjang Umur Sebuah Ummat

Dalam karya magnum opus-nya, Al Muqaddimah, Ibnu Khaldun mengemukakan teori siklus kehidupan masyarakat. Melihat perjalanan hidup sebuah masyarakat, menurut teori itu, tak ubahnya seperti melihat perjalanan hidup seorang manusia. Ia pertama-tama lahir, tumbuh, berkembang kemudian dewasa. Ada saat dimana manusia mencapai puncak kesempurnaan potensi yang dia miliki. Tapi, hal itu tidak berlangsung selamanya. Sang waktu tetap menjadi misteri yang tak mampu dikalahkan. Seiring waktu, setelah fase kesempurnaannya, manusia itu menua, lapuk, dan akhirnya mati.
Menurut Ibnu Khaldun, sunnatullah pada individu manusia itu juga berlaku pada masyarakat atau peradaban di dunia ini. Sebuah siklus yang menggambarkan fase-fase yang ia lalui. Dari lahir, tumbuh, sempurna, untuk kemudian tua dan hancur.
Kita tidak akan membahas proses yang terjadi pada seluruh fase dalam siklus itu. Yang mungkin penting untuk kita bicarakan justru bagaimana usaha membangun atau bahkan ”mempertahankan” kelestarian suatu masyarakat.
Nah, dalam kerangka itu, ada sebuah hadits yang menarik untuk disimak. Hadits yang memuat resep panjang umur sebuah umat. Sabda Nabi shallallahu ’alaihi wasallam yang kemudian dikomentari seorang sahabat. Sebuah komentar yang lahir dari ”fiqh” (pemahaman yang mendalam) terhadap hadits.
Al Mustaurid dan ‘Amr bin ‘Ash, dua sahabat Nabi radhiyallahu ‘anhuma, pernah berkumpul bersama beberapa orang. Tiba-tiba, Al Mustaurid berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Hari Kiamat akan terjadi sedang saat itu orang-orang Romawi (Eropa) adalah komunitas yang terbanyak jumlahnya.”
‘Amr bin ‘Ash menyela, “Hati-hatilah kau berbicara.” “Aku menyampaikan apa adanya yang aku dengar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,” balas Al Mustaurid.
Maka ‘Amr bin ‘Ash berkata,
Bila benar yang kau sampaikan itu, itu karena mereka memiliki empat sifat: mereka adalah orang yang sangat hati-hati ketika terjadi fitnah, cepat pulih setelah tertimpa musibah, segera bangkit setelah kalah perang, sangat penyayang kepada orang miskin, yatim dan orang lemah; juga karena sifat kelima yang juga baik: mereka sangat anti terhadap kezaliman penguasa.
”(HR. Muslim)
Bila dicoba untuk disarikan, ada empat sifat yang, menurut’Amr bin ’Ash, merupakan resep panjang umur bangsa Romawi. Pertama, berhati-hati saat terjadi fitnah. Kedua, segera bangkit setelah musibah atau gagal. Ketiga, penyayang terhadap orang lemah. Keempat, anti terhadap kezaliman penguasa.
Ah . . . bila peradaban umat Islam belum menjadi peradaban yang diperhitungkan dewasa ini, mungkin karena kita belum memiliki sifat-sifat tersebut. Atau, bisa jadi kita bahkan baru kali ini membaca hadits itu . . . ?
Sumber : Dari Catatan Ustadz Ilham Jaya Abdul Rauf, Lc

Tips dan Trik Khatam Al Quran Selama di Bulan Ramadhan

Al Qur'an

Baca Al Qur’an
Pada hari-hari biasa, Rasulullah SAW mengatakan bahwa Al Quran dikhatamkan tak boleh lebih cepat dari 3 hari dan tak kurang dari satu bulan, sebagaimana bunyi hadits:
“Bacalah (khatamkanlah) Al Quran setiap sebulan sekali.” Aku menyatakan, “Aku mampu melakukan lebih banyak dari itu.” Beliau pun terus menguranginya sehingga menjadi tiga hari.” (Hadis Riwayat al-Bukhari, 7/93, no. 1842)
Tapi untuk Ramadhan, ada perlakuan khusus. Tiap malam Rasulullah bergantian dengan malaikat Jibril melakukan tadarus dan mengkhatamkan Al Quran. Ulama sekaliber Imam Syafi’i yang sangat berkhidmat pada ilmu, selama Ramadhan memfokuskan perhatiannya pada ibadah-ibadah khusus, antara lain tadarus. Diriwayatkan, beliau bisa menamatkan tadarus Al Quran sebanyak 60 kali selama Ramadhan. Kita tak perlu menelisik lebih jauh, bagaimana caranya itu sampai bisa 60 kali khatam, memang nggak ada urusan lain? Hal yang perlu diperhatikan dan kita contoh adalah Rasulullah dan generasi salaf memberikan perhatian khusus pada bulan Ramadhan untuk ibadah tertentu yang dianjurkan, antara lain tadarus Al Quran.
Kaitannya dengan tadarus Al Quran selama Ramadhan, memang tak bisa cuma modal kepingin. Harus ada upaya kuat agar target khatam Al Quran tercapai. Tentang target berapa kali khatamnya, tentu tak bisa dipukul rata, disesuaikan dengan kondisi masing-masing.
Bagi teman yang tadarus Al Quran masih dengan tempo lambat atau sedikit terbata-bata (karena belum terbiasa atau mungkin tak setiap hari tadarus Quran), jangan bersedih. Waktu Ramadhan ini bisa digunakan untuk memperbanyak kuantitas membaca, selain juga meningkatkan kualitasnya sebisa mungkin. Syukur-syukur bisa mencapai target satu kali khatam sebagaimana hadist di atas. Namun jika tidak bisa mencapai satu kali khatam, fokuskan target pada alokasi waktu yang digunakan untuk tadarus. Kalau biasanya cuma setengah jam per hari, selama Ramadhan ditingkatkan misalnya 2 jam sehari, yang bisa dibagi-bagi lagi dalam beberapa waktu
sesuai selera dan kondisi. Misalnya: setelah sholat subuh, setelah sholat tarawih, menunggu maghrib, atau sesudah sholat dhuhur.
Bagi yang sudah biasa tilawah sehari-hari, untuk mencapai target tadarus di bulan Ramadhan yang lebih tinggi dari biasa juga butuh penataan. Berikut beberapa kiat yang semoga bermanfaat agar target tadarus kita dapat tercapai selama Ramadhan.
  1. Menjelang Ramadhan, tentukan target akan berapa kali khatam; 1, 2, 3, 4 kali putaran atau lebih. Sesuaikan target dengan kemampuan dan kondisi masing-masing. Yang jelas, upayakan lebih dari 1 kali khatam lah, karena1 kali khatam per bulan sesungguhnya merupakan kewajiban kita dalam berinteraksi dengan Al Quran di hari-hari biasa selain bulan Ramadhan.
  2. Ada baiknya kita membaca mulai dari juz 1 pada hari ke-1 Ramadhan, tidak meneruskan batas tilawah harian yang biasanya. Ini agar mudah menghitung pencapaian tadarus kita. Nanti usai Ramadhan, bisa kembali lagi ke batas tilawah yang semula.
  3. Bagi target bulanan dalam target tilawah harian. Untuk target dua kali khatam (60 juz) misalnya, berarti satu hari harus tadarus 2 juz. Maka hari pertama harus membaca sampai juz 2, hari ke-2 tadarus sampai juz 4, dan seterusnya.
  4. Bagi muslimah, jangan lupa perkirakan hari-hari yang hilang karena haid. Jika biasa 7 hari haid, berarti waktu berpacu untuk tadarus tinggal 20-21 hari. Ini dibagi untuk 60 juz (misalnya 2 kali khatam), berarti 1 hari harus tadarus sekurang-kurangnya 3 juz.
  5. Kenali diri dengan baik. Target harian tersebut dapat dibagi-bagi lagi dalam beberapa waktu yang memungkinkan, dapat juga diselesaikan dalam 1 waktu. Ada yang tadarus setiap selesai sholat wajib (berarti dibagi 5 kali), ada yang hanya usai sholat subuh dan sholat tarawih (dibagi 2 kali). Ada juga orang yang mampu membaca 3 kali juz dalam sekali duduk. Tiap orang punya keluangan waktu dan kebiasaan yang berbeda-beda.
  6. Manfaatkan setiap waktu dengan efisien. Kurangi banyak mengobrol atau hal-hal laghwi lainnya, dan alihkan ke untuk tadarus. Jika kita sudah terbiasa membaca dengan tartil, waktu untuk tadarus 1 juz sebenarnya cuma 30-45 menit. Artinya, tadarus dengan target 3 juz per hari (3 kali khatam) hanya butuh waktu 1,5 hingga 2 jam dari 24 jam waktu yang kita miliki setiap hari.
  7. Tadarus merupakan ibadah yang banyak mengunakan mata dan suara. Tapi yang utama adalah mata. Jadi, tak perlu bersuara terlalu keras untuk menghemat tenaga. Jika sedang batuk misalnya, cukup membaca dalam hati juga tak mengapa. Masalah suara saat tadarus yang kadang-kadang makin lama makin berasa sember, sebenarnya saat itu pita suara kita sedang dalam masa adaptasi. Jika kita mengalami hal tersebut, antepin saja, bablas terus, lama-lama suara akan muncul lagi dengan baik. Begitu kata salah seorang ustad Al Hafidz. Tubuh akan menyesuaikan dengan perlakuan yang diterima, meskipun awalnya tak terbiasa dan terasa berat. Sama seperti bangun untuk sahur, awalnya berat, lama-lama terbiasa.
  8. Jika mata pun sudah lelah dan tak mau diajak kompromi untuk tadarus, masih ada ibadah lain untuk berinteraksi dengan Al Quran, yaitu menyimak (tasmi’) Al Quran. Hal ini dapat kita lakukan dari CD player, komputer/laptop, tape recorder atau HP. Ini dilakukan sambil tetap tadabbur, bukan untuk pengantar tidur.
  9. Manfaatkan teknologi dengan bijak. Install telepon seluler kita dengan aplikasi Al Quran digital, juga MP3 Al Quran. Sekarang HP yang low end pun rata-rata sudah dapat dipasang aplikasi semacam ini, dengan mengunduh dari internet. Al Quran digital akan bermanfaat jika kita lupa membawa mushaf saku, jadi kita bisa tadarus dari HP. Juga saat kita di angkutan umum (bis, kereta) mungkin sebagian orang merasa tak nyaman untuk mengeluarkan mushaf kecil, maka Al Quran digital ini bisa digunakan untuk tadarus. Sedang MP3 Al Quran dapat digunakan saat mata sudah benar-benar lelah, sebagaimana poin 8 di atas.
  10. Usahakan selalu membawa mushaf Al Quran saku kemana pun pergi, sehingga bisa tadarus di mana saja dan kapan saja. Bagi yang tidak biasa dengan Al Quran saku, bisa dengan Al Quran yang lebih besar.
  11. Catat batas terakhitr kali tadarus di tempat yang mudah diakses, selain di mushaf Al Quran kecil yang kita bawa. Ini untuk mengatisipasi saat mushaf Al Quran lupa tidak dibawa, kita tetap bisa melanjutkan tadarus di mana saja sesuai batas tadarus kita. Biasanya yang paling mudah adalah mencatat di organizer HP. Denganbegitu, kita tak akan tergantung pada 1 mushaf, tapi bisa tadarus dengan mushaf yang lain atau dengan Al Quran digital di HP. Asal mushaf/aplikasi yang digunakan sama-sama standar (Al Quran pojok, Utsmani).
  12. Kadang-kadang kita perlu menabung banyak tadarus di awal-awal Rmadhan, mumpung masih semangat. Jika target harian 3 juz misalnya, bisa saja digeber hingga 6-7 juz per hari. Ini untuk mengantisipasi hal-hal tak terduga di belakang hari. Mulai banyak jadwal kegiatan baksos Ramadhan, atau undangan ifthor (buka puasa) dari sana-sini, cukup menyita waktu untuk tadarus kita.
  13. Komitmen untuk menghukum diri jika target tadarus harian tidak tercapai. Sisa target yang tidak tercapai harus segera dipenuhi pada hari berikutnya, jangan dibiarkan menumpuk terlalu lama. Misalnya hari ke-1 seharusnya tadarus hingga juz 2 tapi baru mencapai 1 juz, maka hari ke-2 harus tadarus 3 juz yaitu juz 2, 3 dan 4.
  14. Cari tempat tadarus yang paling mampu membuat kita bertahan lama untuk duduk tenang. Jangan tempat yang terlalu nyaman karena akan ada godaan mengantuk sehingga tak sadar dapat tertidur setelah tadarus beberapa lama.
  15. Lawan kantuk sebisa mungkin. Ganti-ganti posisi dan tempat tadarus jika kantuk mulai menggoda. Pindah ke ruangan lain akan menimbulkan suasana baru sehingga kantuk hilang. Atau regangkan otot sebentar. Atau ganti posisi, capek membaca Al Quran sambil duduk, bisa tadarus sambil berdiri. Tapi jangan tadarus sambil berbaring (kecuali terpaksa, misalnya harus bedrest), yakin deh hal itu tak akan bertahan lama untuk menjemput mimpi. Atau wudhu lagi, atau mandi sekalian. Rasa mengantuk bisa juga diatasi dengan minuman panas atau asam, sesuai kebiasaan masing-masing.
  16. Bisa juga tadarus bergiliran dalam keluarga antara suami-istri- anak, sebagaimana Rasul dengan malaikat Jibril. Selain membangun suasana ruhiyah di rumah, jika ada yang mulai mengantuk akan ada orang lain yang mengingatkan. Saat tak giliran tadarus, tugasnya adalah menyimak dengan baik, bukan main HP atau ngeloyor ke ruang lain (kecuali darurat).
  17. Jika menjelang akhir-akhir Ramadhan target tadarus tampaknya belum tercapai, manfaatkan waktu 10 hari terakhir dengan baik. Saat i’tikaf di masjid, biasanya akan memacu kita untuk mampu lebih banyak tadarus Al Quran. Suasana ruhiyah di dalam masjid di mana semua orang juga memperbanyak tadarus, akan mempengaruhi kita untuk mencoba bertahan. Tadarus, tertidur sebentar, tadarus lagi, dan seterusnya, hanya terpotong waktu sholat. Jika dilaksanakan dengan baik, saat i’tikaf ini dalam sehari bisa tadarus 10-15 juz.
  18. Inti dari semua kiat di atas adalah quwwatul azzm, kuatnya kemauan kita untuk dapat beribadah dengan baik seperti yang kita targetklan.
  19. Terakhir, banyak berdoa pada Allah senantiasa minta dikuatkan dan agar kita dapat mencapai target yang sudah dicanangkan.
Ya Rabb, mudahkan kami untuk menjadikan Al Quran ini sebagai penghibur kami.
Sumber : fimadani.com

