Posted by Unknown on Jumat, April 10, 2015 in Islami | No comments
Saya ingin bertanya bagaimana hukumnya dalam Islam mengucapkan selamat natal. Apakah haram hukumnya? Bagaimana bila alasannya ingin menjaga hubungan baik dgn teman-teman ataupun relasi?
Perbedaan Pendapat tentang Mengucapkan Selamat Natal
Diantara tema yang mengandung perdebatan setiap tahunnya adalah ucapan
selamat Hari Natal. Para ulama kontemporer berbeda pendapat didalam
penentuan hukum fiqihnya antara yang mendukung ucapan selamat dengan
yang menentangnya. Kedua kelompok ini bersandar kepada sejumlah dalil.
Meskipun pengucapan selamat hari natal ini sebagiannya masuk didalam
wilayah aqidah namun ia memiliki hukum fiqih yang bersandar kepada
pemahaman yang mendalam, penelaahan yang rinci terhadap berbagai
nash-nash syar’i.
Ada dua pendapat didalam permasalahan ini :
1. Ibnu
Taimiyah, Ibnul Qoyyim dan para pengikutnya seperti Syeikh Ibn Baaz,
Syeikh Ibnu Utsaimin—semoga Allah merahmati mereka—serta yang lainnya
seperti Syeikh Ibrahim bin Muhammad al Huqoil berpendapat bahwa
mengucapkan selamat Hari Natal hukumnya adalah haram karena perayaan ini
adalah bagian dari syiar-syiar agama mereka. Allah tidak meredhoi
adanya kekufuran terhadap hamba-hamba-Nya. Sesungguhnya didalam
pengucapan selamat kepada mereka adalah tasyabbuh (menyerupai) dengan
mereka dan ini diharamkan.
Diantara bentuk-bentuk tasyabbuh :
1. Ikut serta didalam hari raya tersebut.
2. Mentransfer perayaan-perayaan mereka ke neger-negeri islam.
1. Ikut serta didalam hari raya tersebut.
2. Mentransfer perayaan-perayaan mereka ke neger-negeri islam.
Mereka juga berpendapat wajib menjauhi berbagai perayaan orang-orang
kafir, menjauhi dari sikap menyerupai perbuatan-perbuatan mereka,
menjauhi berbagai sarana yang digunakan untuk menghadiri perayaan
tersebut, tidak menolong seorang muslim didalam menyerupai perayaan hari
raya mereka, tidak mengucapkan selamat atas hari raya mereka serta
menjauhi penggunaan berbagai nama dan istilah khusus didalam ibadah
mereka.
2. Jumhur ulama kontemporer membolehkan mengucapkan selamat Hari Natal.
Di antaranya Syeikh Yusuf al Qaradhawi yang berpendapat bahwa perubahan kondisi global lah yang menjadikanku berbeda dengan Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah didalam mengharamkan pengucapan selamat hari-hari Agama orang-orang Nasrani atau yang lainnya. Aku (Yusuf al Qaradhawi) membolehkan pengucapan itu apabila mereka (orang-orang Nasrani atau non muslim lainnya) adalah orang-orang yang cinta damai terhadap kaum muslimin, terlebih lagi apabila ada hubungan khsusus antara dirinya (non muslim) dengan seorang muslim, seperti : kerabat, tetangga rumah, teman kuliah, teman kerja dan lainnya. Hal ini termasuk didalam berbuat kebajikan yang tidak dilarang Allah swt namun dicintai-Nya sebagaimana Dia swt mencintai berbuat adil. Firman Allah swt :Artinya :
Di antaranya Syeikh Yusuf al Qaradhawi yang berpendapat bahwa perubahan kondisi global lah yang menjadikanku berbeda dengan Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah didalam mengharamkan pengucapan selamat hari-hari Agama orang-orang Nasrani atau yang lainnya. Aku (Yusuf al Qaradhawi) membolehkan pengucapan itu apabila mereka (orang-orang Nasrani atau non muslim lainnya) adalah orang-orang yang cinta damai terhadap kaum muslimin, terlebih lagi apabila ada hubungan khsusus antara dirinya (non muslim) dengan seorang muslim, seperti : kerabat, tetangga rumah, teman kuliah, teman kerja dan lainnya. Hal ini termasuk didalam berbuat kebajikan yang tidak dilarang Allah swt namun dicintai-Nya sebagaimana Dia swt mencintai berbuat adil. Firman Allah swt :Artinya :
