Posted by Unknown on Selasa, April 14, 2015 in Islami | No comments
Hadirnya Wanita Dalam Shalat Berjamaah di Masjid
Sejak zaman Nubuwwah, kehadiran wanita dalam shalat berjamaah di masjid bukanlah sesuatu yang asing. Dalam artian, diantara shahabiyah ada yang ikut menghadiri shalat berjamaah di belakang para shahabat walaupun itu tidak wajib bagi mereka. (Lihat kembali Salafy edisi IX/Rabiul Akhir 1417/1996 rubrik Ahkam yang membahas tentang hukum shalat berjamaah bagi wanita dan lihat pula edisi XVI/Dzulhijjah 1417/1997 rubrik Kajian Kali Ini).
Sejak zaman Nubuwwah, kehadiran wanita dalam shalat berjamaah di masjid bukanlah sesuatu yang asing. Dalam artian, diantara shahabiyah ada yang ikut menghadiri shalat berjamaah di belakang para shahabat walaupun itu tidak wajib bagi mereka. (Lihat kembali Salafy edisi IX/Rabiul Akhir 1417/1996 rubrik Ahkam yang membahas tentang hukum shalat berjamaah bagi wanita dan lihat pula edisi XVI/Dzulhijjah 1417/1997 rubrik Kajian Kali Ini).
Ada beberapa dalil dari sunnah yang shahihah yang menunjukkan
keikutsertaan wanita dalam shalat berjamaah di masjid. Tiga diantaranya
kami sebutkan berikut ini :
Hadits dari Aisyah radliyallahu ‘anha, ia berkata : Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam mengakhirkan shalat Isya hingga Umar
memanggil beliau (dengan berkata) : “Telah tertidur para wanita dan
anak-anak.” Maka keluarlah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu
berkata : “Tidak ada seorang pun selain kalian dari penduduk bumi yang
menanti shalat ini.” (HR. Bukhari dalam kitab Mawaqit Ash Shalah 564 dan
Muslim kitab Al Masajid 2/282)
Imam Nawawi dalam syarahnya terhadap hadits di atas berkata : “Ucapan
Umar (Telah tertidur para wanita dan anak-anak) yakni diantara mereka
yang menanti didirikannya shalat berjamaah di masjid.”
Dalam hadits lain, Aisyah radliyallahu ‘anha mengabarkan : “Mereka
wanita-wanita Mukminah menghadiri shalat shubuh bersama Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan berselimut dengan kain-kain
mereka. Kemudian para wanita itu kembali ke rumah-rumah mereka hingga
mereka (selesai) menunaikan shalat tanpa ada seorangpun yang mengenali
mereka karena masih gelap.” (HR. Bukhari 578)
Hadits dari Abi Qatadah Al Anshari radliyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya aku berdiri untuk
menunaikan shalat dan berkeinginan untuk memanjangkan shalat itu. Lalu
aku mendengar tangisan bayi maka akupun memendekkan shalatku karena
khawatir (tidak suka) memberatkan ibunya.” (HR. Bukhari 868, Abu Daud
789, Nasa’i 2/94-95 dan Ibnu Majah 991)
Izin Bagi Wanita Untuk Keluar ke Masjid
Shalatnya seorang wanita di rumahnya lebih utama daripada shalatnya di masjid (lihat rubrik Ahkam, Salafy edisi IX). Namun tidak berarti wanita dilarang dan harus dicegah bila ingin hadir berjamaah di masjid, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Apabila wanita (istri) salah seorang dari kalian meminta izin untuk ke masjid maka janganlah ia mencegahnya.” (HR. Bukhari 2/347 dalam Fathul Bari, Muslim 442, dan Nasa’i 2/42)
Shalatnya seorang wanita di rumahnya lebih utama daripada shalatnya di masjid (lihat rubrik Ahkam, Salafy edisi IX). Namun tidak berarti wanita dilarang dan harus dicegah bila ingin hadir berjamaah di masjid, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Apabila wanita (istri) salah seorang dari kalian meminta izin untuk ke masjid maka janganlah ia mencegahnya.” (HR. Bukhari 2/347 dalam Fathul Bari, Muslim 442, dan Nasa’i 2/42)
Salim bin Abdullah bin Umar menceritakan bahwasanya Abdullah bin Umar
radliyallahu ‘anhuma berkata : Aku mendengar Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda : “Janganlah kalian melarang istri-istri
kalian dari masjid bila mereka meminta izin untuk mendatanginya.” (HR.