Kisah Adzan Terkahir Bilal bin Rabah Radiyallahu Anhu

Gambar

Pada waktu dhuha di hari Senin 12 Rabi’ul Awal 11 H (hari wafatnya Rasulullah shalallahu alaihi wasallam) masuklah putri beliau Fathimah radhiyallahu anha ke dalam kamar Rasulullah shalallahu alaihi wasallam, lalu dia menangis saat masuk kamar Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam. Dia menangis karena biasanya setiap kali dia masuk menemui Rasullullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam, beliau berdiri dan menciumnya di antara kedua matanya, akan tetapi sekarang beliau tidak mampu berdiri untuknya. Maka Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda kepadanya: ”Mendekatlah kemari wahai Fathimah.” Beliaupun membisikkan sesuatu di telinganya, maka dia pun menangis. Kemudian beliau bersabda lagi untuk kedua kalinya:” Mendekatlah kemari wahai Fathimah.” Beliaupun membisikkan sesuatu sekali lagi, maka diapun tertawa.
Maka setelah kematian Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam, mereka bertanya kepada Fathimah : “Apa yg telah dibisikkan oleh Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam kepadamu sehingga engkau menangis, dan apa pula yang beliau bisikkan hingga engkau tertawa?” Fathimah berkata: ”Pertama kalinya beliau berkata kepadaku: ”Wahai Fathimah, aku akan meninggal malam ini.” Maka akupun menangis. Maka saat beliau mendapati tangisanku beliau kembali berkata kepadaku:” Engkau wahai Fathimah, adalah keluargaku yg pertama kali akan bertemu denganku.” Maka akupun tertawa.
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam memanggil Hasan dan Husain, beliau mencium keduanya dan berwasiat kebaikan kepada keduanya. Lalu Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam memanggil semua istrinya, menasehati dan mengingatkan mereka. Beliau berwasiat kepada seluruh manusia yang hadir agar menjaga shalat. Beliau mengulang-ulang wasiat itu.
Lalu rasa sakitpun terasa semakin berat, maka beliau bersabda:” Keluarkanlah siapa saja dari rumahku.” Beliau bersabda:” Mendekatlah kepadaku wahai ‘Aisyah!” Beliaupun tidur di dada istri beliau ‘Aisyah radhiyallahu anha. ‘Aisyah berkata:” Beliau mengangkat tangan beliau seraya bersabda:” Bahkan Ar-Rafiqul A’la bahkan Ar-Rafiqul A’la.” Maka diketahuilah bahwa disela-sela ucapan beliau, beliau disuruh memilih diantara kehidupan dunia atau Ar-Rafiqul A’la.
Masuklah malaikat Jibril alaihis salam menemui Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam seraya berkata:” Malaikat maut ada di pintu, meminta izin untuk menemuimu, dan dia tidak pernah meminta izin kepada seorangpun sebelummu.” Maka beliau berkata kepadanya:” Izinkan untuknya wahai Jibril.” Masuklah malaikat Maut seraya berkata:” Assalamu’alaika wahai Rasulullah. Allah telah mengutusku untuk memberikan pilihan kepadamu antara tetap tinggal di dunia atau bertemu dengan Allah di Akhirat.” Maka Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda:” Bahkan aku memilih Ar-Rafiqul A’la (Teman yang tertinggi), bahkan aku memilih Ar-Rafiqul A’la, bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah yaitu :para nabi, para shiddiqiin, orang-orang yg mati syahid dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah rafiq (teman) yang sebaik-baiknya.”
‘Aisyah menuturkan bahwa sebelum Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam wafat, ketika beliau bersandar pada dadanya, dan dia mendengarkan beliau secara seksama, beliau berdo’a:
“Ya Allah, ampunilah aku, rahmatilah aku dan susulkan aku pada ar-rafiq al-a’la. Ya Allah (aku minta) ar-rafiq al-a’la, Ya Allah (aku minta) ar-rafiq al-a’la.” Berdirilah malaikat Maut disisi kepala Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam- sebagaimana dia berdiri di sisi kepala salah seorang diantara kita- dan berkata:” Wahai roh yang bagus, roh Muhammad ibn Abdillah, keluarlah menuju keridhaan Allah, dan menuju Rabb yang ridha dan tidak murka.”
Sayyidah ‘Aisyah berkata:”Maka jatuhlah tangan Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam, dan kepala beliau menjadi berat di atas dadaku, dan sungguh aku telah tahu bahwa beliau telah wafat.” Dia berkata:”Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan, tidak ada yang kuperbuat selain keluar dari kamarku menuju masjid, yang disana ada para sahabat, dan kukatakan:” Rasulullah telah wafat, Rasulullah telah wafat, Rasulullah telah wafat.” Maka mengalirlah tangisan di dalam masjid. Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhu terduduk karena beratnya kabar tersebut, ‘Ustman bin Affan radhiyallahu anhu seperti anak kecil menggerakkan tangannya ke kanan dan kekiri. Adapun Umar bin al-Khaththab radhiyallahu anhu berkata:” Jika ada seseorang yang mengatakan bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam telah meninggal, akan kupotong kepalanya dengan pedangku, beliau hanya pergi untuk menemui Rabb-Nya sebagaimana Musa alaihis salam pergi untuk menemui Rabb-Nya.” Adapun orang yg paling tegar adalah Abu Bakar radhiyallahu anhu, dia masuk kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam, memeluk beliau dan berkata:”Wahai sahabatku, wahai kekasihku, wahai bapakku.” Kemudian dia mencium Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam dan berkata : ”Anda mulia dalam hidup dan dalam keadaan mati.”
Keluarlah Abu Bakar menemui manusia dan berkata:” Barangsiapa menyembah Muhammad, maka Muhammad sekarang telah wafat, dan barangsiapa yang menyembah Allah, maka sesungguhnya Allah kekal, hidup, dan tidak akan mati.” Maka akupun keluar dan menangis, aku mencari tempat untuk menyendiri dan aku menangis sendiri.”
Inna lillahi wainna ilaihi raji’un, telah berpulang ke rahmat Allah orang yang paling mulia, orang yg paling kita cintai pada waktu dhuha ketika memanas di hari Senin 12 Rabiul Awal 11 H tepat pada usia 63 tahun lebih 4 hari. semoga shalawat dan salam selalu tercurah untuk Nabi kiat tercinta Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wassalam.
Langit Madinah kala itu mendung. Bukan mendung biasa, tetapi mendung yang kental dengan kesuraman dan kesedihan. Seluruh manusia bersedih, burung-burung enggan berkicau, daun dan mayang kurma enggan melambai, angin enggan berhembus, bahkan matahari enggan nampak. Seakan-akan seluruh alam menangis, kehilangan sosok manusia yang diutus sebagai rahmat sekalian alam. Di salah satu sudut Masjid Nabawi, sesosok pria yang legam kulitnya menangis tanpa bisa menahan tangisnya.
Waktu shalat telah tiba.
Bilal bin Rabah, pria legam itu, beranjak menunaikan tugasnya yang biasa: mengumandangkan adzan.
“Allahu Akbar, Allahu Akbar…”
Suara beningnya yang indah nan lantang terdengar di seantero Madinah. Penduduk Madinah beranjak menuju masjid. Masih dalam kesedihan, sadar bahwa pria yang selama ini mengimami mereka tak akan pernah muncul lagi dari biliknya di sisi masjid.
“Asyhadu anla ilaha illallah, Asyhadu anla ilaha ilallah….”
Suara bening itu kini bergetar. Penduduk Madinah bertanya-tanya, ada apa gerangan. Jamaah yang sudah berkumpul di masjid melihat tangan pria legam itu bergetar tak beraturan.
“Asy…hadu.. an..na.. M..Mu..mu..hammmad…”
Suara bening itu tak lagi terdengar jelas. Kini tak hanya tangan Bilal yang bergetar hebat, seluruh tubuhnya gemetar tak beraturan, seakan-akan ia tak sanggup berdiri dan bisa roboh kapanpun juga. Wajahnya sembab. Air matanya mengalir deras, tidak terkontrol. Air matanya membasahi seluruh kelopak, pipi, dagu, hingga jenggot. Tanah tempat ia berdiri kini dipenuhi oleh bercak-bercak bekas air matanya yang jatuh ke bumi. Seperti tanah yang habis di siram rintik-rintik air hujan.
Ia mencoba mengulang kalimat adzannya yang terputus. Salah satu kalimat dari dua kalimat syahadat. Kalimat persaksian bahwa Muhammad bin Abdullah adalah Rasul ALLAH.
“Asy…ha..du. .annna…”
Kali ini ia tak bisa meneruskan lebih jauh.
Tubuhnya mulai limbung.
Sahabat yang tanggap menghampirinya, memeluknya dan meneruskan adzan yang terpotong.
Saat itu tak hanya Bilal yang menangis, tapi seluruh jamaah yang berkumpul di Masjid Nabawi, bahkan yang tidak berada di masjid ikut menangis. Mereka semua merasakan kepedihan ditinggal Kekasih ALLAH untuk selama-lamanya. Semua menangis, tapi tidak seperti Bilal.
Tangis Bilal lebih deras dari semua penduduk Madinah. Tak ada yang tahu persis kenapa Bilal seperti itu, tapi Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallahu anhu tahu.
Ia pun membebastugaskan Bilal dari tugas mengumandangkan adzan. Saat mengumandangkan adzan, tiba-tiba kenangannya bersama Rasulullah shalallahu alaihi wasallam berkelabat tanpa ia bisa membendungnya. Ia teringat bagaimana Rasulullah shalallahu alaihi wasallam memuliakannya di saat ia selalu terhina, hanya karena ia budak dari Afrika. Ia teringat bagaimana Rasulullah shalallahu alaihi wasallam menjodohkannya. Saat itu Rasulullah meyakinkan keluarga mempelai wanita dengan berkata, “Bilal adalah pasangan dari surga, nikahkanlah saudari perempuanmu dengannya”.
Pria legam itu terenyuh mendengar sanjungan Sang Nabi akan dirinya, seorang pria berkulit hitam, tidak tampan, dan mantan budak.
Kenangan-kenangan akan sikap Rasul yang begitu lembut pada dirinya berkejar-kejaran saat ia mengumandangkan adzan. Ingatan akan sabda Rasul, “Bilal, istirahatkanlah kami dengan shalat.” lalu ia pun beranjak adzan, muncul begitu saja tanpa ia bisa dibendung.
Kini tak ada lagi suara lembut yang meminta istirahat dengan shalat. Bilal pun teringat bahwa ia biasanya pergi menuju bilik Nabi yang berdampingan dengan Masjid Nabawi setiap mendekati waktu shalat. Di depan pintu bilik Rasul, Bilal berkata, “Saatnya untuk shalat, saatnya untuk meraih kemenangan. Wahai Rasulullah, saatnya untuk shalat.”
Kini tak ada lagi pria mulia di balik bilik itu yang akan keluar dengan wajah yang ramah dan penuh rasa terima kasih karena sudah diingatkan akan waktu shalat. Bilal teringat, saat shalat ‘Ied dan shalat Istisqa’ ia selalu berjalan di depan. Rasulullah dengan tombak di tangan menuju tempat diselenggarakan shalat. Salah satu dari tiga tombak pemberian Raja Habasyah kepada Rasulullah shalallahu alaihi wasallam. Satu diberikan Rasul kepada Umar bin Khattab, satu untuk dirinya sendiri, dan satu ia berikan kepada Bilal. Kini hanya tombak itu saja yang masih ada, tanpa diiringi pria mulia yang memberikannya tombak tersebut. Hati Bilal makin perih. Seluruh kenangan itu bertumpuk-tumpuk, membuncah bercampur dengan rasa rindu dan cinta yang sangat pada diri Bilal. Bilal sudah tidak tahan lagi. Ia tidak sanggup lagi untuk mengumandangkan adzan.
Abu Bakar tahu akan perasaan Bilal. Saat Bilal meminta izin untuk tidak mengumandankan adzan lagi, beliau mengizinkannya. Saat Bilal meminta izin untuk meninggalkan Madinah, Abu Bakar kembali mengizinkan. Bagi Bilal, setiap sudut kota Madinah akan selalu membangkitkan kenangan akan Rasul, dan itu akan semakin membuat dirinya merana karena rindu. Ia memutuskan meninggalkan kota itu. Ia pergi ke Damaskus bergabung dengan mujahidin di sana. Madinah semakin berduka. Setelah ditinggal al-Musthafa, kini mereka ditinggal pria legam mantan budak tetapi memiliki hati secemerlang cermin.
Awalnya, ash-Shiddiq merasa ragu untuk mengabulkan permohonan Bilal sekaligus mengizinkannya keluar dari kota Madinah, namun Bilal mendesaknya seraya berkata, “Jika dulu engkau membeliku untuk kepentingan dirimu sendiri, maka engkau berhak menahanku, tapi jika engkau telah memerdekakanku karena Allah, maka biarkanlah aku bebas menuju kepada-Nya.”
Abu Bakar menjawab, “Demi Allah, aku benar-benar membelimu untuk Allah, dan aku memerdekakanmu juga karena Allah.”
Bilal menyahut, “Kalau begitu, aku tidak akan pernah mengumandangkan azan untuk siapa pun setelah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam wafat.”
Abu Bakar menjawab, “Baiklah, aku mengabulkannya.” Bilal pergi meninggalkan Madinah bersama pasukan pertama yang dikirim oleh Abu Bakar. Ia tinggal di daerah Darayya yang terletak tidak jauh dari kota Damaskus. Bilal benar-benar tidak mau mengumandangkan adzan hingga kedatangan Umar ibnul Khaththab ke wilayah Syam, yang kembali bertemu dengan Bilal Radhiallahu ‘anhu setelah terpisah cukup lama.
Jazirah Arab kembali berduka. Kini sahabat terdekat Muhammad shalallahu alaihi wasallam, khalifah pertama, menyusulnya ke pangkuan Ilahi. Pria yang bergelar Al-Furqan menjadi penggantinya. Umat Muslim menaruh harapan yang besar kepadanya. Umar bin Khattab berangkat ke Damaskus, Syria. Tujuannya hanya satu, menemui Bilal dan membujuknya untuk mengumandangkan adzan kembali. Setelah dua tahun yang melelahkan; berperang melawan pembangkang zakat, berperang dengan mereka yang mengaku Nabi, dan berupaya menjaga keutuhan umat; Umar berupaya menyatukan umat dan menyemangati mereka yang mulai lelah akan pertikaian. Umar berupaya mengumpulkan semua muslim ke masjid untuk bersama-sama merengkuh kekuatan dari Yang Maha Kuat. Sekaligus kembali menguatkan cinta mereka kepada Rasul-Nya.
Umar membujuk Bilal untuk kembali mengumandangkan adzan. Bilal menolak, tetapi bukan Umar namanya jika khalifah kedua tersebut mudah menyerah. Ia kembali membujuk dan membujuk.
“Hanya sekali”, bujuk Umar. “Ini semua untuk umat. Umat yang dicintai Muhammad, umat yang dipanggil Muhammad saat sakaratul mautnya. Begitu besar cintamu kepada Muhammad, maka tidakkah engkau cinta pada umat yang dicintai Muhammad?” Bilal tersentuh. Ia menyetujui untuk kembali mengumandangkan adzan. Hanya sekali, saat waktu Subuh..
Hari saat Bilal akan mengumandangkan adzan pun tiba.
Berita tersebut sudah tersiar ke seantero negeri. Ratusan hingga ribuan kaum muslimin memadati masjid demi mendengar kembali suara bening yang legendaris itu.
“Allahu Akbar, Allahu Akbar…”
“Asyhadu anla ilaha illallah, Asyhadu anla ilaha illallah…”
“Asyhadu anna Muhammadarrasulullah…”

