Posted by Unknown on Sabtu, April 18, 2015 in Islami | No comments
Ada dua amalan penting yang dilakukan Jama’ah Haji di hari-hari tasyriq
(11, 12 dan 13 Dzulhijjah) yaitu mabit di Mina dan lempar tiga jumrah
yaitu ‘Ula, Wustho dan ‘Aqobah. Kedua amalan tersebut termasuk wajib haji. Mari kita lihat sekilas mengenai kedua amalan tersebut.
Mabit di Mina pada Hari Tasyriq
Bermalam di Mina adalah wajib pada hari-hari tasyriq. Demikian pendapat
jumhur (baca: mayoritas) ulama. Yang disebut mabit atau bermalam berarti
tinggal di Mina minimal separuh malam atau lebih.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada
hari-hari tersebut terus berada di Mina. Beliau terus berada di Mina
sampai thowaf Wada’ ditunaikan. Jadi beliau tetap di Mina siang dan
malam.
Kemudian shalat lima waktu yang dikerjakan oleh jama’ah haji di Mina tanpa dijamak, masing-masing shalat dikerjakan di waktunya, hanya cukup diqoshor saja (shalat empat raka’at menjadi dua raka’at). Karena demikianlah yang dilakukan oleh Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan jika ia melakukannya secara jamak juga boleh akan tetapi hal itu menyelisihi yang Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- lakukan.
Lempar Tiga Jumrah pada Hari Tasyriq
Pada hari tasyriq, ada tiga jumrah yang dilempar. Waktu lempar jumrah pada hari tasyriq adalah setelah zawal (matahari
tergelincir ke barat) hingga tenggelamnya matahari. Demikian yang
disepakati oleh para ulama. Namun jika dilakukan pada malam hari, maka
tetap sah.
Sedangkan bagaimana jika melempar sebelum zawal, apakah dibolehkan?
Boleh jika ada hajat. Namun afdholnya tetap ba’da zawal karena hal ini
disepakati oleh para ulama.
Lempar jumrah yang dilakukan sama seperti hari sebelumnya ketika
melempar jumrah ‘Aqobah dengan tujuh batu untuk tujuh kali lemparan dan
setiap kali melempar disunnahkan mengucapkan takbir (Allahu akbar).
Sah-sah saja menggunakan batu bekas melempar. Dan sah-sah saja
mengambil batu dari tempat mana saja, tidak mesti dari Muzdalifah.
Batu-batu tersebut juga tidak mesti dicuci terlebih dahulu sebagaimana
yang dilakukan oleh sebagian orang.
Sebagian orang awam menganggap bahwa tiang lempar jumrah adalah setan
atau tempat setan. Anggapan ini tidaklah ada landasannya. Semua ini
dilakukan dalam rangka ibadah dan dzikir pada Allah. Dari ‘Aisyah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,
إِنَّمَا جُعِلَ الطَّوَافُ بِالْبَيْتِ وَبَيْنَ الصَّفَا وَالْمَرْوَةِ وَرَمْىُ الْجِمَارِ لإِقَامَةِ ذِكْرِ اللَّهِ
“Sesungguhnya thawaf di Ka’bah, melakukan sa’i antara Shafa dan Marwah dan melempar jumrah adalah bagian dari dzikrullah (dzikir pada Allah)” (HR. Abu Daud no. 1888, Tirmidzi no. 902 dan Ahmad 6: 46. At Tirmidzi mengatakan hadits inihasan shahih. Syaikh Al Albani dan Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini dho’if)
Urutan lempar jumrah yang dilakukan pada hari tasyriq adalah mulai dari jumrah Ula, lalu jumrah Wustho, lalu jumrah ‘Aqobah.
Yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lakukan, beliau melempar jumrah Ula dan
menjadikannya di sisi kiri sambil beliau menghadap kiblat. Kemudian
setelah itu beliau maju sedikit lalu menghadap kiblat kemudian berdo’a
yang lama dengan mengangkat tangan.
Lalu beliau beralih ke jumrah Wustho dan
menjadikannya di sisi kanan dan beliau menghadap kiblat lalu melempar.
Kemudian beliau maju ke sisi kirinya dan berdo’a dengan do’a yang
panjang sambil mengangkat tangan.
Kemudian setelah itu melempar jumrah ‘Aqobah dan
Mina dijadikan di sebelah kanan sedangkan Masjidil Haram di sisi kiri,
lalu melempar. Dan setelah itu tidak disunnahkan untuk berdo’a.
Nafr Awwal Sebelum Matahari Tenggelam
Boleh bersegar keluar dari Mina sebelum matahari tenggelam pada hari
tasyriq kedua (tanggal 12 Dzulhijjah). Berarti gugur dari mabit pada
malam ketiga dari hari tasyriq dan gugur pula melempar jumrah pada hari
tersebut. Hal ini berdasarkan ayat,
فَمَنْ تَعَجَّلَ فِي يَوْمَيْنِ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ وَمَنْ تَأَخَّرَ فَلَا إِثْمَ عَلَ؊ْهِ لِمَنِ اتَّقَى
“Barangsiapa
yang ingin cepat berangkat (dari Mina) sesudah dua hari, maka tiada
dosa baginya. Dan barangsiapa yang ingin menangguhkan (keberangkatannya
dari dua hari itu), maka tidak ada dosa pula baginya, bagi orang yang
bertakwa.” (QS. Al Baqarah: 203).
Semoga menjadi ilmu yang bermanfaat.
Referensi:
Shifat Hajjatin Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Marzuq Ath Thorifiy, terbitan Maktabah Darul Minhaj, cetakan ketiga, tahun 1433 H, hal.183-190.
@ Sakan 27 Jami’ah Malik Su’ud, Riyadh, KSA, 5 Dzulhijjah 1433 H
artikel www.rumaysho.com
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan Komentar Disini