Posted by Unknown on Senin, April 13, 2015 in Islami | No comments
Dari Kalam Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi
Ahmad
bin Abdullah bin Husein bin Tohir bercerita kepadaku, “Sekali waktu aku
pergi ke rumah saudara perempuanku, Nur. Dia berkata, “Wahai Ahmad,
tolong ambilkan gula dan biji kopi”. Aku naik ke atas loteng, tapi di
sana tidak kutemukan apa-apa. Aku kembali menemuinya, “Perempuan tua
anak Abdullah bin Husein, kau membohongiku”. Ia menjawab, “Wahai anak
ibumu, naik dan lihatlah!” Aku sekali lagi naik ke atas loteng dan tidak
menemukan apa-apa. Dia lalu naik ke loteng bersamaku dan membuka
lemari, tempat gula dan biji kopi yang tadi kosong, ternyata sekarang
telah penuh.
Nur
pernah berkata kepadaku, “Aku mendengar seruan Allah di akhir malam:
Bangunlah, mintalah apa saja yang kau inginkan, kebutuhan dunia maupun
agama, Aku akan memberimu saat ini juga”. Ayah beliau, Habib Abdullah
bin Husein memberinya wasiat:
Wahai Nur,
jika kau menginginkan nur,
dan hati makmur,
dada lapang dan bahagia,
taatlah selalu kepada Allah.
jika kau menginginkan nur,
dan hati makmur,
dada lapang dan bahagia,
taatlah selalu kepada Allah.
Ahmad
bin Abdullah juga bercerita, “Suatu hari aku duduk bersama Nur. Ketika
masuk waktu salat, ia bertanya, “Dimana arah kiblat?” Dengan maksud
bercanda, aku menunjuk arah lain, bukan arah kiblat. Ketika ia mulai
mengangkat tangannya hendak bertakbir, ia berkata, “Arah kiblatnya bukan
ke situ. Kau pikir aku tidak tahu arah kiblat. Demi Allah, aku tidak
mengucapkan takbiratul ihram, kecuali setelah benar-benar melihat
ka’bah”.
Suatu
hari aku berkunjung ke rumah Hababah Nur bersama beberapa orang
sahabatku. Hababah Nur berpesan, “Wahai keluargaku, curahkan perhatianmu
pada ilmu Fiqih, sebab dengan ilmu Fiqih-lah syariat suci ini akan
dapat tegak. Namun masyarakat telah meninggalkan ilmu Fiqih. Padahal
ilmu fiqih merupakan inti (agama). Allah…Allah dalam Fiqih, ketahuilah
ilmu ini akan hilang.
Dan
kau (wahai Ali), hendak pergi ke Tarim, bukan? Jadikanlah semua topik
ceramahmu tentang wara’, juga masalah halal dan haram. Sebab, semua yang
haram telah tersebar merata dan sikap wara’ telah meninggalkan lembah
ini. Anjurkanlah mereka untuk bersikap wara’ dan meninggalkan semua yang
syubhat. Ketahuilah, makanan haram akan melemahkan hati”.
Perhatikan
generasi dahulu, para wanitanya banyak yang saleh. Hababah Nur ini
hidup di zamanku. Dikatakan bahwa: “Betapa banyak rambut terurai
(wanita) lebih baik dari jenggot (pria)” Ibu Habib Abdullah bin Husein
bin Tohir lebih agung lagi. Beliau adalah Hababah Syeikhoh binti
Abdullah bin Yahya. Dari pasangan suami istri ini lahir Husein, Tohir,
Abdullah dan Khodijah. Khodijah adalah ibu Habib Abdullah bin Umar bin
Yahya.
Suatu
hari Habib Abdulkadir bin Muhammad Al-Habsyi yang tinggal di Ghurfah
mengunjungi para Habaib yang tinggal di kota Masileh. Mereka semua
merasa senang dengan kedatangannya. Orang-orang mengatakan bahwa beliau
gemar bermujahadah yang berat-berat, dan berulang kali melakukan
arbainiyah (khalwat selama 40 hari). Selama dua puluh tahun beliau tidak
minum air. Habib Tohir dan Habib Abdullah melaporkan hal ini kepada
ibunya, “Wahai ibu, Habib Abdulkadir ini amalnya begini dan begini.
Telah dua puluh tahun beliau tidak minum air”.
“Dia
lelaki yang baik, perbuatannya baik, dan apa yang telah disifatkan oleh
orang-orang tentang dirinya sangat baik. Ambilkanlah sebuah teko lalu
penuhilah dengan air”, perintah ibunya. “Berikan teko ini kepadanya dan
katakan: ibu kami mengucapkan salam dan berpesan agar kau meminum air
ini sebagaimana kakekmu Muhammad saw meminumnya. Keutamaan kaum sholihin
terletak pada kemampuannya meninggalkan larangan. Apakah selama dua
puluh tahun ini engkau tidak mengerjakan yang makruh; apakah tidak
pernah terlintas di hatimu untuk melakukannya? Kalau sekedar ibadah,
para wanita tua pun dapat melakukannya. Demikian pesan ibu mereka
setelah diambilkan teko yang penuh air.
“Kami
tidak berani bersikap kurang ajar kepadanya, Bu”. “Berikan teko ini
lalu sampaikan pesanku kepadanya jika kalian menginginkan kebaikan dan
keberkahan”. Mereka berdua lalu menemui Habib Abdulkadir dan
menyampaikan pesan ibunya. “Benar, ibumu benar. Sungguh dia adalah
seorang murabbiyah (pendidik) yang baik. Sungguh beliau sebaik-baik
muaddibah (pendidik). Sungguh baik ucapannya. Bawa sini air itu”, jawab
Habib Abdulkadir. Setelah teko Itu beralih ke tangannya, beliau pun
segera meminum airnya. (N:102-105)
Suatu
hari aku dan Ahmad Ali Makarim berjalan-jalan di kota Bur. Kami
berbincang-bincang tentang masalah nafs. Jauh dari situ ada beberapa
wanita sedang mencari kayu di tepi sungai yang sudah kering. Tiba-tiba
salah seorang dari wanita-wanita itu mendatangi kami dan berkata, “Tidak
ada yang merintangi manusia dari Tuhannya kecuali nafs”. Kami berkata
kepadanya, “Kau benar, Allah telah memuliakanmu dengan hikmah”. Wanita
itu kemudian pergi untuk bergabung kembali dengan teman-temannya.
Rupanya pembicaraan kami di-kasyf oleh wanita tadi. (N:235)
Sholeh
bin Nukh berkata kepadaku, “Wahai Habib Ali, aku memiliki anak
perempuan yang saleh”. “Bagaimana kau tahu dia seorang saleh?” “Aku
pernah bertanya kepadanya, “Senangkah kau jika ada seseorang yang
memberimu satu peti perhiasan?” Dia menjawab, “Wahai ayah, apakah
perhiasan ini dapat menyenangkan hati seseorang? Perhiasan hanya akan
melukai hati”. Aku bertanya lagi, “Bagaimana pendapatmu jika kau dapat
melihat Allah Yang Maha Mulia?” Mendengar ucapanku ini, ia terjatuh dan
menangis selama tiga hari. Apakah ia seorang wanita saleh?”
“Ya,
dia adalah seorang wanita yang saleh…sungguh-sungguh wanita yang
saleh?” Salim bin Abubakar (bin Abdullah Alatas) berkata kepadaku, “Aku
pernah mendengar Sholeh bin Nukh dan anak perempuannya berdzikir kepada
Allah berdua di rumahnya, suara mereka seakan-akan suara 100 orang”.
(N:463-464)
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan Komentar Disini