Sampai di sini Bilal berhasil menguatkan dirinya. Kumandang adzan kali itu beresonansi dengan kerinduan Bilal akan Sang Rasul, menghasilkan senandung yang indah lebih indah dari karya maestro komposer ternama masa modern mana pun jua. Kumandang adzan itu begitu menyentuh hati, merasuk ke dalam jiwa, dan membetot urat kerinduan akan Sang Rasul. Seluruh yang hadir dan mendengarnya menangis secara spontan.
“Asyhadu anna Muhammadarrasulullah…”
Kini getaran resonansinya semakin kuat. Menghanyutkan Bilal dan para jamaah di kolam rindu yang tak berujung. Tangis rindu semakin menjadi-jadi. Bumi Arab kala itu kembali basah akan air mata.
“Hayya ‘alash-shalah, hayya ‘alash-shalah…”
Tak ada yang tak mendengar seruan itu kecuali ia berangkat menuju masjid.
“Hayya `alal-falah, hayya `alal-falah…”
Seruan akan kebangkitan dan harapan berkumandang. Optimisme dan harapan kaum muslimin meningkat dan membuncah.
“Allahu Akbar, Allahu Akbar…”
Allah-lah yang Maha Besar, Maha Perkasa dan Maha Berkehendak. Masihkah kau takut kepada selain-Nya? Masihkah kau berani menenetang perintah-Nya?
“La ilaha illallah…”
Tiada tuhan selain ALLAH. Jika engkau menuhankan Muhammad, ketahuilah bahwa ia telah wafat. ALLAH Maha Hidup dan tak akan pernah mati.




