Posted by Unknown on Sabtu, April 18, 2015 in Islami | No comments
Anjuran makan bersama dalam 1 piring
Di antara etika makan yang diajarkan oleh Nabi adalah anjuran makan
bersama-sama pada satu piring. Sesungguhnya hal ini merupakan sebab
turunnya keberkahan pada makanan tersebut. Oleh karena itu, semakin
banyak jumlah orang yang makan maka keberkahan juga akan semakin
bertambah. Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu, beliau menyatakan bahwa beliau mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Makan
satu orang itu cukup untuk dua orang. Makanan dua orang itu cukup untuk
empat orang. Makanan empat orang itu cukup untuk delapan orang.” (HR Muslim no 2059)
Dalam Fathul Baari 9/446 Ibnu Hajar mengatakan, “Dalam hadits dari Ibnu Umar yang diriwayatkan oleh Thabrani terdapat keterangan tentang illat (sebab) terjadinya hal di atas. Pada awal hadits tersebut dinyatakan, ‘Makanlah bersama-sama dan janganlah sendiri-sendiri karena sesungguhnya makanan satu orang itu cukup untuk dua orang’.
Hadits ini menunjukkan bahwa makanan satu orang itu mencukupi untuk dua
orang dan seterusnya adalah disebabkan keberkahan yang ada dalam makan
bersama. Semakin banyak jumlah orang yang turut makan maka keberkahan
semakin bertambah.”
Dari Wahsyi bin Harb dari bapaknya dari kakeknya, “Sesungguhnya para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
mengadu, wahai Rasulullah sesungguhnya kami makan namun tidak merasa
kenyang. Nabi bersabda, “Mungkin kalian makan sendiri-sendiri?” “Betul”,
kata para sahabat. Nabi lantas bersabda, “Makanlah bersama-sama dan sebutlah nama Allah sebelumnya tentu makanan tersebut akan diberkahi.” (HR Abu Dawud no. 3764 dan dinilai shahih oleh al-Albani.)
Dalam Syarah Riyadhus Shalihin Jilid VII hal 231 Syaikh Utsaimin menyatakan bahwa makan namun tidak kenyang itu memiliki beberapa sebab:
- Tidak menyebut nama Allah sebelum makan. Jika nama Allah tidak disebut sebelum makan maka setan akan turut menikmatinya dan berkah makanan tersebut menjadi hilang.
- Memulai makan dari sisi atas piring. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang mulai makan dari sisi atas piring karena pada sisi atas piring tersebut terdapat barakah sehingga yang tepat adalah makan dari sisi pinggir piring.
- Makan sendiri-sendiri. Makan sendiri-sendiri berarti setiap orang memegang piring sendiri sehingga setiap makanan yang ada harus dibagi lalu berkah makanan dihilangkan. Hal ini menunjukkan bahwa sepatutnya makanan untuk sekelompok orang itu diletakkan dalam satu nampan baik berjumlah sepuluh ataupun lima orang hendaknya jatah makan untuk mereka diletakkan di satu piring yang cukup untuk mereka. Karena hal ini merupakan sebab turunnya keberkahan makanan. Sekali lagi perlu ditegaskan bahwa makan sendiri-sendiri merupakan sebab hilangnya keberkahan makanan.
