Posted by Unknown on Sabtu, April 11, 2015 in Islami | No comments
Sesungguhnya Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah berfirman (yang artinya) :
“Pada hari ini telah kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah
Kucukupkan nikmat-Ku dan telah Kuridhai Islam sebagai agama bagimu “.
(QS. Al Maidah : 3).
(QS. Al Maidah : 3).
Dan Rasulullah Shalallahu’alaihi Wassallam pernah pernah bersabda (yang artinya):
“Barang siapa mengada-adakan satu perkara (dalam agama) yang sebelumnya
belum pernah ada, maka ia tertolak “. (HR. Bukhari Muslim)
dalam riwayat Muslim (yang artinya):
“Barang siapa mengerjakan perbuatan yang tidak kami perintahkan (dalam agama) maka ia tertolak”.
Masih banyak lagi hadits-hadits yang senada dengan hadits ini, yang
semuanya menunjukan dengan jelas, bahwasanya Allah telah menyempurnakan
agama ini untuk umat-Nya. Dia telah mencukupkan nikmat-Nya bagi mereka.
Dia tidak mewafatkan nabi Muhammad Shalallahu’alaihi Wassallam kecuali
setelah beliau menyelesaikan tugas penyampaian risalahnya kepada umat
dan menjelaskan kepada mereka seluruh syariat Allah, baik melalui ucapan
maupun pengamalan.
Beliau menjelaskan segala sesuatu yang akan diada-adakan oleh sekelompok
manusia sepeninggalnya dan dinisbahkan kepada ajaran Islam baik berupa
ucapan ataupun perbuatan, semuanya bid’ah yang tertolak, meskipun
niatnya baik. Para sahabat dan ulama mengetahui hal ini, maka mereka
mengingkari perbuatan-perbuatan bid’ah dan memperingatkan kita dari
padanya. Hal ini disebutkan oleh mereka yang mengarang tentang
pengagungan sunnah dan pengingkaran bid’ah seperti Ibnu Wadhah dan Abi
Syamah dan lainnya.
Diantara bid’ah yang biasa dilakukan oleh banyak orang adalah bid’ah
mengadakan upacara peringatan malam nisyfu sya’ban dan mengkhususkan
hari tersebut dengan puasa tertentu. Padahal tidak ada satupun dalil
yang dapat dijadikan sandaran, memang ada beberapa hadits yang
menegaskan keutamaan malam tersebut akan tetapi hadits-hadits tersebut
dhaif sehingga tidak dapat dijadikan landasan. Adapun hadits-hadits yang
menegaskan keutamaan shalat pada hari tersebut adalah maudhu’ (palsu).
A1 Hafidz ibnu Rajab dalam bukunya “Lathaiful Ma’arif ‘ mengatakan bahwa
perayaan malam nisfu sya’ban adalah bid’ah dan hadits-¬hadits yang
menerangkan keutamaannya adalah lemah.
Imam Abu Bakar At Turthusi berkata dalam bukunya `alhawadits walbida’ :
“Diriwayatkan dari wadhoh dari Zaid bin Aslam berkata :”kami belun
pernah melihat seorangpun dari sesepuh ahli fiqih kami yang menghadiri
perayaan nisyfu sya’ban, tidak mengindahan hadits makhul (dhaif) dan
tidak pula memandang adanya keutamaan pada malam tersebut terhadap
malam¬-malam lainnya”.
Dikatakan kepada Ibnu Maliikah bahwasanya Ziad Annumari berkata:
“Pahala yang didapat (dari ibadah ) pada malam nisyfu sya’ban menyamai pahala lailatul qadar.
bnu Maliikah menjawab : Seandainya saya mendengar ucapannya sedang ditangan saya ada tongkat, pasti saya pukul dia. Ziad adalah seorang penceramah.
“Pahala yang didapat (dari ibadah ) pada malam nisyfu sya’ban menyamai pahala lailatul qadar.
bnu Maliikah menjawab : Seandainya saya mendengar ucapannya sedang ditangan saya ada tongkat, pasti saya pukul dia. Ziad adalah seorang penceramah.
Al Allamah Syaukani menulis dalam bukunya, fawaidul majmuah, sebagai
berikut : Hadits : “Wahai Ali barang siapa melakukan shalat pada malam
nisyfu sya’ban sebanyak seratus rakaat : ia membaca setiap rakaat Al
Fatihah dan Qulhuwallahuahad sebanyak sepuluh kali, pasti Allah memenuhi
segala …. dan seterusnya.
Hadits ini adalah maudhu’, pada lafadz-lafadznya menerangkan tentang pahala yang akan diterima oleh pelakunya adalah tidak diragukan kelemahannya bagi orang berakal, sedangkan sanadnya majhul (tidak dikenal). Hadits ini diriwayatkan dari jalan kedua dan ketiga, kesemuanya maudhu ‘ dan perawi¬-perawinya majhul.