Namanya adalah Bilal bin Rabah, Muadzin Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam, memiliki kisah menarik tentang sebuah perjuangan mempertahankan aqidah. Sebuah kisah yang tidak akan pernah membosankan, walaupun terus diulang-ulang sepanjang zaman. Kekuatan alurnya akan membuat setiap orang tetap penasaran untuk mendengarnya.
Bilal lahir di daerah as-Sarah sekitar 43 tahun sebelum hijrah. Ayahnya bernama Rabah, sedangkan ibunya bernama Hamamah, seorang budak wanita berkulit hitam yang tinggal di Mekah. Karena ibunya itu, sebagian orang memanggil Bilal dengan sebutan ibnus-Sauda’ (putra wanita hitam).
Bilal dibesarkan di kota Ummul Qura (Mekah) sebagai seorang budak milik keluarga bani Abduddar. Saat ayah mereka meninggal, Bilal diwariskan kepada Umayyah bin Khalaf, seorang tokoh penting kaum kafir.
Ketika Mekah diterangi cahaya agama baru dan Rasul yang agung Shalallahu ‘alaihi wasallam mulai mengumandangkan seruan kalimat tauhid, Bilal adalah termasuk orang-orang pertama yang memeluk Islam. Saat Bilal masuk Islam, di bumi ini hanya ada beberapa orang yang telah mendahuluinya memeluk agama baru itu, seperti Ummul Mu’minin Khadijah binti Khuwailid, Abu Bakar ash-Shiddiq, Ali bin Abu Thalib, ‘Ammar bin Yasir bersama ibunya, Sumayyah, Shuhaib ar-Rumi, dan al-Miqdad bin al-Aswad.
Bilal merasakan penganiayaan orang-orang musyrik yang lebih berat dari siapa pun. Berbagai macam kekerasan, siksaan, dan kekejaman mendera tubuhnya. Namun ia, sebagaimana kaum muslimin yang lemah lainnya, tetap sabar menghadapi ujian di jalan Allah itu dengan kesabaran yang jarang sanggup ditunjukkan oleh siapa pun.
Orang-orang Islam seperti Abu Bakar dan Ali bin Abu Thalib masih memiliki keluarga dan suku yang membela mereka. Akan tetapi, orang-orang yang tertindas (mustadh’afun) dari kalangan hamba sahaya dan budak itu, tidak memiliki siapa pun, sehingga orang-orang Quraisy menyiksanya tanpa belas kasihan. Quraisy ingin menjadikan penyiksaan atas mereka sebagai contoh dan pelajaran bagi setiap orang yang ingin mengikuti ajaran Muhammad.
Sementara itu, Bilal bin Rabah, terus disiksa oleh Quraisy tanpa henti. Biasanya, apabila matahari tepat di atas ubun-ubun dan padang pasir Mekah berubah menjadi perapian yang begitu menyengat, orang-orang Quraisy itu mulai membuka pakaian orang-orang Islam yang tertindas itu, lalu memakaikan baju besi pada mereka dan membiarkan mereka terbakar oleh sengatan matahari yang terasa semakin terik. Tidak cukup sampai di sana, orang-orang Quraisy itu mencambuk tubuh mereka sambil memaksa mereka mencaci maki Muhammad.
Adakalanya, saat siksaan terasa begitu berat dan kekuatan tubuh orang-orang Islam yang tertindas itu semakin lemah untuk menahannya, mereka mengikuti kemauan orang-orang Quraisy yang menyiksa mereka secara lahir, sementara hatinya tetap pasrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kecuali Bilal, semoga Allah meridhainya. Baginya, penderitaan itu masih terasa terlalu ringan jika dibandingkan dengan kecintaannya kepada Allah dan perjuangan di jalan-Nya.
Orang Quraisy yang paling banyak menyiksa Bilal adalah Umayyah bin Khalaf bersama para algojonya. Mereka menghantam punggung telanjang Bilal dengan cambuk, namun Bilal hanya berkata, “Ahad, Ahad … (Allah Maha Esa).” Mereka menindih dada telanjang Bilal dengan batu besar yang panas, Bilal pun hanya berkata, “Ahad, Ahad ….“ Mereka semakin meningkatkan penyiksaannya, namun Bilal tetap mengatakan, “Ahad, Ahad….”
Mereka memaksa Bilal agar memuji Latta dan ‘Uzza, tapi Bilal justru memuji nama Allah dan Rasul-Nya. Mereka terus memaksanya, “Ikutilah yang kami katakan!”
Bilal menjawab, “Lidahku tidak bisa mengatakannya.” Jawaban ini membuat siksaan mereka semakin hebat dan keras.
Apabila merasa lelah dan bosan menyiksa, sang tiran, Umayyah bin Khalaf, mengikat leher Bilal dengan tali yang kasar lalu menyerahkannya kepada sejumlah orang tak berbudi dan anak-anak agar menariknya di jalanan dan menyeretnya di sepanjang Abthah Mekah. Sementara itu, Bilal menikmati siksaan yang diterimanya karena membela ajaran Allah dan Rasul-Nya. Ia terus mengumandangkan pernyataan agungnya, “Ahad…, Ahad…, Ahad…, Ahad….” Ia terus mengulang-ulangnya tanpa merasa bosan dan lelah.
Suatu ketika, Abu Bakar Rodhiallahu ‘anhu mengajukan penawaran kepada Umayyah bin Khalaf untuk membeli Bilal darinya. Umayyah menaikkan harga berlipat ganda. Ia mengira Abu Bakar tidak akan mau membayarnya. Tapi ternyata, Abu Bakar setuju, walaupun harus mengeluarkan sembilan uqiyah emas.
Seusai transaksi, Umayyah berkata kepada Abu Bakar, “Sebenarnya, kalau engkau menawar sampai satu uqiyah-pun, maka aku tidak akan ragu untuk menjualnya.”
Abu Bakar membalas, “Seandainya engkau memberi tawaran sampai seratus uqiyah-pun, maka aku tidak akan ragu untuk membelinya.”
Ketika Abu Bakar memberi tahu Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bahwa ia telah membeli sekaligus menyelamatkan Bilal dari cengkeraman para penyiksanya, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada Abu Bakar, “Kalau begitu, biarkan aku bersekutu denganmu untuk membayarnya, wahai Abu Bakar.”
Ash-Shiddiq Rodhiallahu ‘anhu menjawab, “Aku telah memerdekakannya, wahai Rasulullah.”
Setelah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam mengizinkan sahabat-sahabatnya untuk hijrah ke Madinah, mereka segera berhijrah, termasuk Bilal Rodhiallahu ‘anhu. Setibanya di Madinah, Bilal tinggal satu rumah dengan Abu Bakar dan ‘Amir bin Fihr. Malangnya, mereka terkena penyakit demam. Apabila demamnya agak reda, Bilal melantunkan gurindam kerinduan dengan suaranya yang jernih :
Duhai malangnya aku, akankah suatu malam nanti
Aku bermalam di Fakh dikelilingi pohon idzkhir dan jalil
Akankah suatu hari nanti aku minum air Mijannah
Akankah aku melihat lagi pegunungan Syamah dan Thafil
Tidak perlu heran, mengapa Bilal begitu mendambakan Mekah dan perkampungannya; merindukan lembah dan pegunungannya, karena di sanalah ia merasakan nikmatnya iman. Di sanalah ia menikmati segala bentuk siksaan untuk mendapatkan keridhaan Allah. Di sanalah ia berhasil melawan nafsu dan godaan setan.
Bilal tinggal di Madinah dengan tenang dan jauh dari jangkauan orang-orang Quraisy yang kerap menyiksanya. Kini, ia mencurahkan segenap perhatiannya untuk menyertai Nabi sekaligus kekasihnya, Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam. Bilal selalu mengikuti Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam ke mana pun beliau pergi.
Selalu bersamanya saat shalat maupun ketika pergi untuk berjihad. Kebersamaannya dengan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam ibarat bayangan yang tidak pernah lepas dari pemiliknya.
Ketika Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam selesai membangun Masjid Nabawi di Madinah dan menetapkan azan, maka Bilal ditunjuk sebagai orang pertama yang mengumandangkan azan (muadzin) dalam sejarah Islam.
Biasanya, setelah mengumandangkan adzan, Bilal berdiri di depan pintu rumah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam seraya berseru, “Hayya ‘alash sholaati hayya ‘alal falaahi…(Mari melaksanakan shalat, mari meraih keuntungan….)” Lalu, ketika Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam keluar dari rumah dan Bilal melihat beliau, Bilal segera melantunkan iqamat.
Suatu ketika, Najasyi, Raja Habasyah, menghadiahkan tiga tombak pendek yang termasuk barang-barang paling istimewa miliknya kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam mengambil satu tombak, sementara sisanya diberikan kepada Ali bin Abu Thalib dan Umar ibnul Khaththab, tapi tidak lama kemudian, beliau memberikan tombak itu kepada Bilal. Sejak saat itu, selama Nabi hidup, Bilal selalu membawa tombak pendek itu ke mana-mana. Ia membawanya dalam kesempatan dua shalat ‘id (Idul Fitri dan Idul Adha), dan shalat istisqa’ (mohon turun hujan), dan menancapkannya di hadapan beliau saat melakukan shalat di luar masjid.
Bilal menyertai Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam dalam Perang Badar. Ia menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri bagaimana Allah memenuhi janji-Nya dan menolong tentara-Nya. Ia juga melihat langsung tewasnya para pembesar Quraisy yang pernah menyiksanya dengan hebat. Ia melihat Abu Jahal dan Umayyah bin Khalaf tersungkur berkalang tanah ditembus pedang kaum muslimin dan darahnya mengalir deras karena tusukan tombak orang-orang yang mereka siksa dahulu.
Ketika Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam menaklukkan kota Mekah, beliau berjalan di depan pasukan hijaunya bersama ’sang pengumandang panggilan langit’, Bilal bin Rabah. Saat masuk ke Ka’bah, beliau hanya ditemani oleh tiga orang, yaitu Utsman bin Thalhah, pembawa kunci Ka’bah, Usamah bin Zaid, yang dikenal sebagai kekasih Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam dan putra dari kekasihnya, dan Bilal bin Rabah, Muadzin Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam.
Shalat Zhuhur tiba. Ribuan orang berkumpul di sekitar Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam, termasuk orang-orang Quraisy yang baru masuk Islam saat itu, baik dengan suka hati maupun terpaksa. Semuanya menyaksikan pemandangan yang agung itu. Pada saat-saat yang sangat bersejarah itu, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam memanggil Bilal bin Rabah agar naik ke atap Ka’bah untuk mengumandangkan kalimat tauhid dari sana. Bilal melaksanakan perintah Rasul Shalallahu ‘alaihi wasallam dengan senang hati, lalu mengumandangkan azan dengan suaranya yang bersih dan jelas.
Ribuan pasang mata memandang ke arahnya dan ribuan lidah mengikuti kalimat adzan yang dikumandangkannya. Tetapi di sisi lain, orang-orang yang tidak beriman dengan sepenuh hatinya, tak kuasa memendam hasad di dalam dada. Mereka merasa kedengkian telah merobek-robek hati mereka.
Saat adzan yang dikumandangkan Bilal sampai pada kalimat, “Asyhadu anna muhammadan rasuulullaahi (Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah)”.
Juwairiyah binti Abu Jahal bergumam, “Sungguh, Allah telah mengangkat kedudukanmu. Memang, kami tetap akan shalat, tapi demi Allah, kami tidak menyukai orang yang telah membunuh orang-orang yang kami sayangi.” Maksudnya, adalah ayahnya yang tewas dalam Perang Badar.
Khalid bin Usaid berkata, “Aku bersyukur kepada Allah yang telah memuliakan ayahku dengan tidak menyaksikan peristiwa hari ini.” Kebetulan ayahnya meninggal sehari sebelum Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam masuk ke kota Mekah..
Sementara al-Harits bin Hisyam berkata, “Sungguh malang nasibku, mengapa aku tidak mati saja sebelum melihat Bilal naik ke atas Ka’bah.”
AI-Hakam bin Abu al-’Ash berkata, “Demi Allah, ini musibah yang sangat besar. Seorang budak bani Jumah bersuara di atas bangunan ini (Ka’bah).”
Sementara Abu Sufyan yang berada dekat mereka hanya berkata, “Aku tidak mengatakan apa pun, karena kalau aku membuat pernyataan, walau hanya satu kalimat, maka pasti akan sampai kepada Muhammad bin Abdullah.”
Bilal menjadi muadzin tetap selama Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam hidup. Selama itu pula, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam sangat menyukai suara yang saat disiksa dengan siksaan yang begitu berat di masa lalu, ia melantunkan kata, “Ahad…, Ahad… (Allah Maha Esa).”

Tahun 20 Hijriah. Bilal terbaring lemah di tempat tidurnya. Usianya saat itu 70 tahun. Sang istri di sampingnya tak bisa menahan kesedihannya. Ia menangis, menangis dan menangis. Sadar bahwa sang suami tercinta akan segera menemui Rabbnya. “Jangan menangis,” katanya kepada istri. “Sebentar lagi aku akan menemui Rasulullah shalallahu alaihi wasallam dan sahabat-sahabatku yang lain. Jika ALLAH mengizinkan, aku akan bertemu kembali dengan mereka esok hari.” Esoknya ia benar-benar sudah dipanggil ke hadapan Rabbnya. Pria yang suara langkah terompahnya terdengar sampai surga saat ia masih hidup, berada dalam kebahagiaan yang sangat. Ia bisa kembali bertemu dengan sosok yang selama ini ia rindukan. Ia bisa kembali menemani Rasulullah, seperti sebelumnya saat masih di dunia.
Sumber : Tulisan ini diambil dari salah teman di jejaring sosial.