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang Berlaku adil.” (QS. Al-Mumtahanah: 8)
Terlebih lagi jika mereka mengucapkan selamat Hari Raya kepada kaum muslimin. Firman Allah swt :
وَإِذَا حُيِّيْتُم بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّواْ بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَا إِنَّ اللّهَ كَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ حَسِيبًا ﴿٨٦﴾
Artinya : “Apabila
kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, Maka balaslah
penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah
penghormatan itu (dengan yang serupa). Sesungguhnya Allah
memperhitungankan segala sesuatu.” (QS. An Nisaa : 86)
Lembaga Riset dan Fatwa Eropa juga
membolehkan pengucapan selamat ini jika mereka bukan termasuk
orang-orang yang memerangi kaum muslimin khususnya dalam keadaan dimana
kaum muslimin minoritas seperti di Barat. Setelah memaparkan berbagai
dalil, Lembaga ini memberikan kesimpulan sebagai berikut : Tidak
dilarang bagi seorang muslim atau Markaz Islam memberikan selamat atas
perayaan ini, baik dengan lisan maupun pengiriman kartu ucapan yang
tidak menampilkan simbol mereka atau berbagai ungkapan keagamaan yang
bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam seperti salib. Sesungguhnya Islam menafikan fikroh salib, firman-Nya :
وَقَوْلِهِمْ إِنَّا قَتَلْنَا الْمَسِيحَ عِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ رَسُولَ
اللّهِ وَمَا قَتَلُوهُ وَمَا صَلَبُوهُ وَلَكِن شُبِّهَ لَهُمْ وَإِنَّ
الَّذِينَ اخْتَلَفُواْ فِيهِ لَفِي شَكٍّ مِّنْهُ مَا لَهُم بِهِ مِنْ
عِلْمٍ إِلاَّ اتِّبَاعَ الظَّنِّ وَمَا قَتَلُوهُ يَقِينًا ﴿١٥٧﴾
Artinya : “Padahal
mereka tidak membunuhnya dan tidak (pula) menyalibnya, tetapi (yang
mereka bunuh ialah) orang yang diserupakan dengan Isa bagi mereka.” (QS. An Nisaa : 157)
Kalimat-kalimat yang digunakan dalam pemberian selamat ini pun harus
yang tidak mengandung pengukuhan atas agama mereka atau ridho dengannya.
Adapun kalimat yang digunakan adalah kalimat pertemanan yang sudah
dikenal dimasyarakat.
Tidak dilarang untuk menerima berbagai hadiah dari mereka karena
sesungguhnya Nabi saw telah menerima berbagai hadiah dari non muslim
seperti al Muqouqis Pemimpin al Qibthi di Mesir dan juga yang lainnya
dengan persyaratan bahwa hadiah itu bukanlah yang diharamkan oleh kaum
muslimin seperti khomer, daging babi dan lainnya.
Diantara para ulama yang membolehkan adalah DR. Abdus Sattar Fathullah
Sa’id, ustadz bidang tafsir dan ilmu-ilmu Al Qur’an di Universitas Al
Azhar, DR. Muhammad Sayyid Dasuki, ustadz Syari’ah di Univrsitas Qatar,
Ustadz Musthafa az Zarqo serta Syeikh Muhammad Rasyd Ridho.
(www.islamonline.net)
Adapun MUI (Majelis Ulama Indonesia) pada tahun 1981 sebelum
mengeluarkan fatwanya, terlebih dahulu mengemukakan dasar-dasar ajaran
Islam dengan disertai berbagai dalil baik dari Al Qur’an maupun Hadits
Nabi saw sebagai berikut :
A) Bahwa ummat Islam diperbolehkan untuk bekerja sama dan bergaul dengan
ummat agama-agama lain dalam masalah-masalah yang berhubungan dengan
masalah keduniaan.
B) Bahwa ummat Islam tidak boleh mencampur-adukkan agamanya dengan aqidah dan peribadatan agama lain.
C) Bahwa ummat Islam harus mengakui ke-Nabian dan ke-Rasulan Isa Almasih
bin Maryam sebagaimana pengakuan mereka kepada para Nabi dan Rasul yang
lain.
D) Bahwa barangsiapa berkeyakinan bahwa Tuhan itu lebih dari satu, Tuhan
itu mempunyai anak dan Isa Almasih itu anaknya, maka orang itu kafir
dan musyrik.
E) Bahwa Allah pada hari kiamat nanti akan menanyakan Isa, apakah dia
pada waktu di dunia menyuruh kaumnya agar mereka mengakui Isa dan Ibunya
(Maryam) sebagai Tuhan. Isa menjawab: Tidak.