Bukhari dan Muslim 442 dan hadits yang disebutkan disini menurut lafadh
Muslim)
Salim berkata : Bilal bin Abdullah bin Umar lalu berkomentar: “Demi Allah, kami benar-benar akan melarang mereka.”
(Mendengar ucapan seperti itu, -pent.) Abdullah bin Umar memandang Bilal
kemudian mencelanya dengan celaan yang buruk yang aku sama sekali belum
pernah mendengar celaannya seperti itu terhadap Bilal. Dan Abdullah
berkata : “Aku kabarkan kepadamu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam lalu engkau menimpali dengan ucapanmu, ‘demi Allah, kami
benar-benar akan melarang mereka!’”
Beberapa Perkataan Ulama Dalam Permasalahan Ini
Berkata Imam Nawawi rahimahullah : [ Sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam :
Berkata Imam Nawawi rahimahullah : [ Sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam :
"Janganlah kalian melarang hamba-hamba perempuan Allah dari masjid-masjid Allah"
Dan yang semisalnya dari hadits-hadits dalam bab ini menunjukkan bahwa wanita tidak dilarang mendatangi masjid akan tetapi harus memenuhi syarat-syarat yang telah disebutkan oleh ulama yang diambil dari hadits-hadits yang ada. Seperti wanita itu tidak memakai wangi-wangian, tidak berhias, tidak mengenakan gelang kaki yang bisa terdengar suaranya, tidak mengenakan pakaian mewah, tidak bercampur-baur dengan laki-laki, dan wanita itu bukan remaja putri (pemudi) yang dengannya dapat menimbulkan fitnah serta tidak ada perkara yang dikhawatirkan kerusakannya di jalan yang akan dilewati dan semisalnya. ]
Dan yang semisalnya dari hadits-hadits dalam bab ini menunjukkan bahwa wanita tidak dilarang mendatangi masjid akan tetapi harus memenuhi syarat-syarat yang telah disebutkan oleh ulama yang diambil dari hadits-hadits yang ada. Seperti wanita itu tidak memakai wangi-wangian, tidak berhias, tidak mengenakan gelang kaki yang bisa terdengar suaranya, tidak mengenakan pakaian mewah, tidak bercampur-baur dengan laki-laki, dan wanita itu bukan remaja putri (pemudi) yang dengannya dapat menimbulkan fitnah serta tidak ada perkara yang dikhawatirkan kerusakannya di jalan yang akan dilewati dan semisalnya. ]
Syarhu Muslim 2/83)
Musthafa Al Adawi hafidhahullah memberi komentar terhadap ucapan Imam
Nawawi di atas : [Terhadap ucapan Imam Nawawi rahimahullah tentang
pelarangan remaja putri (pemudi untuk hadir di masjid) perlu dilihat
kembali. Kami belum mendapatkan dalil yang jelas yang melarang pemudi
atau membedakan antara pemudi dan yang selainnya untuk pergi ke masjid. ]
(Jami’ Ahkamin Nisa’ juz 1 halaman 278)
Imam Nawawi juga berkata dalam Al Majmu’ Syarhul Muhadzdzab 4/199 : [
Larangan dalam hadits : "Janganlah kalian melarang hamba-hamba perempuan
Allah dari masjid-masjid Allah."
Hal ini merupakan larangan tanzih/makruh (bukan larangan yang
menunjukkan tahrim/haram, pent.) karena hak suami agar istri tetap
tinggal di rumah wajib dipenuhi. Maka janganlah si istri meninggalkannya
untuk mengerjakan amalan yang tidak wajib. ]
Abu Muhammad bin Hazm rahimahullah dalam Al Muhalla-nya menyatakan :
“Tidak halal bagi wall wanita dan tidak juga bagi majikan budak wanita
untuk melarang keduanya menghadiri shalat berjamaah di masjid jika
diketahui bahwa mereka memang hendak shalat. Dan tidak halal bagi mereka
(kaum wanita) untuk keluar dalam keadaan memakai wangi-wangian dan
mengenakan pakaian yang indah (mewah). Bila si wanita melakukan hal
demikian maka hendaklah dicegah.” (Al Muhalla 2/170)
Al Baihaqi rahimahullah menyebutkan dalam Sunan-nya (3/133) bahwa
perintah untuk tidak melarang wanita merupakan perintah yang sunnah dan
bersifat bimbingan, bukan perintah yang menunjukkan fardlu dan wajib.