Rabu, 22 April 2015

Manfaat Shalat Sunnat Rajab

Sholat sunat rajab adalah salah satu amalan sholat sunat yang dianjurkan untuk dilaksanakan karena terkandung kemanfa'atan yang sangat besar bagi pelaksananya walaupun sebagian umat Islam masih memperdebatkan sholat sunat rajab ini karena dasar hukumnya dianggap bermasalah, tetapi di sini saya tidak akan mempermasalahkan masalah-masalah yang terkait dengan sholat sunat rajab ini, dikarenakan terlepas dari pro dan kontra tentang keshahihannya, ternyata sholat sunat rajab ini bisa menjadi obat semacam teraphy untuk menyembuhkan beberapa macam penyakit kejiwaan, yang di antaranya adalah:

1. Menambah-nambah keyakinan akan ka-Tauhid-an Allah dalam segala hal.

2. Mengurangi ketergantungan kepada selain Allah.

3. Menambah-nambah keberkahan dalam keluarga.

4. Menumbuhkan rasa tawadlo (rendah hati dan tidak sombong).

5. Mengurangi ke-syirikan dalam hati terhadap Allah.

6. Mengurangi keinginan untuk selalu ingin dituruti ucapan dan perbuatan kita oleh orang lain.

7. Menumbuhkan rasa toleransi dalam agama, tetapi juga memperkuat kepanatikan dalam pengamalan ibadah oleh diri sendiri.

8. Menumbuh kembangkan keinginan untuk selalu berdzikir (mengingat) kepada Allah.

9. Menumbuhkan keinginan untuk selalu menjaga kehormatan diri sendiri.

10. Menambah-nambah rasa kecintaan kepada Nabi Muhammad saw.

11. Menumbuh kembangkan rasa keinginan untuk ta'at kepada Allah dan Rosulnya.

12. Menambah-nambah keinginan untuk tidak berbohong dalam berbicara.

13. Menumbuh kembangkan keinginan untuk menjauhi kesombongan.

14. Menambah-nambah keinginan untuk menjaga mata dari melihat aurat lawan jenis.

15. Menumbuh kembangkan kesadaran untuk selalu menjaga hati dari tidak berdzikir kepada Allah.

16. Menumbuh kembangkan keinginan untuk selalu bersuci dari hadats dan najis yang terdapat pada badan, tempat, pakaian, harta dan hati.

17. Menumbuh kembangkan merasa selalu dilihat dan diperhatikan segala perbuatan dan tingkah laku oleh Allah swt.

18. Menambah-nambah keinginan selalu menerima dan berterima kasih atas segala hal pemberian Allah.
Shalat sunnat ini dilaksanakan pada malam tanggal 1, malam Jum'at pertama, malam tanggal 15 dan malam terakhir tanggal 29/30 bulan rajab.

Adapun cara
pelaksanaannya adalah sebagai berikut:

1. PADA MALAM TANGGAL 1 BULAN RAJAB

1) Melaksanakan shalat sunnat sebanyak 10 raka'at (5 kali salam)

2) Niatnya :

Niat Sholat Rajab

Usholli sunnatan syahri rojaba rok'ataini lillahita'ala.

3) Bacaaannya tiap ba'da Fatihah:

- Surat al-Ikhlas 3x.

- Surat al-Kafirun 3x.

4) Setelah salam akhir membaca do'a:

Do'a Rajab Tgl 1

Laa ilaaha illallahu wahdahu laa syariikalah. Lahul mulku walahulhamdu yuhyi wayumiitu wahuwa hayyun. Laa yamuutu biyadihil khoiru wahuwa 'ala kulli syaiin qodiir. Allahumma laa maani'a limaa a'thoita wala mu'thi lima mana'ta wa laa yanfa'u dzal jaddi minkal jaddu.

2. PADA MALAM JUMAT PERTAMA BULAN RAJAB

1) Melaksanakan shalat sunnat sebanyak 12 raka'at (6 kali salam)

2) Niatnya sama dengan di atas.

3) Bacaaannya tiap ba'da Fatihah:

- Surat al-Qodar 3x.

- Surat al-Ikhlas 12x.

4) Setelah salam akhir membaca sholawat sebanyak 70 kali:

Doa Rajab Malam Jumat 1

Allohumma sholli 'ala muhammadininnabiyyil ummiyi wa 'alaa alihi wasallim.

5) Kemudian sujud sambil membaca tasbih sebanyak 70 kali:

Doa Sujud 1
Subbuhun quddusun robbul malaaikati warruhi.

6) Kemudian duduk sambil membaca tasbih sebanyak 70 kali:

Doa Rajab di antara 2 sujud

Robbigfir warham watajawwaz 'amma ta'lamu fainnaka antal 'azizul a'dzhim.

7) Kemudian sujud lagi sambil membaca tasbih seperti pada sujud pertama.

Doa Rajab Sujud 2
8) Selanjutnya setelah bangkit dari sujud yang kedua membaca do'a rajab:

Doa Rajab

Alloohumma thohhir lisaanii minal kidzbi wa qolbii minnifaaqi wa'amalii minarriyaa-i wabashorii minalkhiyaanati fa-innaka ta'lamu khoo-inatal a'yuni wamaa tukhfish shuduur.

Catatan:
Do'a Rajab ini sebaiknya juga dibaca pada setiap berdo'a.

3. PADA MALAM TANGGAL 15 BULAN RAJAB

Pelaksanaannya sama seperti pada malam tanggal 1.

Setelah salam akhir membaca do'a:

Doa Rajab malam 15

Laa ilaaha illalahu wahdahu la syariikalah Lahul mulku walahulhamdu yuhyi wayumiitu wahuwa hayyun. Laa yamuutu biyadihil khoiru wahuwa 'ala kulli syaiin qodiir. Ilaahan waa hidan ahaadan shomadan fardan witron lam yattakhidz shoohibatan wa laa waladan.

4. PADA MALAM TANGGAL 29/30 BULAN RAJAB

Pelaksanaannya sama seperti pada malam tanggal 1.

Setelah salam akhir membaca do'a:

Doa Rajab Malam Akhir

Laa ilaaha illalahu wahdahu la syariikalah Lahul mulku walahulhamdu yuhyi wayumiitu wahuwa hayyun. Laa yamuutu biyadihil khoiru wahuwa 'ala kulli syaiin qodiir. Wa shollallohu 'ala sayyidina muhammadin wa 'alaa alihitthohiriina wa lahaula wa la quwwata illa billahil 'aliyyil adzhim.


4. BACAAN TASBIH PADA BULAN RAJAB

1) Tanggal 1-10:


Subhaanalloohhil hayyil qoyyuum 100x.

2) Tanggal 11-20:


Subhaanalloohhil ahadish
shomad 100x.


3) Tanggal 21-30:


Subhaanalloohhir ro-uuf 100x.
 

Amalan Sunah di Bulan Rajab



Tidak terdapat amalan khusus terkait bulan Rajab. Baik bentuknya shalat, puasa, zakat, maupun umrah. Mayoritas ulama menjelaskan bahwa hadis yang menyebutkan amalan bulan Rajab adalah hadis bathil dan tertolak.
Ibnu Hajar mengatakan,

لم يرد في فضل شهر رجب ، ولا في صيامه ، ولا في صيام شيء منه معين ، ولا في قيام ليلة مخصوصة فيه حديث صحيح يصلح للحجة ، وقد سبقني إلى الجزم بذلك الإمام أبو إسماعيل الهروي الحافظ

“Tidak terdapat riwayat yang shahih yang bisa untuk dijadikan dalil tentang keutamaan bulan Rajab, baik bentuknya puasa sebulan penuh atau puasa di tanggal tertentu bulan Rajab atau shalat tahajjud di malam tertentu. Keterangan saya ini telah didahului oleh ketengan Imam Al-Hafidz Abu Ismail Al Harawi.” (Tabyinul Ujub bimaa Warada fii Fadli Rajab, Hal. 6)
Imam Ibn Rajab mengatakan,

أما الصلاة فلم يصح في شهر رجب صلاة مخصوصة تختص به و الأحاديث المروية في فضل صلاة الرغائب في أول ليلة جمعة من شهر رجب كذب و باطل لا تصح و هذه الصلاة بدعة عند جمهور العلماء

“Tidak terdapat dalil yang shahih, yang menyebutkan adanya anjuran shalat tertentu di bulan Rajab. Adapun hadis yang menyebutkan keutamaan shalat raghaib di malam Jumat pertama bulan Rajab adalah hadis dusta, bathil, dan tidak shahih. Shalat Raghaib adalah bid’ah menurut mayoritas ulama.” (Lathaiful Ma’arif, Hal. 213)
Terkait masalah puasa di bulan Rajab, Imam Ibnu Rajab juga menegaskan, tidak ada satu pun hadis shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang keutamaan puasa bulan Rajab secara khusus. Hanya terdapat riwayat dari Abu Qilabah, bahwa beliau mengatakan,

في الجنة قصر لصوام رجب

“Di surga terdapat istana untuk orang yang rajin berpuasa di bulan Rajab.”
Namun riwayat bukan hadis. Imam Al Baihaqi mengomentari keterangan Abu Qilabah:

أبو قلابة من كبار التابعين لا يقول مثله إلا عن بلاغ

“Abu Qilabah termasuk tabi’in senior, beliau tidak menyampaikan riwayat itu kecuali karena kabar tanpa sanad.” (Lathaiful Ma’arif, Hal. 213)
Pertama, Puasa sunah bulan haram
Akan tetapi, jika seseorang melaksanakan puasa di bulan Rajab dengan niat puasa sunah di bulan-bulan haram, maka ini dibolehkan bahkan dianjurkan. Mengingat sebuah hadis yanng diriwayatkan Imam Ahmad, Abu Daud, Al Baihaqi dan yang lainnya, bahwa suatu ketika datang seseorang dari suku Al Bahili menghadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia meminta diajari berpuasa. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menasihatkan, “Puasalah sehari tiap bulan.” Orang ini mengatakan: Saya masih kuat, tambahkanlah!. “Dua hari setiap bulan”. Orang ini mengatakan: Saya masih kuat, tambahkanlah!. “Tiga hari setiap bulan.” orang ini tetap meminta untuk ditambahi. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

فمن الحرم و أفطر

Puasalah di bulan haram dan berbukalah (setelah selesai bulan haram).” (Hadis ini dishahihkan sebagaian ulama dan didhaifkan ulama lainnya). Namun diriwayatkan bahwa beberapa ulama salaf berpuasa di semua bulan haram. Dinataranya: Ibn Umar, Hasan Al Bashri, dan Abu Ishaq As Subai’i.
Kedua, Mengkhususkan Umrah di bulan Rajab
Diriwayatkan bahwa Ibn Umar pernah mengatakan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan umrah di bulan Rajab. Kemudian ucapan beliau ini diingkari Aisyah.