F) Islam mengajarkan bahwa Allah SWT itu hanya satu.
G) Islam mengajarkan ummatnya untuk menjauhkan diri dari hal-hal yang
syubhat dan dari larangan Allah SWT serta untuk mendahulukan menolak
kerusakan daripada menarik kemaslahatan.
Juga berdasarkan Kaidah Ushul Fikih
”Menolak kerusakan-kerusakan itu didahulukan daripada menarik kemaslahatan-kemaslahan (jika tidak demikian sangat mungkin mafasidnya yang diperoleh, sedangkan mushalihnya tidak dihasilkan)”.
Untuk kemudian MUI mengeluarkan fatwanya berisi :
”Menolak kerusakan-kerusakan itu didahulukan daripada menarik kemaslahatan-kemaslahan (jika tidak demikian sangat mungkin mafasidnya yang diperoleh, sedangkan mushalihnya tidak dihasilkan)”.
Untuk kemudian MUI mengeluarkan fatwanya berisi :
- Perayaan Natal di Indonesia meskipun tujuannya merayakan dan menghormati Nabi Isa as, akan tetapi Natal itu tidak dapat dipisahkan dari soal-soal yang diterangkan di atas.
- Mengikuti upacara Natal bersama bagi ummat Islam hukumnya haram.
- Agar ummat Islam tidak terjerumus kepada syubhat dan larangan Allah Subhanahu Wata’ala dianjurkan untuk tidak mengikuti kegiatan-kegiatan perayaan Natal.
Mengucapkan Selamat Hari Natal Haram kecuali Darurat
Diantara dalil yang digunakan para ulama yang membolehkan mengucapkan Selamat Hari Natal adalah firman Allah swt :
لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ
وَلَمْ يُخْرِجُوكُم مِّن دِيَارِكُمْ أَن تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا
إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ ﴿٨﴾
Artinya : “Allah
tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan Berlaku adil terhadap
orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula)
mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang
yang Berlaku adil.” (QS. Al Mumtahanah : 8)
Ayat ini merupakan rukhshoh (keringanan) dari Allah swt untuk membina
hubungan dengan orang-orang yang tidak memusuhi kaum mukminin dan tidak
memerangi mereka. Ibnu Zaid mengatakan bahwa hal itu adalah pada
awal-awal islam yaitu untuk menghindar dan meninggalkan perintah
berperang kemudian di-mansukh (dihapus).
Qatadhah mengatakan bahwa ayat ini dihapus dengan firman Allah swt :
….فَاقْتُلُواْ الْمُشْرِكِينَ حَيْثُ وَجَدتُّمُوهُمْ ﴿٥﴾
Artinya : “Maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu dimana saja kamu jumpai mereka.” (QS. At Taubah : 5)
Adapula yang menyebutkan bahwa hukum ini dikarenakan satu sebab yaitu
perdamaian. Ketika perdamaian hilang dengan futuh Mekah maka hukum
didalam ayat ini di-mansukh (dihapus) dan yang tinggal hanya tulisannya
untuk dibaca. Ada juga yang mengatakan bahwa ayat ini khusus untuk para
sekutu Nabi saw dan orang-orang yang terikat perjanjian dengan Nabi saw
dan tidak memutuskannya, demikian dikatakan al Hasan.
Al Kalibi mengatakan bahwa mereka adalah Khuza’ah, Banil Harits bin Abdi
Manaf, demikian pula dikatakan oleh Abu Sholeh. Ada yang mengatakan
bahwa mereka adalah Khuza’ah.
Mujahid mengatakan bahwa ayat ini dikhususkan terhadap orang-orang
beriman yang tidak berhijrah. Ada pula yang mengatakan bahwa yang
dimaksud didalam ayat ini adalah kaum wanita dan anak-anak dikarenakan
mereka tidak ikut memerangi, maka Allah swt mengizinkan untuk berbuat
baik kepada mereka, demikianlah disebutkan oleh sebagian ahli tafsir…
(al Jami’ li Ahkamil Qur’an juz IX hal 311)
Dari pemaparan yang dsebutkan Imam Qurthubi diatas maka ayat ini tidak
bisa diperlakukan secara umum tetapi dikhususkan untuk orang-orang yang
terikat perjanjian dengan Rasulullah saw selama mereka tidak
memutuskannya (ahli dzimmah).
Hak-hak dan kewajiban-kewajiban kafir dzimmi adalah sama persis dengan
kaum muslimin di suatu negara islam. Mereka semua berada dibawah kontrol
penuh dari pemerintahan islam sehingga setiap kali mereka melakukan
tindakan kriminal, kejahatan atau melanggar perjanjian maka langsung
mendapatkan sangsi dari pemerintah.
Didalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairoh ra bahwasanya
Rasulullah saw bersabda,”Janganlah kamu memulai salam kepada orang-orang
Yahudi dan Nasrani. Apabila kalian bertemu salah seorang diantara
mereka di jalan maka sempitkanlah jalannya.” (HR. Muslim)
Yang dimaksud dengan sempitkan jalan mereka adalah jangan biarkan
seorang dzimmi berada ditengah jalan akan tetapi jadikan dia agar berada
ditempat yang paling sempit apabila kaum muslimin ikut berjalan
bersamanya. Namun apabila jalan itu tidak ramai maka tidak ada halangan
baginya. Mereka mengatakan : “Akan
tetapi penyempitan di sini jangan sampai menyebabkan orang itu
terdorong ke jurang, terbentur dinding atau yang sejenisnya.” (Shohih Muslim bi Syarhin Nawawi juz XIV hal 211)
Hadits “menyempitkan jalan” itu menunjukkan bahwa seorang muslim harus
bisa menjaga izzahnya dihadapan orang-orang non muslim tanpa pernah mau
merendahkannya apalagi direndahkan. Namun demikian dalam menampilkan
izzah tersebut janganlah sampai menzhalimi mereka sehingga mereka jatuh
ke jurang atau terbentur dinding karena jika ini terjadi maka ia akan
mendapatkan sangsi.
Disebutkan didalam sejarah bahwa Umar bin Khottob pernah mengadili
Gubernur Mesir Amr bin Ash karena perlakuan anaknya yang memukul seorang
Nasrani Qibti dalam suatu permainan. Hakim Syuraih pernah memenangkan
seorang Yahudi terhadap Amirul Mukminin Ali bin Abi Tholib dalam kasus
beju besinya.
Sedangkan pada zaman ini, orang-orang non muslim tidaklah berada dibawah
suatu pemerintahan islam yang terus mengawasinya dan bisa memberikan
sangsi tegas ketika mereka melakukan pelanggaran kemanusiaan, pelecehan
maupun tindakan kriminal terhadap seseorang muslim ataupun umat islam.
Keadaan justru sebaliknya, orang-orang non muslim tampak mendominanasi
di berbagai aspek kehidupan manusia baik pilitik, ekonomi, budaya maupun
militer. Tidak jarang dikarenakan dominasi ini, mereka melakukan
berbagai penghinaan atau pelecehan terhadap simbol-simbol islam
sementara si pelakunya tidak pernah mendapatkan sangsi yang tegas dari
pemerintahan setempat, terutama di daerah-daerah atau negara-negara yang
minoritas kaum muslimin.
Bukan berarti dalam kondisi dimana orang-orang non muslim begitu dominan
kemudian kaum muslimin harus kehilangan izzahnya dan larut bersama
mereka, mengikuti atau mengakui ajaran-ajaran agama mereka. Seorang
muslim harus tetap bisa mempertahankan ciri khas keislamannya dihadapan
berbagai ciri khas yang bukan islam didalam kondisi bagaimanapun.
Tentunya diantara mereka—orang-orang non muslim—ada yang berbuat baik
kepada kaum muslimin dan tidak menyakitinya maka terhadap mereka setiap
muslim diharuskan membalasnya dengan perbuatan baik pula.
Al Qur’an maupun Sunah banyak menganjurkan kaum muslimin untuk
senantiasa berbuat baik kepada semua orang baik terhadap sesama muslim
maupun non muslim, diantaranya : surat al Mumtahanah ayat 8 diatas.
Sabda Rasulullah saw,”Sayangilah orang yang ada di bumi maka yang ada di
langit akan menyayangimu.” (HR. Thabrani) Juga sabdanya
saw,”Barangsiapa yang menyakiti seorang dzimmi maka aku akan menjadi
lawannya di hari kiamat.” (HR. Muslim)
Perbuatan baik kepada mereka bukan berarti harus masuk kedalam
prinsip-prinsip agama mereka (aqidah) karena batasan didalam hal ini
sudah sangat jelas dan tegas digariskan oleh Allah swt :
لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ ﴿٦﴾
Artinya : “Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku.” (QS. Al Kafirun : 6)
Hari Natal adalah bagian dari prinsip-prinsip agama Nasrani, mereka
meyakini bahwa di hari inilah Yesus Kristus dilahirkan. Didalam bahasa
Inggris disebut dengan Christmas, Christ berarti Kristus sedangkan Mass
berarti masa atau kumpulan jadi bahwa pada hari itu banyak orang
berkumpul mengingat / merayakan hari kelahiran Kristus. Dan Kristus
menurut keyakinan mereka adalah Allah yang mejelma.