Musthafa Al Adawi berkata : “Bila tidak dijumpai adanya sebab yang dapat
menghalangi keluarnya wanita menuju ke masjid maka wajib bagi suami
untuk mengizinkannya karena adanya larangan Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam dari mencegahnya. Wallahu a’lam.” (Jami’ Ahkamin Nisa’ 1/279)
Syaikh Abu Ishaq Al Huwaini Al Atsari hafidhahullah dalam kitabnya, Al
Insyirah fi Adabin Nikah halaman 72-74) setelah membawakan hadits yang
artinya : “Bila istri salah seorang dari kalian meminta izin untuk ke
masjid maka janganlah ia mencegahnya.”
Syaikh menyatakan : [ Dalam hadits ini menunjukkan bahwa keluarnya istri
harus dengan izin suami. Seandainya si suami menahan istrinya (untuk
keluar) maka si suami tidak berdosa menurut pendapat yang terpilih dari
pendapat-pendapat para Ahli Tahqiq dan telah berkata Al Baihaqi :
"Dengan inilah mayoritas ulama berpendapat."
Adapun hadits yang berbunyi : "Janganlah kalian melarang hamba-hamba perempuan Allah dari masjid-masjid Allah"
Perintah disini (yakni perintah untuk tidak melarang wanita ke masjid,
pent.) tidaklah menunjukkan wajib. Karena seandainya wajib, maka tidak
ada maknanya meminta izin. Wallahu a'lam. ]
Pendapat Aisyah radliyallahu ‘anha dan Bimbingannya
Imam Bukhari rahimahullah meriwayatkan ucapan Aisyah radliyallahu ‘anha :
Imam Bukhari rahimahullah meriwayatkan ucapan Aisyah radliyallahu ‘anha :
“Seandainya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sempat menemui apa
yang diada-adakan oleh para wanita (saat ini) niscaya beliau akan
melarang mereka sebagaimana dilarangnya wanita-wanita Bani Israil.” (HR.
Bukhari hadits 869 dan dikeluarkan juga oleh Muslim 445)
Dalam riwayat Muslim disebutkan : Salah seorang rawi bertanya kepada
Amrah binti Abdirrahman (murid Aisyah yang meriwayatkan hadits ini
darinya) : “Apakah para wanita Bani Israil dilarang ke masjid?” Amrah
menjawab : “Ya, adapun hal-hal baru yang diperbuat para wanita Bani
Israil diantaranya memakai wangi-wangian, berhias, tabarruj, ikhtilath,
dan kerusakan-kerusakan lainnya.”
Ibnu Hajar rahimahullah berkata dalam Fathul Bari (2/350) : “Shalatnya
wanita di rumahnya lebih utama baginya karena terjamin aman dari fitnah.
Dan yang menguatkan hal ini setelah munculnya perbuatan tabarruj dan
pamer perhiasan yang dilakukan oleh para wanita. Terlebih lagi Aisyah
radliyallahu ‘anha telah berkata dengan apa yang dia katakan. Sebagian
orang berpegang dengan ucapan Aisyah ini untuk melarang wanita (ke
masjid) secara mutlak dan pendapat ini perlu ditinjau kembali.”
Beliau berkata lagi : “Aisyah mengaitkan larangan dengan syarat, yang ia
menganggap bila Nabi sempat melihat (perbuatan para wanita itu) niscaya
beliau akan melarangnya. Dengan demikian, dikatakan kepada orang yang
berpendapat wanita dilarang secara mutlak (ke masjid) bahwa Nabi tidak
sempat melihat (perbuatan para wanita itu) dan beliau tidak melarang,
hingga hukum (kebolehan wanita ke masjid dan larangan untuk mencegah
mereka, pent.) terus berlaku … .”
Berkata Musthafa Al Adawi setelah membawakan riwayat Aisyah di atas : [
Ini merupakan pendapat Aisyah radliyallahu 'anha berkenaan dengan
keluarnya wanita ke masjid ... . Beliau berpendapat (perlunya) larangan
karena sebab yang disebutkan. Pendapat ini memiliki arti bila ada fitnah
dan adanya kekhawatiran terhadap kaum pria dan wanita dari fitnah itu.