يغفر الله لأبي عبد الرحمن، لعمري، ما اعتمر في رجب

“Semoga Allah mengampuni Abu Abdirrahmah (Ibnu Umar). Sepanjang usiaku, beliau belum pernah Umrah di bulan Rajab.”  Ibnu Umar mendengar hal ini dan beliau diam saja. (HR. Muslim, 1255)
Umar bin Khatab dan beberapa sahabat lainnya menganjurkan umrah bulan Rajab. Aisyah dan Ibnu Umar juga melaksanakan umrah bulan Rajab.
Ibnu Sirin menyatakan, bahwa para sahabat melakukan hal itu. Karena rangkaian haji dan umrah yang paling bagus adalah melaksanakan haji dalam satu perjalanan sendiri dan melaksanakan umrah dalam satu perjalanan yang lain, selain di bulan haji. (Al Bida’ Al Hauliyah, Hal. 119).
Dari penjelasan Ibnu Rajab menunjukkan bahwa melakukan umrah di bulan Rajab hukumnya dianjurkan. Beliau berdalil dengan anjuran Umar bin Khatab untuk melakukan umrah di bulan Rajab. Dan dipraktikkan oleh Aisyah dan Ibnu Umar.
Diriwayatkan Al Baihaqi, dari Sa’id bin Al Musayib, bahwa Aisyah radliallahu ‘anha melakukan umrah di akhir bulan Dzulhijjah, berangkat dari Juhfah, beliau berumrah bulan Rajab berangkat dari Madinah, dan beliau memulai Madinah, namun beliau mulai mengikrarkan ihramnya dari Dzul Hulaifah. (HR. Al Baihaqi dengan sanad hasan)
Namun ada sebagian ulama yang menganggap umrah di bulan Rajab tidak dianjurkan. Karena tidak ada dalil khusus terkait umrah bulan Rajab. Ibnu Atthar mengatakan, “Di antara berita yang sampai kepadaku dari penduduk Mekah, banyaknya kunjungan di bulan Rajab. Kejadian ini termasuk masalah yang belum kami ketahui dalilnya. Bahkan terdapat hadis yang shahih bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Umrah di bulan Ramadhan nilainya seperti haji’.” (HR. Al Bukhari)
Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Syaikh mengatakan, bahwa para ulama mengingkari sikap mengkhususkan bulan Rajab untuk memperbanyak melaksanakan umrah. (Majmu’ Fatawa Syaikh Muhammad bin Ibrahim, 6:131)
Kesimpulan:
Pendapat yang lebih kuat dalam masalah ini, mengkhususkan umrah di bulan Rajab adalah perbuatan yang tidak ada landasannya dalam syariat. Karena tidak ada satu pun dalil yang menunjukkan anjuran mengkhususkan bulan Rajab untuk pelaksanaan umrah. Disamping itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri tidak pernah melakukan umrah di bulan Rajab, sebagaimana disebutkan dalam hadis sebelumnya.
Andaikan ada keutamaan mengkhususkan umrah di bulan Rajab, tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan memberi tahukan kepada umatnya. Sebagaimana beliau memberi tahu umatnya akan keutamaan umrah di bulan Ramadlan. Sedangkan riwayat dari Umar bahwa beliau menganjurkan umrah di bulan Rajab, yang benar sanadnya dipermasalahkan.
Ketiga, Menyembelih hewan (Atirah)
Atirah adalah hewan yang disembelih di bulan Rajab untuk tujuan beribadah.
Ulama berselisih pendapat tentang hukum Atirah.
Pendapat pertama, athirah dianjurkan. Dalilnya adalah hadis dari Abdullah bin Amr bin Ash, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang Athirah, kemudian beliau menjawab:

الْعَتِيرَةُ حَقٌّ

“Atirah itu hak.” (HR. Ahmad, An Nasa’i dan As Suyuthi dalam Jami’us Shaghir)
Pendapat kedua, Atirah tidak disyariatkan, namun tidak makruh. Dalilnya, hadis dari Abu Razin, Laqirh bin Amir Al Uqaili, beliau bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Kami menyembelih hewan di bulan Rajab di zaman Jahilliyah. Kami memakannya dan memberi makan tamu yang datang.” Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak masalah.” (HR. An Nasa’i, Ad Darimi, dan Ibn Hibban)
Pendapat ketiga, Atirah hukumnya makruh. Berdasarkan hadis, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ فَرَعَ وَلاَ عَتِيرَةَ

Tidak ada Fara’a dan tidak ada Atirah.” (HR. Al Bukhari dan Muslim)
Fara’a adalah anak pertama binatang, yang disembelih untuk berhala.
Pendapat keempat, Atirah hukumnya haram. Ini adalah pendapat yang dipilih Ibnul Qoyim dan Ibnul Mundzir. Ibnul Qoyim mengatakan, “Dulu masyarakat Arab melakukan Atirah di masa jahiliyah, kemudian mereka tetap melakukannya, dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendukungnya. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarangnya, melalui sabdanya, “Tidak ada fara’a dan tidak ada Atirah.” akhirnya para sahabat meninggalkannya, karena adanya larangan beliau. Dan telah dipahami bersama, bahwa larangan itu hanya akan muncul, jika sebelumnya ada yang melakukannya. Sementara tidak kita jumpai adanya satupun ulama yang mengatakan, Dulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang Atirah kemudian beliau membolehkannya kembali…” (Tahdzib Sunan Abu Daud, 4:92 – 93). Insya Allah, pendapat inilah yang lebih mendekati kebenaran.

Meruqyah Diri Sendiri

Ruqyah atau pengobatan dengan ayat al-Qur'an
Alhamdulillah saat ini pengobatan dengan thibbun nabawi mulai dilirik kaum muslimin sebagai alternatif pengobatan disamping pengobatan melalui ilmu medis kedokteran. Berbagai ramuan herbal dan semacamnya yang didasarkan petunjuk Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam seperti habbatus sauda, minyak zaitun, madu, kurma dan air zam-zam sudah banyak beredar di toko-toko dan dikemas sedemikian rupa sehingga memudahkan penggunaannya.
Namun satu hal yang jangan sampai dilupakan adalah kekuatan do’a kepada Alloh. Allah dan Rasul-Nya telah mengajarkan berbagai do’a dan dzikir yang begitu banyak manfaatnya. Di antaranya untuk membentengi diri dari kejahatan yang kita tidak menyadarinya dan hanya Allah yang tahu seperti melalui dzikir pagi dan petang dan untuk pengobatan.
Ruqyah yang bentuk jamaknya adalah ruqaa merupakan bacaan-bacaan untuk pengobatan yang syar’i. Penyembuhan dengan al-Qur’an dan do’a-do’a yang diajarkan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam adalah penyembuhan yang bermanfaat sekaligus penawar yang sempurna. Allah berfirman dalam Surat al-Isra ayat 82,
وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَاءٌ وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ
“Dan Kami turunkan dari Al Qur’an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman…”
Pengertian ‘dari al-Qur’an’ pada ayat di atas maksudnya adalah al-Qur’an itu sendiri. Karena al-Qur’an secara keseluruhan adalah
penyembuh sebagaimana disebutkan dalam ayat di atas. [1]
يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ
“Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (QS Yunus: 57)
Dengan demikian al-Qur’an merupakan penyembuh yang sempurna di antara seluruh obat hati dan juga obat fisik, sekaligus obat bagi seluruh penyakit dunia dan akhirat. Tidak setiap orang mampu untuk melakukan penyembuhan dengan al-Qur’an. Jika pengobatan dan penyembuhan itu dilakukan secara baik terhadap penyakit dengan didasari kepercayaan dan keimanan, penerimaan yang penuh, keyakinan yang pasti, pemenuhan syarat-syaratnya, maka tidak ada satu penyakit pun yang mampu melawannya untuk selamanya.
Para ulama telah sepakat untuk membolehkan ruqyah dengan tiga syarat, yaitu:
1. Ruqyah itu dengan menggunakan firman Allah Ta’ala atau Asma dan Sifat-Nya atau sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam
2. Ruqyah itu boleh diucapkan dalam bahasa Arab atau bahasa lain yang difahami maknanya
3. Harus diyakini bahwa bukanlah dzat ruqyah itu sendiri yang memberikan pengaruh, tetapi yang memberikan pengaruh itu adalah kekuasaan Allah, sedangkan ruqyah hanya merupakan salah satu sebab saja. [2]
Di antara ayat-ayat yang dianjurkan untuk dibaca sebagai ruqyah diantaranya ayat kursi, Surat al-Fatihah, Surat al-Ikhlash, Surat al-Falaq, Surat an-Nas, Surat al-A’raf ayat 117-122, Surat Yunus ayat 79-82, Surat Thaha ayat 65-70 dan Surat al-Kafirun. Ruqyah ini berguna untuk pengobatan penyakit fisik maupun untuk melawan guna-guna atau sihir.
Cara pengobatan ini bisa juga dilakukan kepada diri sendiri seperti yang ditunjukan kisah-kisah berikut ini:
وعَنْ عُثْمَانَ بْنِ أَبِى الْعَاصِ أَنَّهُ شَكَا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-  ضَعْ يَدَكَ عَلَى الَّذِى يَأْلَمُ مِنْ جَسَدِكَ وَقُلْ بِاسْمِ اللَّهِ. ثَلاَثًا. وَقُلْ سَبْعَ مَرَّاتٍ: أَعُوذُ بِعِزَّةِ اللَّهِ وَقُدْرَتِهِ مِنْ شَرِّ مَا أَجِدُ وَأُحَاذِرُ،قال: فَفَعَلْتُ فَأَذْهَبَ اللهُ مَا كَانَ بِي – رواه مسلم
Dari Utsman bin Abu al-Ash bahwasanya dia mengadukan rasa sakit kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam: “Letakkan tanganmu di atas bagian tubuhnya yang sakit lalu ucapkan Bismillah tiga kali, setelah itu ucapkan sebanyak tujuh kali ‘A’udzubi ‘izzatillahi wa qudratihi min syarri maa ajidu wa uhadziru.’ (Aku berlindung dengan kemuliaan dan kekuasaan Allah dari keburukan yang aku rasakan dan yang aku khawatirkan). Lalu aku baca do’a ini, setelah itu Allah menghilangkan rasa sakit yang sebelumnya aku rasakan.” (HR Muslim)
Imam Ibnul Qayyim rahimahullahu berkata, “Pada suatu ketika aku pernah jatuh sakit, tetapi aku tidak menemukan seorang dokter atau obat penyembuh. Lalu aku berusaha mengobati dan menyembuhkan diriku dengan surat al-Fatihah, maka aku melihat pengaruh yang sangat menakjubkan. Aku ambil segelas air zam-zam dan membacakan padanya surat al-Fatihah berkali-kali, lalu aku meminumnya hingga aku mendapatkan kesembuhan total. Selanjutnya aku bersandar dengan cara tersebut dalam mengobati berbagai penyakit dan aku merasakan manfaat yang sangat besar. Kemudian aku beritahukan kepada banyak orang yang mengeluhkan suatu penyakit dan banyak dari mereka yang sembuh dengan cepat.” [3]
Mengenai kekhususan air zam-zam ini terdapat pada hadits Jabir yang marfu’,
مَاءُ زَمْزَمُ لِمَا شُرِبَ لَهُ
“Air zam-zam tergantung kepada tujuan diminumnya.” [4]
Sedekah Mengobati Penyakit
Dari al-Hasan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasalam bersabda: “…Obatilah orang-orang sakit kamu dengan sedekah..”. (HR ath-Thabrani dan al-Baihaqi, dan dihasankan oleh syaikh al-Albani dalam shahih targhib no 744)
Suatu kisah nyata terjadi pada Imam al-Hakim Abu Abdillah penulis kitab al mustadrak. Beliau pernah terkena penyakit borok di wajahnya, ia sudah berusaha berobat dengan segala cara namun tak kunjung sembuh. Beliaupun datang kepada abu Utsman ash-Shabuni agar mendo’akan kesembuhan untuknya. Abu Utsman pun mendo’akannya di hari jum’at dan banyak orang yang mengaminkan.
Di hari jum’at mendatang, datanglah seorang wanita membawa secarik kertas dan bercerita bahwa ia telah bersungguh sungguh mendo’akan untuk kesembuhan beliau. Lalu wanita itu bermimpi bertemu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan bersabda: “Katakan kepada abu abdillah.. Hendaklah ia mengalirkan air untuk kaum muslimin.” Maka beliau pun segera membangun sumur di dekat rumahnya dan menyediakan airnya untuk diminum oleh manusia. Seminggu kemudian, tampak kesembuhan terlihat pada wajah beliau dan akhirnya hilang sama sekali. Dan beliau hidup beberapa tahun setelah itu. (Shahih targhib no 964)
Insya Allah sedekah yang sepadan dengan penyakit atau musibah yang diderita bisa menjadi obat penyembuh. Bisa dengan memberi makan orang fakir, menanggung beban anak yatim, mewakafkan harta, atau mengeluarkan sedekah jariyah. Jika kesembuhan belum kunjung datang, mungkin Allah memperpanjang sakit untuk sebuah hikmah yang dikehendaki-Nya atau karena kemaksiatan yang menghalangi kesembuhan. Jika demikian cepatlah bertaubat dan perbanyak doa di sepertiga malam terakhir.
Demikianlah beberapa contoh pengobatan yang bisa dilakukan untuk diri sendiri. Dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam.
Update 12/09/2013 :
Hadits-hadits yang berkaitan dengan anjuran Rasulullah untuk bersedekah sebagai obat penyembuh adalah hadits yang sangat lemah derajatnya sehingga tidak bisa dijadikan sandaran meskipun sebagian ulama mengamalkan kandungannya. Bersedekah dengan niat kesembuhan dari penyakit adalah termasuk keinginan duniawi yang pada asalnya tidak boleh dihadirkan ketika melakukan ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ibadah adalah amal perbuatan mulia yang seharusnya ditujukan untuk meraih balasan mulia dan kekal di sisi Allah ‘Azza wa Jalla. Disamping itu meniatkan ibadah untuk mendapatkan balasan dunia bisa menggugurkan pahala amal kebaikan. Allah berfirman dalam QS Huud ayat 15-16,
“Barang siapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan?” [5]
Wallahu a’lam.
***
Rujukan:
-Doa & Wirid Mengobati Guna-Guna dan Sihir Menurut al-Qur’an dan as-Sunnah, Yazid Abdul Qadir Jawas, Pustaka Imam asy-Syafi’i
-Majalah adz-Dzakhiirah Edisi 43 – 1429H hal. 52
-Posting Ustadz Khalid Syamhudi di milis PM-Fatwa 28 September 2011.
-http://fariqgasimanuz.wordpress.com
[1] Al-Jawaabul Kaafi Liman Saala ‘Anid Dawaaisy Syaafi (Jawaban yang Memadai Bagi Orang Yang Bertanya Tentang Obat Penyembuh yang Mujarab) karya Ibnul Qayyim hal. 20
[2] Al-‘Illaaj bir Ruqaa minal Kitab was Sunnah hal. 72-83
[3] Zaadul Ma’ad (IV/178) dan al-Jawabul Kaafi (hal. 21)
[4] HR Ibnu Majah dan lain-lainnya. Lihat juga Shahih Ibnu Majah  (II/183) juga Irwa’ul Ghalil (IV/320)
[5] Majalah as-Sunnah no 03-04/Thn XVII artikel oleh Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, M.A. dengan judul “Hadits yang Sangat Lemah Tentang Keutamaan Bersedekah Untuk Menyembuhkan Penyakit”