Hadits ini adalah maudhu’, pada lafadz-lafadznya menerangkan tentang pahala yang akan diterima oleh pelakunya adalah tidak diragukan kelemahannya bagi orang berakal, sedangkan sanadnya majhul (tidak dikenal). Hadits ini diriwayatkan dari jalan kedua dan ketiga, kesemuanya maudhu ‘ dan perawi¬-perawinya majhul.
Dalam kitab “Al-Mukhtashar” Syaukani melanjutkan : “Hadits yang menerangkan shalat nisfu sya’ban adalah batil” .
Ibnu Hibban meriwayatkan hadits dari Ali : “…Jika datang malam nisfu
sya’ban bershalat malamlah dan berpusalah pada siang harinya”. Inipun
adalah hadits yang dhaif.
Dalam buku Al-Ala’i diriwayatkan :
“Seratus rakaat dengan tulus ikhlas pada malam nisfu sya’ban adalah pahalanya sepuluh kali lipat”. Hadits riwayat Ad-Dailamy, hadits ini tidak maudhu; tetapi mayoritas perawinya pada jalan yang ketiga majhul dan dho’if.
“Seratus rakaat dengan tulus ikhlas pada malam nisfu sya’ban adalah pahalanya sepuluh kali lipat”. Hadits riwayat Ad-Dailamy, hadits ini tidak maudhu; tetapi mayoritas perawinya pada jalan yang ketiga majhul dan dho’if.
Imam Syaukani berkata : “Hadits yang menerangkan bahwa dua belas raka’
at dengan tulus ikhlas pahalanya adalah tiga puluh kali lipat, maudhu’.
Dan hadits empat belas raka’at ….dst adalah maudhu”.
Para fuqoha’ banyak yang tertipu oleh hadits-¬hadits maudhu’ diatas
seperti pengarang Ihya’ Ulumuddin dan sebagian ahli tafsir. Telah
diriwayatkan bahwa sholat pada malam itu yakni malam nisfu sya’ban yang
telah tersebar ke seluruh pelosok dunia semuanya adalah bathil (tidak
benar) dan haditsnya adalah maudhu’.
Al-Hafidh Al-Iraqy berkata : “Hadits yang menerangkan tentang sholat
nisfu sya’ban maudhu’ dan pembohongan atas diri Rasulullallah
Shalallahu’alaihi Wassallam.
Dalam kitab Al-Majmu’, Imam Nawawi berkata :”Shalat yang sering kita kenal dengan shalat ragha’ib berjumlah dua belas raka’at dikerjakan antara maghrib dan isya’ pada malam jum’at pertama bulan rajab, dan sholat seratus raka’at pada malam nisfu sya’ban, dua sholat ini adalah bid’ah dan mungkar.
Dalam kitab Al-Majmu’, Imam Nawawi berkata :”Shalat yang sering kita kenal dengan shalat ragha’ib berjumlah dua belas raka’at dikerjakan antara maghrib dan isya’ pada malam jum’at pertama bulan rajab, dan sholat seratus raka’at pada malam nisfu sya’ban, dua sholat ini adalah bid’ah dan mungkar.
Tak boleh seorangpun terpedaya oleh kedua hadits tersebut hanya karena
telah disebutkan didalam kitab Qutul Qulub dan Ihya’ Ulumuddin, sebab
pada dasarnya hadits-haduts tersebut bathil (tidak boleh diamalkan).
Kita tidak boleh cepat mempercayai orang-orang yang menyamarkan hukum
bagi kedua hadits yaitu dari kalangan a’immah yang kemudian mengarang
lembaran-¬lembaran untuk membolehkan pengamalan kedua hadits tersebut.
Syaikh Imam Abu Muhammad Abdurrahman bin Isma’ il Al-Maqdisy telah
mengarang suatu buku yang berharga; beliau menolak (menganggap bathil)
kedua hadits diatas.
Dalam penjelasan diatas tadi, seperti ayat-ayat Al-Qur’an dan beberapa hadits serta pendapat para ulama jelaslah bagi pencari kebenaran (haq) bahwa peringatan malam nisfu sya’ ban dengan pengkhususan sholat atau lainnya, dan pengkhususan siang harinya degan puasa itu semua adalah bid’ah dan mungkar tidak ada dasar sandarannya didalam syari’at Islam ini, bahkan hanya merupakan perkara yang diada-adakan dalam Islam setelah masa hidupnya para shahabat. Marilah kita hayati ayat Al-Qur’an dibawah ini (yang artinya):
“Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu dan telah kucukupkan kepadamu nikmat-Ku dan Ku-Ridhoi Islam sebagai agamamu”.
Dalam penjelasan diatas tadi, seperti ayat-ayat Al-Qur’an dan beberapa hadits serta pendapat para ulama jelaslah bagi pencari kebenaran (haq) bahwa peringatan malam nisfu sya’ ban dengan pengkhususan sholat atau lainnya, dan pengkhususan siang harinya degan puasa itu semua adalah bid’ah dan mungkar tidak ada dasar sandarannya didalam syari’at Islam ini, bahkan hanya merupakan perkara yang diada-adakan dalam Islam setelah masa hidupnya para shahabat. Marilah kita hayati ayat Al-Qur’an dibawah ini (yang artinya):
“Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu dan telah kucukupkan kepadamu nikmat-Ku dan Ku-Ridhoi Islam sebagai agamamu”.