Akan tetapi kita kembali dan kita katakan : Pendapat ini tempatnya bila
fitnah terwujud nyata. Adapun melarang mereka karena (menganggap)
semata-mata ke masjid itu adalah fitnah maka ini pendapat yang lemah.
Allah Ta'ala telah berfirman :
"Dan tidaklah Tuhanmu lupa." (QS. Maryam : 64)
"Tidaklah Kami luputkan sesuatu pun di dalam Kitab ini." (QS. Al An'am : 38)
Dan layak untuk kami (Musthafa Al Adawi) nukilkan disini ucapan Al
Hafidh Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bari 2/350. Beliau
menyatakan : " … dan juga Allah subhanahu wa ta'ala telah mengetahui apa
yang akan mereka (para wanita) perbuat. Namun Allah tidak mewahyukan
kepada Nabi-Nya untuk melarang mereka (mendatangi masjid). Seandainya
apa yang mereka perbuat mengharuskan untuk melarang mereka dari masjid,
niscaya melarang mereka dari selain masjid seperti mendatangi
pasar-pasar adalah lebih utama. Dan juga perbuatan yang diada-adakan itu
hanya dilakukan oleh sebagian wanita, tidak seluruhnya. Maka
pengkhususan larangan (penunjukkan larangan) ditujukan kepada wanita
yang berbuat. Yang lebih utama adalah menilik perkara yang dikhawatirkan
akan menimbulkan kerusakan, lalu menghindarinya berdasarkan isyarat
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dengan melarang memakai wangi-wangian
dan berhias." (Lihat Jami' Ahkamin Nisa' 1/280) ]
Ibnu Hazm rahimahullah dalam Al Muhalla (3/ 134) menyebutkan enam sisi
bantahan terhadap orang yang berhujjah dengan ucapan Aisyah radliyallahu
‘anha ini untuk melarang wanita ke masjid secara mutlak. Dua sisi
diantaranya kami sebutkan secara ringkas di bawah ini :
Sisi pertama : Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak sempat melihat
apa yang diperbuat para wanita, maka beliau tidak melarang mereka ke
masjid. Apabila beliau sendiri tidak melarang mereka (ke masjid) maka
berarti melarang mereka adalah bid’ah dan kesalahan. Ini sama dengan
firman Allah Ta’ala :
“Wahai istri-istri Nabi, siapa diantara kalian yang mengerjakan
perbuatan keji yang nyata niscaya akan dilipatgandakan siksaan padanya
dua kali lipat … .” (QS. Al Ahzab : 30)
Maka mereka sama sekali tidak mengerjakan perbuatan keji yang nyata
sehingga tidak dilipatgandakan adzab bagi mereka, walhamdulillah. Dan
juga seperti firman Allah Ta’ala :
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri itu beriman dan bertakwa,
pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka barakah dari langit dan
bumi.” (QS. Al A’raf : 96)
Maka mereka tidak beriman sehingga tidak dibukakan barakah bagi mereka.
Sisi Kedua : Aisyah radliyallahu ‘anha tidak berpendapat melarang para
wanita karena sebab itu dan ia tidak berkata : “Laranglah mereka karena
apa yang mereka perbuat.” Akan tetapi Aisyah mengabarkan : “Andai Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup niscaya beliau melarang mereka
… .”
Kami katakan : Seandainya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang
mereka, kami pun melarang mereka. Dan bila beliau tidak melarang maka
kami pun tidak melarang mereka.