Fenomena Bertekad Tobat Ketika Hendak Bermaksiat

Disaster - Courtesy of itsnature.org
Peringatan bagi orang yang terpedaya dan sering mengulangi kemaksiatan. Semoga kita terhindar dari fenomena ini. Sekedar sharing sebuah artikel pendek namun bermanfaat. **
Ada fenomena ‘aneh’ pada sebagian orang. Ketika akan berbuat maksiat, sudah ditanamkan untuk tobat setelah perbuatan buruk yang ia lakukan. Dalam hatinya ia berbisik, “Nanti setelah aku melakukan maksiat ini, saya akan bertaubat.”
Memang betul, pintu tobat akan tetap terbuka sebelum matahari terbit dari arah barat. Siapa saja bertobat kepada Allâh dengan tobat sebenarnya (tobat nashuha) dari perbuatan syirik dan perbuatan lain yang lebih rendah darinya, Allâh Subhanahu wa Ta’ala akan menerima tobatnya.
Tobat nashûhâ ialah tobat yang mencakup beberapa aspek yaitu berhenti dari perbuatan dosa, menyesali dosa yang diperbuat dan bertekad kuat untuk tidak mengulangi lagi sebagai realisasi dari rasa takutnya kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala, pengagungannya kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan demi mengharap maaf dan ampunan-Nya.
Syarat sahnya tobat bertambah menjadi empat bila kesalahan seseorang berhubungan dengan hak sesama (orang lain). Yaitu dengan menyerahkan hak-hak orang tersebut yang diambil secara zalim, baik berupa harta (yang dicuri) atau meminta dibebaskan (dihalalkan) darinya. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Barangsiapa pernah berbuat zalim kepada saudaranya terhadap kehormatannya atau yang lain, henadaknya meminta orang itu untuk menghalalkan kesalahannya dari perbuatan aniaya tersebut hari ini sebelum datang hari tidak ada uang dinar dan dirham. Apabila ia memiliki kebaikan, maka sejumlah kebaikan akan diambil darinya sebanding dengan perbuatan kezhalimannya (untuk diserahkan kepada orang yang teraniaya). Apabila tidak memiliki kebaikan, maka akan diambilkan dosa saudaranya dan dilimpahkan kepada dirinya.” (H.R. al-Bukhâri, no. 2269) .
Tekad untuk bertobat dari perbuatan dosa merupakan tekad baik yang berhak untuk dihargai. Namun, ketika bisikan “bertobat” ini justru mendorongnya untuk mengawali rencana tobatnya dengan perbuatan maksiat, ini yang perlu diwaspadai. Jika ini yang terjadi, tidak diragukan lagi, ini termasuk tipu daya setan pada diri manusia untuk memudahkan berbuat maksiat dengan dalih di kemudian hari ia akan bertobat usai berbuat maksiat. Tidakkah si pelaku mengkhawatirkan dirinya? Bisa saja Allâh Subhanahu wa Ta’ala menyulitkan jalan bertobat baginya, sehingga akan mengalami penyesalan yang tiada kira dan kesedihan yang tak terukur di saat penyesalan tiada berguna lagi.
Kewajiban seorang muslim adalah menghindari perbuatan syirik dan hal-hal yang menyeret kepadanya, serta menghindari seluruh perbuatan maksiat. Sebab, bisa saja ia dicoba dengan bergelimang dalam maksiat, namun tidak mendapat taufik untuk bertobat. Oleh karena itu, ia harus selalu menjauhi seluruh perkara yang diharamkan oleh Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan memohon keselamatan dari-Nya, tidak menuruti bujukan setan, sehingga berani berbuat maksiat dengan menyisipkan niat di hati untuk bertobat sebelumnya.
Simaklah firman-firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala berikut yang berisi perintah untuk selalu takut kepada-Nya, ancaman bagi siapa saja yang nekat berbuat maksiat, dan larangan mengikuti bisikan hawa nafsu dan rayuan setan. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَإِيَّاىَ فَارْهَبُونِ
“dan hanya kepada-Ku-lah kamu harus takut (tunduk).” (Q.S. al-Baqarah/2: 40).
Dalam ayat lain, Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَيُحَذِّرُكُمُ اللهُ نَفْسَهُ
“Dan Allâh memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya.” (Q.S. Ali ‘Imrân/3: 28).
Dalam ayat yang lain, Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman yang artinya,
“Hai manusia, sesungguhnya janji Allâh adalah benar, maka sekali-kali janganlah kehidupan dunia memperdayakan kamu dan sekali-kali janganlah setan yang pandai menipu, memperdayakan kamu tentang Allâh. Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagimu, maka anggaplah ia musuh(mu), karena sesungguhnya setan-setan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala.” (Q.S. Fâthir/35: 6).
***
Diadaptasi dari Majmû Fatâwa wa Maqâlât Mutanawwi’ah, Syaikh Bin Bâz, 5/410-411
Artikel http://www.Salafiyunpad.wordpress.com disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 01 Tahun XIV April 2010.

Kiat-kiat Meraih Doa Mustajab

Waktu mustajab dikabulkannya doa diantaranya saat hujan turun.
Orang yang meninggalkan doa adalah orang yang paling merugi. Sebaliknya seorang yang berdoa tidak akan pernah merugi atas doa yang ia panjatkan, selama ia tidak berdoa untuk suatu dosa atau memutuskan tali silaturahim. Karena doa yang ia panjatkan pasti disambut oleh Allah, bisa dengan mewujudkan apa yang ia minta di dunia atau mencegah keburukan atas dirinya yang setara dengan apa yang ia minta atau menyimpannya sebagai pahala yang lebih baik baginya di akhirat kelak. Dalam sebuah hadits Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda,
مَا مِنْ أَحَدٍ يَدْعُو بِدُعَاءٍ إِلَّا آتَاهُ اللّٰهُ مَا سَأَلَ أَوْ كَفَّ عَنْهُ مِنَ السُّوءِ مِثْلَهُ مَا لَمْ يَدْعُ بِـإِثْمٍ أَوْ قَطِيعَةِ رَحِمٍ
“Tidak ada seorang yang berdoa dengan suatu doa kecuali Allah akan mengabulkan apa yang ia minta atau Allah menahan keburukan atas dirinya yang semisal dengan apa yang ia minta selama ia tidak berdoa untuk suatu perbuatan dosa atau untuk memutuskan tali silaturahim.” (HR at-Tirmidzi dan Ahmad. Dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahih al-Jami’ (5678))
Oleh karena itu janganlah seorang hamba merasa keberatan meminta kepada Rabbnya dalam urusan-urusan dunianya, meskipun urusan yang sepele, terlebih lagi dalam urusan akhirat. Karena permintaan itu merupakan bukti ketergantungan yang sangat kepada Allah dan kebutuhannya kepada Allah dalam semua urusan. Karena Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam telah mengatakan,
إِنَّهُ مَنْ لَمْ يَسْأَلْهُ يَغْضَبْ عَلَيْهِ
“Sesungguhnya barang siapa yang tidak meminta kepada Allah, maka Allah akan marah kepadanya.” (HR at-Tirmidzi (3373) dan Ibnu Majah (3727) dari Abu Hurairah. Lihat Shahih at-Tirmidzi)
Oleh karena itu dahulu para salaf senantiasa berdoa kepada Allah sampai-sampai ada di antara mereka yang berdoa agar rasa garam bisa terasa pada makanannya.