Makruhnya makan dalam porsi terlalu banyak atau sedikit
Makan dalam porsi terlalu besar merupakan penyebab tubuh menjadi sakit
dan merasa malas sehingga sangat berat untuk melakukan berbagai amal
ketaatan. Di samping itu hal tersebut akan menyebabkan hati menjadi
beku. Sebaliknya makan dalam porsi yang terlalu sedikit, juga akan
menyebabkan badan menjadi lemah dan loyo sehingga tidak kuat melakukan
berbagai amal taat. Solusi tepat untuk masalah ini adalah petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Jika kita mempraktekkannya dalam keseharian kita tentu kita tidak
terlalu sering pergi ke dokter. Dari Miqdam bin Ma’di Karib beliau
menegaskan bahwasanya beliau mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah
seorang manusia memenuhi satu wadah yang lebih berbahaya dibandingkan
perutnya sendiri. Sebenarnya seorang manusia itu cukup dengan beberapa
suap makanan yang bisa menegakkan tulang punggungnya. Namun jika tidak
ada pilihan lain, maka hendaknya sepertiga perut itu untuk makanan,
sepertiga yang lain untuk minuman dan sepertiga terakhir untuk nafas.” (HR. Ibnu Majah no. 3349 dan dinilai shahih oleh al-Albani dalam shahih sunan Ibnu Majah no. 2720)
Ibnu Muflih mengatakan, dalam al-Adab as-Syar’iyyah 3/183-185
bahwasanya Ibnu Abdil Barr dan ulama yang lain menyebutkan bahwa Umar
bin Khatthab pada suatu hari pernah berkhutbah, dalam khutbahnya beliau
mengatakan, “Jauhilah kekenyangan karena sesungguhnya kekenyangan itu
menyebabkan malas untuk shalat dan
bahkan badan malah menjadi sakit. Hendaknya kalian bersikap
proporsional dalam makan karena hal tersebut menjauhkan dari sifat
sombong, lebih sehat bagi badan dan lebih kuat untuk beribadah.
Sesungguhnya seseorang itu tidak akan binasa kecuali ketika dia
mengatakan keinginannya daripada agamanya.”
Al Fudhail bin Iyyadh mengatakan, “Ada dua hal yang menyebabkan hati
menjadi beku dan keras yaitu banyak berbicara dan banyak makan.”
Al Khalal dalam Jami’nya
meriwayatkan dari Imam Ahmad bahwa beliau pernah mendapat pertanyaan,
“Ada orang-orang yang makan terlalu sedikit dan mereka memang bersengaja
untuk melakukan hal seperti itu?” Imam Ahmad mengatakan, “Aku tidak
suka hal seperti itu, karena aku mendengar Abdurrahman bin Mahdi
mengatakan, “Ada sekelompok orang yang berbuat seperti itu, namun
akhirnya mereka malah tidak kuat untuk mengerjakan berbagai amal yang
hukumnya wajib.”
Larangan menghadiri jamuan yang menyediakan khamr
Dari Umar bin al-Khatthab radhiyallahu ‘anhu beliau mengatakan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam itu melarang dua jenis makanan, pertama, menghadiri jamuan yang mengedarkan khamar, kedua, makan sambil telungkup.” (HR. Abu Dawud no. 3774 dan dinilai shahih oleh al-Albani) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Barang siapa yang benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir maka janganlah menghadiri perjamuan yang mengedarkan khamr.” (HR. Ahmad no. 14241)
Hadits tersebut secara tegas melarang menghadiri jamuan makan yang
menyediakan khamr. Hal ini menunjukkan bahwa hukumnya adalah haram.
Karena duduk di suatu tempat yang mengandung kemungkaran merupakan
pertanda ridha dan rela dengan kemungkaran tersebut.
Anjuran makan berjamaah
Allah berfirman yang artinya, “Tidak ada halangan bagi kamu makan bersama-sama mereka atau sendirian.” (QS. an-Nur: 61)
Ketika al-Qurthubi menafsirkan ayat ini, beliau mengatakan, “Dikatakan
bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Bani Laits bin Bakr yang merupakan
keturunan Bani Kinanah. Ada salah seorang dari mereka yang tidak mau
makan sendirian. Beberapa waktu lamanya dia menahan lapar, sampai ada
orang yang mau diajak makan bersama.”
Dalam al-Muharra al-Wajiz 11/328
Ibnu Athiyyah mengatakan, “Makan dengan bersama-sama merupakan tradisi
Arab yang turun-temurun dari Nabi Ibrahim. Beliau tidak mau makan
sendirian. Begitu pula sebagian orang-orang Arab ketika kedatangan tamu,
mereka tidak mau makan kecuali bersama tamunya. Lalu turunlah ayat di
atas yang menjelaskan adab makan yang benar dan membatalkan segala
perilaku orang Arab yang menyelisihi ayat ini. Ayat ini secara tegas membolehkan makan sendirian,
suatu hal yang diharamkan oleh bangsa Arab sebelumnya. Tentang ayat di
atas Ibn Katsir menyatakan, “Ini merupakan keringanan dari Allah.
Seorang boleh makan dengan cara sendiri-sendiri atau bersama beberapa
orang dalam satu wadah makanan meski makan dengan cara yang kedua itu
lebih berkah dan lebih utama.”