Syarat-Syarat Yang Harus Dipenuhi
Wanita dibolehkan menghadiri shalat berjamaah di masjid namun harus memenuhi ketentuan-ketentuan yang ditetapkan syariat seperti tidak memakai wangi-wangian sebagaimana dikabarkan oleh Zainab Ats Tsaqafiyah, istri Abdullah bin Mas’ud radliallahu anhuma. la berkata : Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada kami : “Bila salah seorang dari kalian (para wanita) ingin menghadiri shalat di masjid maka janganlah ia menyentuh wewangian.” (HR. Muslim 4/163, Ibnu Khuzaimah 1680, dan Al Baihaqi 3/439)
Wanita dibolehkan menghadiri shalat berjamaah di masjid namun harus memenuhi ketentuan-ketentuan yang ditetapkan syariat seperti tidak memakai wangi-wangian sebagaimana dikabarkan oleh Zainab Ats Tsaqafiyah, istri Abdullah bin Mas’ud radliallahu anhuma. la berkata : Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada kami : “Bila salah seorang dari kalian (para wanita) ingin menghadiri shalat di masjid maka janganlah ia menyentuh wewangian.” (HR. Muslim 4/163, Ibnu Khuzaimah 1680, dan Al Baihaqi 3/439)
Demikian juga hadits Abi Hurairah radliyallahu ‘anhu dari Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Wanita mana saja yang memakai
wangi-wangian maka janganlah ia menghadiri shalat lsya yang akhir
bersama kami.” (HR. Muslim 4/162, Abu Daud 4175, dan Nasa’i 8/154)
Musthafa Al Adawi berkata : [ Abu Muhammad Ibnu Hazm rahimahullah
memiliki pendapat yang ganjil dimana ia berkata dalam Al Muhalla 4/78 :
"Tidak halal bagi seorang wanita menghadiri shalat di masjid dalam
keadaan memakai wangi-wangian. Jika ia melakukannya maka batallah
shalatnya."
Ini merupakan pendapat yang ganjil dari beliau rahimahullah. Yang benar,
--wallahu a'lam-- wanita yang melakukan perbuatan demikian (memakai
wewangian ketika keluar menuju masjid) berarti telah berbuat dosa, akan
tetapi dosanya tersendiri dari shalatnya dan tidak ada hubungan antara
dosa itu dengan batalnya shalat. Allahu a'lam. ] (Jami’ Ahkamin Nisa’
1/288)
Al Qadli ‘Iyadl rahimahullah menyebutkan syarat dari ulama berkenaan
dengan keluarnya wanita, diantaranya tidak mengenakan perhiasan, tidak
memakai wewangian, dan tidak berdesak-desakan dengan laki-laki. Kata Al
Qadli : “Termasuk dalam makna wewangian adalah menampakkan perhiasan dan
keindahannya. Jika ada sesuatu dari perbuatan demikian maka wajib
melarang mereka karena takut fitnah.”
Berkata Syaikh Abdullah Al Bassam dalam kitabnya, Taudlihul Ahkam
(2/283) : [Terhitung wangi-wangian adalah sesuatu yang semakna dengannya
berupa gerakan-gerakan yang dapat mengundang syahwat seperti pakaian
yang indah, perhiasan, dan dandanan. Karena aroma si wanita, perhiasan,
bentuknya, dan penonjolan kecantikannya merupakan fitnah baginya dan
fitnah bagi laki-laki.
Bila si wanita melakukan hal demikian atau melakukan sebagiannya, haram
baginya untuk keluar berdasarkan hadits yang diriwayatkan Imam Muslim
dari Abu Hurairah radliyallahu 'anhu (telah disebutkan di atas, pent.)
dan hadits dalam Shahihain dari Aisyah radliyallahu 'anhuma, ia berkata:
"Seandainya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melihat apa yang
dilakukan para wanita sebagaimana yang kita lihat niscaya beliau akan
melarang mereka ke masjid." ]
Dituntunkan kepara para wanita yang hadir dalam shalat berjamaah di
masjid untuk bersegera kembali ke rumah setelah menunaikan shalat. Imam
Bukhari meriwayatkan dari Aisyah radliyallahu ‘anha : “Sesungguhnya
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menunaikan shalat shubuh ketika
hari masih gelap. Maka para wanita Mukminah berpaling (meninggalkan
masjid) dalam keadaan mereka tidak dikenali karena gelap atau sebagian
mereka tidak mengenali sebagian lainnya.” (HR. Bukhari 872)
Musthafa Al Adawi berkata setelah membawakan hadits di atas: [ Imam
Bukhari membuat satu bab untuk hadits ini dalam kitab Shahih-nya dan
diberi judul : Bab Bersegeranya Wanita Meninggalkan Masjid Setelah
Shalat Shubuh dan Sebentarnya Mereka Berdiam di Masjid. Al Hafidh Ibnu
Hajar dalam Fathul Bari menjelaskan : "Dikhususkan waktu shubuh karena
mengakhirkan keluar dari masjid (berdiam lama di masjid, pent.)
berakibat suasana sekitar sudah terang. Maka sepantasnya wanita
bersegera keluar. Berbeda dengan Isya, karena suasana akan semakin gelap
hingga tidak bermudlarat untuk berdiam lebih lama di masjid (tentunya
dengan catatan aman dari fitnah dan tidak ada gangguan yang membahayakan
si wanita di jalanan seperti zaman sekarang ini, wallahu a'lam,
pent.)." ]
Aku (Mustafa Al Adawi) katakan : “Ucapan Al Hafidh ini diikuti oleh
hadits berikutnya (hadits Ummu Salamah yang akan disebutkan setelah ini,
pent.). Maka tidak ada maknanya untuk mengkhususkan waktu shubuh
daripada waktu lainnya dalam hal bersegeranya wanita keluar dari masjid.