Beberapa Kiat Meraih Doa Mustajab

1. Memasang niat yang benar dan ikhlas
Yaitu untuk melaksanakan ibadah kepada Allah dan menggantungkan kebutuhan kepada-Nya. Karena siapa saja yang menggantungkan hajatnya kepada Allah, niscaya ia tidak akan rugi selama-lamanya.
2. Memanjatkan doa dalam keadaan bersuci
Inilah yang dianjurkan dan lebih afdhal. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda,
إِنِي كَرِهْتُ أَنْ أَذْكُرَاللهَ عَزَّوَجَلَّ إِلَّا عَلَى طُهْرٍ أَو قَالَ عَلَى طَهٰرَةٍ
“Sesungguhnya aku tidak suka menyebut nama Allah melainkan dalam keadaan suci (atau beliau mengatakan: dalam keadaan thaharah).” (Diriwayatkan Abu Dawud dan dishahihkan oleh al-Albani dalam ash-Shahihah (834))
Hanya saja jika seorang berdoa dalam kondisi tidak berwudhu hal itu tidak mengapa.
3. Mintalah kepada Allah dengan menengadahkan kedua telapak tangan
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam telah bersabda,
إِذَا سَأَلْتُمُ اللّٰهَ فَاسْأَلُوهُ بِبُطُونِ أَكُفِّكُمْ وَ لَا تَسْأَلُوهُ بِظُهُورِهَا
“Jika kamu meminta kepada Allah maka mintalah dengan menengadahkan telapak tangan dan janganlah kamu memintanya dengan menengadahkan punggung telapak tangan.” (HR Abu Dawud (1486) dari Malik bin Yasar. Dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud (1318))
Atau dengan cara mengangkat tangan hingga nampak putih ketiaknya.
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda,
مَا مِنْ عَبْدٍ يَرْفَعُ يَدَيْهِ حَتَّى يَبْدُوَ إِبِطُهُ يَسْأَلُ اللّٰهَ مَسْأَلَةً إِلَّا آتَاهَا إِيَّاهُ
“Tidaklah seorang hamba mengangkat kedua tangannya hingga nampak ketiaknya dan memohon suatu permohonan kecuali Allah mengabulkan permohonannya itu …” (HR at-Tirmidzi (3603) dari Abu Hurairah. Lihat Shahih at-Tirmidzi)
Kaifiyat seperti itu menunjukan ketergantungan seorang hamba kepada Allah, kebutuhannya kepada Allah dan permohonannya yang sangat kepada-Nya.
4. Mulailah dengan mengucapkan hamdalah dan puji-pujian kepada Allah Ta’ala serta bershalawat atas Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam
Hal ini akan membuat doa kita lebih terkabulkan. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam pernah mendengar seorang laki-laki berdoa dalam shalatnya dan dia tidak mengagungkan Allah dan tidak bershalawat atas Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam. Maka Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda,
“Jika salah seorang dari kalian shalat hendaklah ia memulainya dengan mengucapkan hamdalah serta puja dan puji kepada Allah, kemudian bershalawat atas Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam, kemudian setelah itu ia berdoa apa yang ia inginkan.” (HR Abu Dawud (1481) dan an-Nasa’i (44/3) dan at-Tirmidzi (3477) dan dishahihkannya, dari Fudhail bin Ubaid. Lihat Shahih Abu Dawud (1314))
“Semua doa terhalang sehingga diucapkan shalawat atas Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam.” (HR ad-Dailami di dalam Musnad al-Firdaus (III/4791) dari Ali, dalam hadits lain diriwayatkan dari Anas. Diriwayatkan juga dari Ali secara mauquf yang diriwayatkan ath-Thabrani dalam al-Ausath, dan al-Baihaqi di dalam asy-Syu’ab. Al-Haitsami dalam al-Majma’ (X/160): “Para perawinya tsiqat.” Lihat Shahih al-Jami’ (4523))
5. Mulailah dengan berdoa untuk diri sendiri terlebih dahulu
Itulah tuntunan doa dalam al-Qur’an seperti yang disebutkan dalam ayat,
رَبِّ اغْفِرْ لِي وَلِوَالِدَيَّ
“Ya Rabbi! Ampunilah aku dan kedua ibu bapakku.” (QS Nuh: 28)
6. Bersungguh-sungguh dalam meminta
Jangan ragu dalam berdoa atau mengucapkan pengecualian, “jika engkau berkehendak ya Allah, berikanlah kepadaku ini dan ini.”
7. Menghadirkan hati dalam berdoa
Seorang insan hendaklah menghadirkan hati, memusatkan pikiran, mentadaburi doa yang ia ucapkan, serta menampakkan kebutuhan dan ketergantungannya kepada Allah. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda,
“Berdoalah kepada Allah sementara kalian yakin doa kalian akan dikabulkan. Ketahuilah sesungguhnya Allah tidak akan mengabulkan doa dari hati yang lalai dan lengah.” (HR at-Tirmidzi (3479) dan al-Hakim (493/1) dari Abu Hurairah. Lihat Shahih Sunan at-Tirmidzi)
8. Gunakan kata-kata singkat dan padat serta doa-doa yang ma’tsur
Tidak syak lagi bahwa kata-kata yang paling padat dan paling singkat dan paling agung berkahnya adalah doa-doa yang diriwayatkan dari Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam. Namun jika tidak hafal, ia boleh berdoa dengan bahasa yang ia pahami.
9. Bertawasul dengan nama dan sifat-sifat Allah Ta’ala
Sebagaimana firman Allah,
وَلِلَّهِ الأسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا
“Hanya milik Allah asmaul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaul husna itu.” (QS al-A’raf: 180)
Atau bertawasul dengan menyebut amal shalih yang telah dia lakukan sebagaimana disebutkan dalam hadist shahih yang mahsyur tentang tiga orang yang terperangkap di dalam gua.
10. Memperbanyak ucapan ‘Yaa Dzal Jalaali wal Ikraam’
Sesungguhnya Nabis shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda,
أَلِظُّو ابِيَا ذَاالْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ
“Ulang-ulangilah ucapan Yaa Dzal Jalaali wal Ikraam.” (HR at-Tirmidzi (3525) dan yang lainnya. Dari Anas. Lihat Shahih at-Tirmidzi (2797). Diriwayatkan juga dari hadits Rabi’ah)
Yaitu selalu ucapkan dan perbanyaklah ucapan itu dalam doa-doa kalian. Karena hal itu merupakan kata-kata pujian yang sangat tinggi bagi Allah. Dan memperbanyaknya akan membantu terkabulnya doa.
11. Mencari waktu-waktu yang mustajab dan tempat-tempat yang utama
Ada beberapa waktu dan tempat mustajab untuk berdoa yang telah disebutkan dalam sejumlah nash syar’i. Dan sebaiknya orang yang berdoa mencari waktu tersebut dan memperbanyak doa pada waktu-waktu tersebut. Di antaranya adalah waktu antara adzan dan iqamah, di dalam shalat, ketika berpuasa, di bagian akhir malam, hari-hari di bulan Ramadhan, sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah, pada hari Arafah, di medan perang, saat hujan turun dan tempat-tempat lain yang disebutkan dalam atsar.
12. Memperbanyak doa pada saat-saat lapang
Perbanyaklah doa pada saat lapang supaya Allah mengabulkan permintaan kita pada saat-saat sempit. Termasuk hikmah Allah dalam mentakdirkan suatu bala/musibah, bahwa Allah suka mendengarkan rintihan seorang hamba kepada-Nya. Dan suka melihat mereka kembali kepada-Nya pada saat-saat sempit. Apabila seorang insan bertadharru’ pada saat-saat lapang, niscaya akan segera dikabulkan permintaannya di saat ia dalam kesempitan.
Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda,
مَنْ سَرَّهُ أَنْ يَسْتَجِيبَ اللّٰهُ لَهُ عِنْدَ الشَّدَاءِدِ وَالكَرْبِ فَلْيُكْثِرِ الدُّعَاءَ فِي الرَّخَّاءِ
“Barangsiapa suka Allah mengabulkan doanya pada saat-saat sempit dan sulit hendaklah ia banyak-banyak berdoa pada saat-saat lapang.” (HR at-Tirmidzi (3382) dan al-Hakim (I/544) dan dishahihkannya, lalu disetujui oleh adz-Dzahabi dari Abu Hurairah. Lihat Shahih Sunan at-Tirmidzi)
***
Diringkas dari Panduan Amal Sehari Semalam, Abu Ihsan al-Atsary & Ummu Ihsan Choiriyah, Pustaka Darul Ilmi 2009

Tidak Menggerakan Lidah dalam Bacaan Shalat

Taj Mahal Hall - from Wikipedia
Di antara kesalahan dalam shalat yang mungkin banyak dilakukan adalah tidak menggerakan lidah dan bibir tatkala takbir dan membaca bacaan dalam shalat atau hanya membaca dalam hati saja. Bacaan shalat hanya sekedar dilintaskan dalam hati saja seakan-akan shalat itu hanya gerakan tanpa ada perkataan dan dzikir-dzikir.
Allah Ta’ala berfirman,
فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآنِ
“… karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari al-Qur’an.” (QS al-Muzzammil: 20)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لا صلاة لمن لم يقرأ بفاتحة الكتاب
“Tidak sah shalat seseorang jika tidak membaca al-Fatihah.” (HR Bukhari, Muslim, Abu ‘Awanah dan Baihaqi. Lihat  Irwa’ hadits no 302)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda ketika mengajari seseorang shalat, “Apabila kamu melaksanakan shalat, maka bacalah takbir, lalu bacalah apa yang mudah menurut kamu dari ayat Al-Qur’an…” (HR Abu Daud dan Al-Baihaqy dari jalannya, hadits hasan)
Dalil-dalil di atas menunjukkan bahwa shalat itu tidak hanya gerakan saja namun meliputi perkataan, karena yang dimaksud dengan membaca itu adalah menggerakan lidah seperti yang telah maklum adanya.
Di antara dalil yang memperkuat pernyataan ini adalah firman Allah Ta’ala, “Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) al-Qur’an karena hendak cepat-cepat (menguasai) nya.” (QS al-Qiyamah: 16)
Oleh karena itu para ulama yang melarang orang junub membaca ayat al-Qur’an, memperbolehkannya melintaskan bacaan ayat di dalam hati. Sebab dengan sekedar melintaskan bacaan ayat di dalam hati tidak digolongkan membaca.
An-Nawawi rahimahullah berkata, “Orang yang sedang junub, haidh dan nifas boleh melintaskan bacaan ayat al-Qur’an di dalam hati tanpa melafadzkannya. Begitu juga dia diperbolehkan melihat mushaf sambil membacanya dalam hati.” (al-Adzkaar hal 10)
Muhammad ibn Rusyd berkata, “Adapun seseorang yang membaca dalam hati, tanpa menggerakan lidahnya, maka hal itu tidak disebut dengan membaca. Karena yang disebut dengan membaca adalah dengan melafadzkannya di mulut. Dengan suara hati inilah perbuatan manusia tidak dianggap hukumnya. Allah ‘Azza wa Jalla telah berfirman, “Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dilakukannya.” (QS al-Baqarah: 286)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Allah mengampuni dari umatku tehadap apa yang masih terjadi di dalam jiwa (hati) mereka.” (Hadits ini berkualitas shahih. Lihat Irwaa’ul Ghalil (VII/139) nomor 2062)
Mengenai keras bacaan seseorang dalam shalatnya, Imam asy-Syafi’i berkata di dalam kitab al-Umm, “Hendaklah suaranya bisa didengar sendiri dan orang yang berada di sampingnya. Tidak patut dia menambah volume suara lebih dari ukuran itu.”
Para ulama madzhab Syafi’i berpendapat bahwa orang yang bisu tidak sejak lahir – karena mengalami kecelakaan di masa perkembangan – wajib menggerakan mulutnya ketika membaca lafadz takbir, ayat-ayat al-Qur’an, doa tasyahud dan lain sebagainya. Karena dengan berbuat demikian dia telah dianggap melafadzkan dan menggerakan mulut. Sebab perbuatan yang tidak mampu dikerjakan akan dimaafkan, akan tetapi selagi masih mampu diperbuat maka harus dilakukan. (Lihat Fataawaa al-Ramli (I/140) dan Hasyiyah Qulyubiy (I/143))
Mayoritas ulama lebih memilih untuk mensyaratkan bacaan minimal bisa didengar oleh diri pembaca sendiri. Sedangkan menurut ulama madzhab Maliki cukup menggerakan mulut saja ketika membaca ayat-ayat al-Qur’an. Namun lebih baik jika sampai bisa didengar oleh dirinya sendiri sebagai upaya menghindar dari perselisihan pendapat. (Lihat ad-Diin al-Khaalish (II/143))
***
Rujukan:
-Abu Ubaidah Masyhur bin Hasan bin Mahmud bin Salman, Koreksi Total Ritual Shalat, Pustaka Azzam 1993.
-Muhammad Nashiruddin al-Albani, Sifat Shalat Nabi, Media Hidayah 2000.
-www.alsofwah.or.id, Tuntunan Shalat Menurut Al-Qur’an dan As Sunnah.