Posted by Unknown on Rabu, April 22, 2015 in Islami | No comments
Di antara kesalahan dalam shalat yang mungkin banyak dilakukan adalah tidak menggerakan lidah dan bibir tatkala takbir dan membaca bacaan dalam shalat atau hanya membaca dalam hati saja. Bacaan shalat hanya sekedar dilintaskan dalam hati saja seakan-akan shalat itu hanya gerakan tanpa ada perkataan dan dzikir-dzikir.
Allah Ta’ala berfirman,
فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآنِ
“… karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari al-Qur’an.” (QS al-Muzzammil: 20)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لا صلاة لمن لم يقرأ بفاتحة الكتاب
“Tidak sah shalat seseorang jika tidak membaca al-Fatihah.” (HR Bukhari, Muslim, Abu ‘Awanah dan Baihaqi. Lihat Irwa’ hadits no 302)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda ketika mengajari seseorang shalat, “Apabila kamu melaksanakan shalat, maka bacalah takbir, lalu bacalah apa yang mudah menurut kamu dari ayat Al-Qur’an…” (HR Abu Daud dan Al-Baihaqy dari jalannya, hadits hasan)
Dalil-dalil di atas menunjukkan bahwa shalat
itu tidak hanya gerakan saja namun meliputi perkataan, karena yang
dimaksud dengan membaca itu adalah menggerakan lidah seperti yang telah
maklum adanya.
Di antara dalil yang memperkuat pernyataan ini adalah firman Allah Ta’ala, “Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) al-Qur’an karena hendak cepat-cepat (menguasai) nya.” (QS al-Qiyamah: 16)
Oleh karena itu para ulama yang melarang
orang junub membaca ayat al-Qur’an, memperbolehkannya melintaskan bacaan
ayat di dalam hati. Sebab dengan sekedar melintaskan bacaan ayat di
dalam hati tidak digolongkan membaca.
An-Nawawi rahimahullah berkata,
“Orang yang sedang junub, haidh dan nifas boleh melintaskan bacaan ayat
al-Qur’an di dalam hati tanpa melafadzkannya. Begitu juga dia
diperbolehkan melihat mushaf sambil membacanya dalam hati.” (al-Adzkaar
hal 10)
Muhammad ibn Rusyd berkata, “Adapun
seseorang yang membaca dalam hati, tanpa menggerakan lidahnya, maka hal
itu tidak disebut dengan membaca. Karena yang disebut dengan membaca
adalah dengan melafadzkannya di mulut. Dengan suara hati inilah
perbuatan manusia tidak dianggap hukumnya. Allah ‘Azza wa Jalla telah
berfirman, “Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dilakukannya.” (QS al-Baqarah: 286)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Allah mengampuni dari umatku tehadap apa yang masih terjadi di dalam jiwa (hati) mereka.” (Hadits ini berkualitas shahih. Lihat Irwaa’ul Ghalil (VII/139) nomor 2062)
Mengenai keras bacaan seseorang dalam
shalatnya, Imam asy-Syafi’i berkata di dalam kitab al-Umm, “Hendaklah
suaranya bisa didengar sendiri dan orang yang berada di sampingnya.
Tidak patut dia menambah volume suara lebih dari ukuran itu.”
Para ulama madzhab Syafi’i berpendapat bahwa
orang yang bisu tidak sejak lahir – karena mengalami kecelakaan di masa
perkembangan – wajib menggerakan mulutnya ketika membaca lafadz takbir,
ayat-ayat al-Qur’an, doa tasyahud dan lain sebagainya. Karena dengan
berbuat demikian dia telah dianggap melafadzkan dan menggerakan mulut.
Sebab perbuatan yang tidak mampu dikerjakan akan dimaafkan, akan tetapi
selagi masih mampu diperbuat maka harus dilakukan. (Lihat Fataawaa
al-Ramli (I/140) dan Hasyiyah Qulyubiy (I/143))
Mayoritas ulama lebih memilih untuk
mensyaratkan bacaan minimal bisa didengar oleh diri pembaca sendiri.
Sedangkan menurut ulama madzhab Maliki cukup menggerakan mulut saja
ketika membaca ayat-ayat al-Qur’an. Namun lebih baik jika sampai bisa
didengar oleh dirinya sendiri sebagai upaya menghindar dari perselisihan
pendapat. (Lihat ad-Diin al-Khaalish (II/143))
***
Rujukan:
-Abu Ubaidah Masyhur bin Hasan bin Mahmud bin Salman, Koreksi Total Ritual Shalat, Pustaka Azzam 1993.
-Muhammad Nashiruddin al-Albani, Sifat Shalat Nabi, Media Hidayah 2000.
-www.alsofwah.or.id, Tuntunan Shalat Menurut Al-Qur’an dan As Sunnah.
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan Komentar Disini