Yang benar, para wanita bergegas meninggalkan masjid setelah menunaikan
semua shalat hingga memungkinkan mereka untuk pergi sebelum
bercampur-baur dengan laki-laki.” (Jami’ Ahkamin Nisa’ 1/285)
Hindun bintu Al Harits berkata bahwa Ummu Salamah –istri Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam– menceritakan padanya tentang para wanita
di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Apabila mereka telah
mengucapkan salam dari shalat fardlu, mereka berdiri meninggalkan
masjid sedangkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam beserta para
pria yang ikut shalat tetap tinggal selama waktu yang dikehendaki Allah.
Maka apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri, para
pria pun ikut berdiri.” (HR. Bukhari 866)
Dalam riwayat lain dari Ummu Salamah juga, ia berkata : “Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bila telah selesai salam (dari shalat)
beliau tinggal sejenak di tempatnya (sebelum berdiri meninggalkan
masjid, pent.).” (HR. Bukhari 849)
Berkata seorang perawi hadits di atas : “Kami berpendapat, wallahu
a’lam, beliau berbuat demikian agar ada kesempatan bagi para wanita
untuk meninggalkan masjid.”
Imam Syaukani rahimahullah dalam Nailul Authar 2/315 berkata : “Hadits
ini menunjukkan disunnahkannya imam untuk memperhatikan keadaan makmum
dan bersikap hati-hati dengan menjauhi apa yang dapat mengantarkan
kepada perkara yang dilarang … .”
Ibnu Qudamah rahimahullah berkata : “Jika pria dan wanita hadir bersama
imam (dalam shalat berjamaah) maka disunnahkan bagi sang imam dan jamaah
pria agar tetap tinggal di tempat (selesai menunaikan shalat) sekadar
imam berpendapat bahwa jamaah wanita telah meninggalkan masjid … .” (Al
Mughni 2/560)
Musthafa Al Adawi berpendapat : “Bila di masjid itu ada pintu khusus
bagi wanita dan mereka terhijab dari kaum pria dan kaum pria tidak
melihat mereka maka tidak ada larangan –wallahu a’lam– bagi mereka untuk
tetap tinggal di tempat shalat agar mereka dapat bertasbih, bertahmid,
bertakbir, dan bertahlil dengan dzikir-dzikir tertentu setelah shalat
karena para Malaikat bershalawat untuk orang yang shalat selama ia tetap
di tempat shalatnya dalam keadaan berdzikir pada Allah dan selama ia
belum berhadats sebagaimana hal ini diriwayatkan dari Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Jami’ Ahkamin Nisa’ 1/286-287)
Sebaik-Baik Shaf Wanita
Imam Muslim meriwayatkan dalam Shahih-nya dari Abi Hurairah radliyallahu ‘anhu, ia berkata : Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sebaik-baik shaf pria adalah shaf yang pertama dan sejelek-jelek shaf pria adalah yang paling akhir. Sebaik-baik shaf wanita adalah yang paling akhir dan sejelek-jeleknya yang paling depan.” (HR. Muslim nomor 440, Nasa’i 2/93, Abu Daud 678, Tirmidzi 224 dan ia berkata : “Hadits hasan shahih.” Ibnu Majah juga meriwayatkan hadits ini nomor 1000)
Imam Muslim meriwayatkan dalam Shahih-nya dari Abi Hurairah radliyallahu ‘anhu, ia berkata : Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sebaik-baik shaf pria adalah shaf yang pertama dan sejelek-jelek shaf pria adalah yang paling akhir. Sebaik-baik shaf wanita adalah yang paling akhir dan sejelek-jeleknya yang paling depan.” (HR. Muslim nomor 440, Nasa’i 2/93, Abu Daud 678, Tirmidzi 224 dan ia berkata : “Hadits hasan shahih.” Ibnu Majah juga meriwayatkan hadits ini nomor 1000)