Syekh Yahya bin Ali al-Hajuri mengatakan, “Inilah pendapat kami. Makan
dengan berjamaah itu lebih utama di samping hal tersebut termasuk
perangai dan akhlak orang
Arab yang luhur. Terlebih lagi jika dipraktekkan ketika ada acara
pertemuan. Kami tidak berpendapat bahwa makan dengan cara
sendiri-sendiri adalah haram, karena tidak ada seorang pun ulama yang
berpendapat demikian sepengetahuan kami kecuali jika dikaitkan dengan
perilaku menyerupai orang-orang kafir. Menyerupai mereka adalah
merupakan suatu hal yang diharamkan berdasarkan dalil-dalil yang tegas.
Berikut ini adalah hadits-hadits yang menunjukkan pentingnya makan berjamaah, karena hal tersebut telah disyariatkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dari Tsauban, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Hampir saja banyak orang mengerumuni kalian seperti orang-orang yang hendak makan mengerumuni sebuah piring besar.” (HR Abu Dawud, shahih)
Hadits ini menunjukkan bahwa di antara kebiasaan orang-orang Arab adalah
beberapa orang makan dari satu piring. Ini merupakan cara makan yang
diajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di samping merupakan adab kebiasaan orang Arab.
Dari Nafi’ beliau mengatakan, “Ibnu Umar memiliki kebiasaan tidak
memakan kecuali bersama orang miskin. Suatu ketika aku mengajak
seseorang untuk menemani beliau makan. Ternyata orang tersebut makan
dalam porsi yang besar. Sesudah itu Ibnu Umar mengatakan, “Wahai Nafi’
janganlah kau ajak orang ini untuk menemani aku makan, karena aku
mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Orang beriman itu makan dengan menggunakan satu lambung sedangkan orang yang kafir makan dengan menggunakan tujuh lambung.” (HR. Bukhari no. 5393, dan Muslim no. 2060)
Ibnu Umar adalah salah seorang sahabat yang dikenal sebagai orang yang teguh menjalankan sunnah-sunnah Nabi. Sedangkan hadits di atas menunjukkan bahwa beliau hanya mau makan bila ditemani seorang yang miskin.
Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, aku menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan membawa khazirah (sejenis
masakan daging dicampur dengan tepung) yang sudah aku masak untuk
beliau. Aku katakan kepada Saudah yang berada di sebelah Nabi, “Ayo
makan.” Namun Saudah enggan memakannya. Karena itu, aku katakan, “Engkau
harus makan atau makanan ini aku oleskan ke wajahmu.” Mendengar hal
tersebut Saudah tetap tidak bergeming, maka aku ambil makanan tersebut
dengan tanganku lalu aku oleskan pada wajahnya.” Hal ini menyebabkan
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tertawa
lalu menyodorkan makanan tersebut kepada Saudah seraya mengatakan,
“Balaslah olesi juga wajahnya.” Akhirnya Nabi pun tertawa melihat wajah
Aisyah yang juga dilumuri makanan tersebut. Setelah itu Umar lewat,
sambil berkata, “Wahai Abdullah, wahai Abdullah.” Nabi mengira kalau
Umar hendak masuk ke rumah maka beliau bersabda, “Basuhlah muka kalian
berdua.” Aisyah mengatakan, “Sejak saat itu aku merasa segan kepada Umar
karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menaruh rasa hormat kepada beliau.” (HR. Abu Ya’la, dengan sanad yang hasan)
Pesan yang terkandung dalam hadits ini:
- Suami makan bersama istri-istrinya dari satu piring.
- Bersenda-gurau dengan istri, kedua hal ini dianjurkan dalam rangka menjaga keharmonisan rumah tangga.
- Berlaku adil di antara istri dan bersikap adil terhadap pihak yang teraniaya meskipun dengan nada bergurau.
Hadits-Hadits tentang makan berjamaah
Dari Abdullah bin Sa’ad radhiyallahu ‘anhu, “Aku bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang
menemani makan istri yang haidh maka beliau bersabda, “Temanilah makan
istri yang sedang haidh.” (HR. Turmudzi, Abu dawud dan Ibn Majah,
hasan). Penulis kitab Aunul Ma’bud, syarah Abu Dawud dan penulis Tuhfah al Ahfadzi, Syarah sunan Turmudzi sepakat bahwa yang dimaksud menemani makan adalah makan bersama.
