Posted by Unknown on Sabtu, April 11, 2015 in Islami | No comments
Perhatikan pasangan hidup anda saat ini, dan tanyakan kepada diri
sendiri, “Sudahkah memahami dan mengerti kondisinya hari ini?” Semoga
anda bisa menjawab pertanyaan berikut ini:
“Tahukah apa yang sedang diinginkannya hari ini?”
“Tahukah anda, apa yang sedang dipikirkannya?”
“Tahukah anda apa yang menggelisahkan hatinya?”
Dalam kehidupan berumah tangga, sering ditemukan ketidakharmonisan
antara suami dan isteri. Masing-masing merasa tidak dipahami oleh
pasangan. Isteri menganggap suami terlalu egois, hanya mementingkan
urusan dirinya sendiri, tanpa peduli kondisi dan keinginan isteri.
Sebaliknya, suami menganggap isteri sangat mementingkan diri sendiri dan
tidak peduli dengan harapan suami. Mereka berdua saling menuntut
dipahami oleh pasangan.
Pagi-pagi isteri merasa sangat sibuk dengan urusan rumah tangga. Bangun
pagi untuk menyiapkan sarapan, membersihkan rumah, dan menyiapkan
keperluan anak-anak yang akan berangkat sekolah. Dengan kesibukan pagi
harinya, isteri merasa lelah dan akhirnya kesal dengan sikap suami yang
tidak pernah mau membantu urusan rumah tangga. Ia melihat suami hanya
bersantai di depan laptop atau komputer, tidak mempedulikan kesibukan
pagi yang sangat menyita waktu, perhatian dan tenaga.
Sementara suami merasa perlu menyiapkan diri untuk bisa bekerja di
kantor pada hari itu dengan kondisi prima. Selepas shalat Subuh ia masih
menyiapkan beberapa urusan kantor. Menghidupkan komputer, membuka
email, membaca berbagai berita. Itu semua penting bagi dirinya agar bisa
masuk kerja dengan persiapan yang baik. Merasa lebih konfidens dengan
berbagai “sarapan” berupa informasi terkini. Ia tidak mau diganggu oleh
“teriakan” isteri yang memintanya melakukan beberapa urusan rumah
tangga.
“Tolong siapkan tas sekolahnya adik dong Pa. Ini Mama masih belum selesai menyiapkan sarapan”, kata isteri dari dapur.
Suami yang tengah asyik di depan komputer tampak tenang saja dan tidak
menunjukkan reaksi positif atas permintaan tersebut. Isteri mengulang
permintaan tersebut dengan nada yang lebih tinggi, berharap suami mau
membantunya. Namun seakan ia tengah berbicara dengan tembok. Tidak ada
respon, bahkan untuk sekedar menjawab dengan “Ya” atau “Sebentar Ma”.
Kondisi ini memicu emosi isteri yang merasa tidak dipedulikan dan tidak
dipahami oleh suami.
Sementara suami merasa sangat tidak nyaman dengan “teriakan-teriakan”
dari dapur tersebut, dan menganggap isteri tidak memahami betapa penting
aktivitas yang sedang dilakukannya. Sebagai seorang profesional, ia
merasa harus mendapat banyak berita dan informasi terkini, sebelum masuk
kerja. Dengan cara itu ia merasa telah menggenggam dunia. Semua
aktivitas pagi hari di depan komputer, baginya adalah bagian dari kerja
profesional. Sementara sang isteri menganggap itu sebagai bagian dari
kemalasan lelaki.
Saling Memahami
Jika anda merasa pasangan anda tidak memahami anda, tanyakan kepada diri
sendiri apakah anda sudah berusaha memahami dia? Jangan menuntut
pasangan memahami anda, kalau anda sendiri tidak mau memahami dia.
Kuncinya di sini: anda harus menjadi orang pertama yang memahami
pasangan anda. Jika ini yang terjadi, kedua belah pihak akan saling
memahami.
Jika kedua belah pihak menuntut dipahami oleh pasangannya, maka yang
terjadi tak ada satupun dari keduanya yang memahami pasangan. Yang
terjadi hanyalah suasana ketegangan karena saling menuntut hak untuk
dipahami. Ungkapan berikut merupakan contoh tuntutan yang tidak efektif,
apabila diungkapkan oleh kedua belah pihak:
“Engkau sangat egois, tidak pernah memahami diriku. Engkau hanya peduli urusanmu sendiri”.
“Cobalah engkau belajar memahami diriku, jangan aku yang harus selalu memahamimu”
“Mengapa engkau tak mau mengerti kondisi diriku? Bukankah aku selalu memahami kondisimu?”
Jika suami dan isteri menuntut hal yang serupa seperti di atas, maka
sesungguhnya mereka berdua tidak akan pernah saling memahami
pasangannya. Kedua belah pihak menuntut untuk dipahami, bukan berusaha
memahami. Ujungnya hanyalah pertengkaran dan perasaan tidak dipahami
oleh pasangan.
Melelehkan Kebekuan
“Terimalah aku apa adanya”, ungkap seorang isteri kepada suaminya.
Kalimat tersebut benar, namun bisa digunakan secara tidak benar. Menjadi
benar apabila dimaksudkan suami dan isteri harus saling menerima
kelebihan dan kekurangan pasangan, tidak menuntut hal yang berlebihan
dan di luar kesanggupan pasangan. Menjadi tidak benar apabila
dimaksudkan untuk menyatakan ketidakmauan berubah.
“Aku memang seperti ini. Tidak akan bisa berubah. Terserah kamu akan berkata apa”.
Itu kalimat yang salah. Semua dari kita bisa berubah, karena sifat
manusia yang sangat lentur dan bisa dibentuk. Maka keinginan untuk
dipahami harus bermula dari melelehkan kebekuan diri, jangan enggan
untuk memulai, jangan enggan untuk membuka diri dan berubah menyesuaikan
dengan keinginan pasangan.
Lilin yang kelihatan kokoh tegak, ternyata mudah leleh oleh panas. Es
yang sangat keras membeku, ternyata mudah cair oleh suhu udara. Yang
diperlukan adalah usaha dan energi, yaitu energi untuk memahami, energi
untuk mengerti, energi untuk berubah menyesuaikan keinginan dan harapan
pasangan. Jika energi itu dikeluarkan dengan kesungguhan, maka akan
sangat mudah belajar memahami dan mendalami relung-relung hati dan
perasaan pasangan.
Yang sulit hanyalah awalnya. Setelah usaha dicurahkan untuk memahami
pasangan, maka kebekuan pun mencair, meleleh menjadi bentuk yang sangat
lunak. Tidak perlu ada kesombongan diri yang menutup untuk memulai hal
baru. Tidak perlu memenangkan ego yang mengajak untuk selalu bertahan
dan tidak mau mengalah.
Berusahalah untuk selalu memahami pasangan, setiap saat, setiap waktu.
Dengan cara itu, anda akan mendapatkan cintanya yang sangat
menggebu.wallahualam........
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan Komentar Disini