Berbuat kebaikan kepada mereka dalam hal ini adalah bukan dengan ikut
memberikan selamat Hari Natal dikarenakan alasan diatas akan tetapi
dengan tidak mengganggu mereka didalam merayakannya (aspek sosial).
Pemberian ucapan selamat Natal baik dengan lisan, telepon, sms, email
ataupun pengiriman kartu berarti sudah memberikan pengakuan terhadap
agama mereka dan rela dengan prinsip-prinsip agama mereka. Hal ini
dilarang oleh Allah swt dalam firman-Nya,
إِن تَكْفُرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنكُمْ وَلَا يَرْضَى لِعِبَادِهِ
الْكُفْرَ وَإِن تَشْكُرُوا يَرْضَهُ لَكُمْ وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ
وِزْرَ أُخْرَى ثُمَّ إِلَى رَبِّكُم مَّرْجِعُكُمْ فَيُنَبِّئُكُم بِمَا
كُنتُمْ تَعْمَلُونَ إِنَّهُ عَلِيمٌ بِذَاتِ الصُّدُورِ ﴿٧﴾
Artinya : “Jika
kamu kafir Maka Sesungguhnya Allah tidak memerlukan (iman)mu dan Dia
tidak meridhai kekafiran bagi hamba-Nya; dan jika kamu bersyukur,
niscaya Dia meridhai bagimu kesyukuranmu itu.”(QS. Az Zumar : 7)
Jadi pemberian ucapan Selamat Hari Natal kepada orang-orang Nasrani baik
ia adalah kerabat, teman dekat, tetangga, teman kantor, teman sekolah
dan lainnya adalah haram hukumnya, sebagaimana pendapat kelompok pertama
(Ibnu Taimiyah, Ibnul Qoyyim, Ibn Baaz dan lainnya) dan juga fatwa MUI.
Namun demikian setiap muslim yang berada diantara lingkungan mayoritas
orang-orang Nasrani, seperti muslim yang tempat tinggalnya diantara
rumah-rumah orang Nasrani, pegawai yang bekerja dengan orang Nasrani,
seorang siswa di sekolah Nasrani, seorang pebisnis muslim yang sangat
tergantung dengan pebisinis Nasrani atau kaum muslimin yang berada di
daerah-daerah atau negeri-negeri non muslim maka boleh memberikan ucapan
selamat Hari Natal kepada orang-orang Nasrani yang ada di sekitarnya
tersebut disebabkan keterpaksaan. Ucapan selamat yang keluar darinya pun
harus tidak dibarengi dengan keredhoan didalam hatinya serta diharuskan
baginya untuk beristighfar dan bertaubat.
Diantara kondisi terpaksa misalnya; jika seorang pegawai muslim tidak
mengucapkan Selamat Hari Natal kepada boss atau atasannya maka ia akan
dipecat, karirnya dihambat, dikurangi hak-haknya. Atau seorang siswa
muslim apabila tidak memberikan ucapan Selamat Natal kepada Gurunya maka
kemungkinan ia akan ditekan nilainya, diperlakukan tidak adil,
dikurangi hak-haknya. Atau seorang muslim yang tinggal di suatu daerah
atau negara non muslim apabila tidak memberikan Selamat Hari Natal
kepada para tetangga Nasrani di sekitarnya akan mendapatkan tekanan
sosial dan lain sebagainya.
مَن كَفَرَ بِاللّهِ مِن بَعْدِ إيمَانِهِ إِلاَّ مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ
مُطْمَئِنٌّ بِالإِيمَانِ وَلَكِن مَّن شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا
فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِّنَ اللّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ ﴿١٠٦﴾
Artinya : “Barangsiapa
yang kafir kepada Allah sesudah Dia beriman (dia mendapat kemurkaan
Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir Padahal hatinya tetap tenang
dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan
dadanya untuk kekafiran, Maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya
azab yang besar. (QS. An Nahl : 106)
Adapun apabila keadaan atau kondisi sekitarnya tidaklah memaksa atau
mendesaknya dan tidak ada pengaruh sama sekali terhadap karir, jabatan,
hak-hak atau perlakuan orang-orang Nasrani sekelilingnya terhadap diri
dan keluarganya maka tidak diperbolehkan baginya mengucapkan Selamat
Hari Natal kepada mereka.Wallahu A’lam
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan Komentar Disini