Hadits ini menunjukkan bahwa badan dan keringat wanita yang
sedang haidh itu suci demikian pula menunjukkan pula bahwa di antara
kiat menjaga keharmonisan hubungan suami istri adalah makan bersama dari
satu wadah. Inilah di antara petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dari Ibnu Abi Aufa beliau mengatakan, “Kami ikut perang bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebanyak
tujuh atau enam kali dan kami makan belalang bersama beliau.” (HR.
Muslim no. 1952) al-Hafidz Ibn Hajar al-Atsqalani mengatakan, “Yang
dimaksud kami makan belakang bersama beliau, ada dua kemungkinan, pertama, bersama dalam perang tidak dalam masalah makan. Kedua,
bersama dalam makan. Kemungkinan yang kedua ini dikuatkan oleh riwayat
Abu Nuaim dalam kitab at-Tib dengan redaksi, “Dan beliau makan bersama
kami.”
Singkatnya kemungkinan makna yang benar adalah kemungkinan yang kedua. Sehingga hadits di atas menunjukkan betapa akrabnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan para sahabat. Untuk menjalin keakraban sesama mereka Nabi tidak segan untuk duduk makan bersama mereka.
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah
makan siang dan makan malam dengan menggunakan roti dan daging kecuali
dalam hidangan sesama banyak orang.” (HR. Ahmad, Abu Ya’la, Ibn Hibban
dengan sanad shahih)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu beliau berkata, “Ada seorang sahabat Anshar yang tinggal di Quba mengundang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
kami lalu berangkat bersama beliau ketika beliau telah selesai makan
dan mencuci kedua tangannya, beliau berdoa…” hadits ini juga
diriwayatkan oleh Imam Bukhari no. 5458 dari Abu Umamah dengan redaksi,
“Apabila maidah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah disingkirkan beliau berdoa…”
Al-Maidah adalah meja makan untuk satu atau dua orang. Akan tetapi ketika menafsirkan ayat yang artinya, “Wahai Rabb kami, turunkanlah maidah dari langit untuk kami”, Ibn Katsir menyebutkan pendapat mayoritas salaf tentang makna maidah. Mereka mengatakan maidah adalah hidangan yang dinikmati oleh banyak orang. Makna seperti ini juga disebutkan oleh Ibnu Mamduh dalam karyanya, Lisanul Arab. Sedangkan hadits sebelumnya juga berkaitan dengan makan bersama karena dalam hadits tersebut dinyatakan, “Kami lalu berangkat bersama beliau.”
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bangkit
menuju kamar Shafiyah aku mengundang kaum muslimin untuk menghadiri
acara walimah nikah beliau dengan Shafiyah. Rasulullah memerintahkan
untuk membentangkan alas dari kulit. Di atasnya dituangkan kurma, keju
dan lemak.” (HR. Bukhari dan Muslim) Hadits ini jelas menunjukkan acara
makan bersama di atas alat kulit dan bolehnya membentangkan alas dan
kulit untuk makan.
Dari Jabir bin Abdillah, beliau bercerita ada seorang perempuan Yahudi
dari penduduk Khaibar meracuni daging kambing bakar. Daging kambing
tersebut lalu dihadiahkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Rasulullah lalu memilih kaki kambing, beliau makan dari kambing yang
dihadiahkan tersebut bersama sahabat yang lain.” (HR Darimi, dengan
sanad yang mursal namun memiliki beberapa hadits penguat)
Hadits di atas di samping menunjukkan bahwa di antara kebiasaan Nabi
adalah makan bersama para sahabat juga menunjukkan bahwa Nabi itu tidak
mengetahui hal yang gaib. Pada awal mulanya, Nabi tidak tahu kalau
daging kambing yang disuguhkan itu beracun. (Disarikan dari buku Makan Berjamaah -edisi terjemah- karya Syaikh Yahya bin Ali al-Hajuri, Penerbit Pustaka An-Najiyah)
-selesai, alhamdulillah-
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan Komentar Disini