Dan banyak lagi ayat-ayat lain yang semakna dengan ayat diatas.
Selanjutnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya):
“Barang siapa mengada-adakan satu perkara (dalam agama) yang sebelumnya belum pernah ada, maka ia tertolak”. (HR. Bukhari Muslim).
“Barang siapa mengada-adakan satu perkara (dalam agama) yang sebelumnya belum pernah ada, maka ia tertolak”. (HR. Bukhari Muslim).
Dalam hadits lain beliau bersabda (yang artinya):
“Janganlah kamu sekalian mengkhususkan malam jum ‘at dari pada malam-malam lainnya dengan suatu sholat, dan janganlah kamu sekalian mengkhususkan siang harinya untuk berpuasa dari pada hari-hari lainnya, kecuali jika sebelum hari itu telah berpuasa” (HR. Muslim).
“Janganlah kamu sekalian mengkhususkan malam jum ‘at dari pada malam-malam lainnya dengan suatu sholat, dan janganlah kamu sekalian mengkhususkan siang harinya untuk berpuasa dari pada hari-hari lainnya, kecuali jika sebelum hari itu telah berpuasa” (HR. Muslim).
Seandainya pengkhususan suatu malam dengan ibadah tertentu itu
dibolehkan oleh Allah, maka bukankah malam jum’at itu lebih baik dari
pada malam-malam lainnya, karena hari jum’at adalah hari yang terbaik
yang disinari oleh matahari ? Hal ini berdasarkan hadits-hadits
Rasulullah Shalallahu’alaihi Wassallam yang shohih.
Tatkala Rasulullah Shalallahu’alaihi Wassallam telah melarang untuk
mengkhususkan sholat pada malam hari itu ini menunjukkan malam yang
lainnya lebih tidak boleh lagi. Kecuali jika ada dalil yang shohih yang
mengkhususkannya.
Manakala malam lailatul Qadar dan malam¬-malam bulan puasa itu
disyari’atkan supaya sholat dan bersungguh-sungguh dengan ibadah
tertentu, Nabi mengingatkan dan menganjurkan kepada ummatnya agar supaya
melaksanakan¬nya, beliaupun juga mengerjakannya. Sebagaimana disebutkan
didalam hadits yang shohih (yang artinya):
“Barang siapa melakukan sholat pada malam bulan ramadhan dengan penuh rasa iman dan mengharap pahala niscaya Allah akan mengampuni dosanya yang telah lewat. Dan barangsiapa yang melakukan sholat pada malam lailatul Qadar dengan penuh rasa iman niscaya Allah akan mengampuni dosa yang telah lewat” (Muttafaqun ‘alahi).
“Barang siapa melakukan sholat pada malam bulan ramadhan dengan penuh rasa iman dan mengharap pahala niscaya Allah akan mengampuni dosanya yang telah lewat. Dan barangsiapa yang melakukan sholat pada malam lailatul Qadar dengan penuh rasa iman niscaya Allah akan mengampuni dosa yang telah lewat” (Muttafaqun ‘alahi).
Jika seandainya malam nisfu sya’ban, malam jum’at pertama pada bulan
rajab, serta malam isra’ mi’raj diperintahkan untuk dikhususkan dengan
upacara atau ibadah tertentu, pastilah Rasululah Shalallahu’alaihi
Wassallam menjelaskan kepada ummatnya atau menjalankannya sendiri. Jika
memang hal ini pernah terjadi, niscaya telah disampaikan oleh para
shahabat kepada kita, mereka tidak akan menyembunyikannya, karena mereka
adalah sebaik-baik manusia clan yang paling banyak memberi nasehat
setelah Rasululah Shalallahu’alaihi Wassallam.
Dari pendapat-pendapat ulama tadi anda dapat menyimpulkan bahwa tidak
ada ketentuan apapun dari Rasulullah Shalallahu’alaihi Wassallam ataupun
dari para sahabat tentang keutamaan malam malam nisfu sya’ban dan malam
jum’at pertama pada bulan Rajab.
Dari sini kita tahu bahwa memperingati perayaan kedua malam tersebut
adalah bidah yang diada-adakan dalam Islam, begitu pula pengkhususan
dengan ibadah tertentu adalah bid’ah mungkar; sama halnya dengan malam
27 Rajab yang banyak diyakini orang sebagai malam Isra dan Mi’raj,
begitu juga tidak boleh dirayakan dengan upacara-upacara ritual,
berdasarkan dalil-dalil yang disebutkan tadi.
(Diringkas/ disadur dari kitab Tahdzir minul bida’ karya Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Oleh An Nafi’ah dan redaksi).
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan Komentar Disini