Ada beberapa pendapat ulama dalam permasalahan ini, diantaranya :
Berkata Imam Nawawi rahimahullah dalam Syarhu Muslim (halaman 1194) :
“Adapun shaf pria maka secara umum selamanya yang terbaik adalah shaf
yang pertama dan yang paling jelek adalah shaf yang terakhir. Adapun
shaf wanita maka yang dimaksudkan dalam hadits adalah shaf-shaf wanita
yang shalat bersama kaum pria. Sedangkan bila mereka (kaum wanita)
shalat terpisah dan tidak bersama kaum pria maka mereka sama dengan
pria, yakni sebaik-baik shaf mereka adalah yang paling depan dan
seburuk-buruknya adalah yang paling akhir. Yang dimaksud dengan
jelek-nya shaf bagi pria dan wanita adalah yang paling sedikit pahalanya
dan keutamaannya serta paling jauh dari tuntutan syar’i. Sedangkan shaf
yang paling baik adalah sebaliknya. Shaf yang paling akhir bagi jamaah
wanita yang hadir bersama jamaah pria dikatakan memiliki keutamaan
karena jauhnya para wanita itu dari bercampur (ikhtilath) dengan pria,
dari melihat pria, dan tergantungnya hati tatkala melihat gerakan kaum
pria, serta mendengar ucapan (pembicaraan mereka), dan semisalnya. Dan
celaan bagi shaf yang terdepan bagi jamaah wanita (yang hadir bersama
pria) adalah sebaliknya dari alasan di atas, wallahu a’lam.”
Beliau rahimahullah berkata juga dalam Al Majmu’ 4/301 : “Telah kami
sebutkan tentang disunnahkannya memilih shaf pertama kemudian sesudahnya
(shaf kedua) kemudian sesudahnya sampai shaf yang akhir. Hukum ini
berlaku terus-menerus bagi shaf pria dalam segala keadaan dan juga bagi
shaf wanita yang jamaahnya khusus wanita, terpisah dari jamaah pria.
Adapun jika kaum wanita shalat bersama pria dalam satu jamaah dan tidak
ada pemisah/penghalang diantara keduanya, maka shaf wanita yang paling
utama adalah yang paling akhir berdasarkan hadits Abi Hurairah
radliyallahu ‘anhu (telah disebutkan di atas, pent.).”
Berkata Imam Syaukani rahimahullah : [ Sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam : " ... dan sebaik-baik shaf wanita adalah yang paling akhir."
Dikatakan paling baik karena berdiri pada shaf tersebut menyebabkan
jauhnya dari bercampur dengan pria, berbeda dengan berdiri di shaf
pertama dari shaf-shaf jamaah wanita karena mengandung (kemungkinan)
bercampur dengan pria dan tergantungnya hati dengan mereka (para pria)
disebabkan melihat mereka dan mendengar ucapan mereka. Karena inilah,
shaf pertama dinyatakan paling jelek (bagi wanita). (Nailul Authar
3/184) ]
Dalam Subulus Salam 2/30 (Maktabah Dahlan), Imam Shan’ani rahimahullah
berkata : “Shaf yang paling akhir dikatakan shaf yang terbaik bagi
wanita. Alasannya karena dalam keadaan demikian mereka berada jauh dari
pria, dari melihat, dan mendengar omongan mereka. Hanya saja alasan ini
tidak sempurna kecuali bila shalat mereka dilakukan bersama kaum pria.
Adapun bila mereka shalat dan imam mereka juga wanita (jamaah khusus
wanita, pent.) maka shaf-shaf mereka hukumnya seperti shaf-shaf pria
yaitu yang paling utama adalah shaf pertama.”
Musthafa Al Adawi berkata setelah menyebutkan hadits Abi Hurairah di
atas : [ Ketentuan ini berlaku bila kaum wanita bergabung bersama kaum
pria dalam shalat berjamaah dimana mereka berada di belakang shaf-shaf.
Adapun bila jamaahnya khusus wanita atau bersama kaum pria dalam
melaksanakan shalat akan tetapi mereka tidak dapat terlihat oleh pria,
maka shaf yang paling baik adalah yang paling depan berdasarkan hadits
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam :
"Seandainya mereka tahu keutamaan shaf yang terdepan niscaya mereka akan
berundi untuk mendapatkannya." (HR. Bukhari 721) ] (Jami’ Ahkamin Nisa’
1/353-354)
Bolehnya Wanita Shalat Sunnah di Masjid
Sebagaimana wanita dibolehkan untuk shalat berjamaah di masjid, dibolehkan pula baginya untuk melakukan shalat sunnah di masjid selama aman dari fitnah dan terpenuhi syarat-syarat yang ditetapkan. Hal ini berdalil dengan riwayat Imam Bukhari dalam Shahih-nya dari Anas bin Malik radliyallahu ‘anhu. Anas berkata : Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk ke dalam masjid, tiba-tiba beliau mendapatkan seutas tali terbentang diantara dua tiang (masjid). Maka beliau bersabda : “Tali apa ini?” Para shahabat menjawab : “Tali ini milik Zainab. Bila ia merasa lemah (dari melaksanakan shalat sunnah, pent.) ia bergantung dengan tali ini.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Jangan, putuskan tali ini! Hendaklah salah seorang dari kalian shalat dalam keadaan ia bersemangat maka kalau ia lemah hendaklah ia duduk.” (HR. Bukhari hadits 1150, dikeluarkan juga oleh Muslim, Abu Daud 1312, Nasa’i, dan Ibnu Majah 1371)
Sebagaimana wanita dibolehkan untuk shalat berjamaah di masjid, dibolehkan pula baginya untuk melakukan shalat sunnah di masjid selama aman dari fitnah dan terpenuhi syarat-syarat yang ditetapkan. Hal ini berdalil dengan riwayat Imam Bukhari dalam Shahih-nya dari Anas bin Malik radliyallahu ‘anhu. Anas berkata : Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk ke dalam masjid, tiba-tiba beliau mendapatkan seutas tali terbentang diantara dua tiang (masjid). Maka beliau bersabda : “Tali apa ini?” Para shahabat menjawab : “Tali ini milik Zainab. Bila ia merasa lemah (dari melaksanakan shalat sunnah, pent.) ia bergantung dengan tali ini.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Jangan, putuskan tali ini! Hendaklah salah seorang dari kalian shalat dalam keadaan ia bersemangat maka kalau ia lemah hendaklah ia duduk.” (HR. Bukhari hadits 1150, dikeluarkan juga oleh Muslim, Abu Daud 1312, Nasa’i, dan Ibnu Majah 1371)
Berkata Al Hafidh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 3/37 : “Hadits ini
menunjukkan upaya menghilangkan kemungkaran dengan tangan dan lisan dan
menunjukkan bolehnya para wanita menunaikan shalat nafilah (sunnah) di
masjid.”
Penutup
Sebelum seorang wanita melangkah ke masjid, ia harus melihat syarat-syarat yang telah ditetapkan dalam agama ini agar ia tidak jatuh dalam pelanggaran dan perbuatan dosa. Dan ia hendaknya tidak melupakan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Ummu Humaid ketika Ummu Humaid berkata : “Ya Rasulullah, sesungguhnya aku senang shalat bersamamu.” Nabi menjawab :
Sebelum seorang wanita melangkah ke masjid, ia harus melihat syarat-syarat yang telah ditetapkan dalam agama ini agar ia tidak jatuh dalam pelanggaran dan perbuatan dosa. Dan ia hendaknya tidak melupakan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Ummu Humaid ketika Ummu Humaid berkata : “Ya Rasulullah, sesungguhnya aku senang shalat bersamamu.” Nabi menjawab :
“Sungguh aku tahu bahwa engkau suka shalat bersamaku, namun shalatmu di
rumahmu lebih baik daripada shalatmu di masjid kaummu dan shalatmu di
masjid kaummu lebih-baik daripada shalatmu di masjidku ini.” (HR. Ibnu
Khuzaimah 1689, Ahmad 6/371, Ibnu Abdil Barr dalam Al Isti’ab. Kata
Syaikh Abu Ishaq Al Huwaini : “Isnadnya hasan dengan syawahid.” Lihat Al
Insyirah halaman 74)
Syaikh Abu Ishaq Al Huwaini menyatakan : “Bersamaan dengan dibolehkannya
wanita keluar ke masjid maka sesungguhnya shalatnya di rumahnya lebih
utama daripada hadirnya ia dalam shalat berjamaah (di masjid).” (Al
Insyirah halaman 73)
Wallahu A’lam Bish Shawwab.
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan Komentar Disini