Posted by Unknown on Senin, April 13, 2015 in Islami | No comments
Berikut ini dipaparkan Ustadz Ahmad Sarwat saat menjawab berbagai
pertanyaan mengenai hukum merayakan tahun baru Masehi dan mengisinya
dengan berbagai kegiatan yang islami.
Ada sekian banyak pendapat yang berbeda tentang hukum merayakan tahun
baru Masehi. Sebagian mengharamkan dan sebagian lainnya membolehkannya
dengan syarat.
1. Pendapat yang Mengharamkan
Mereka yang mengharamkan perayaan malam tahun baru masehi, berhujjah dengan beberapa argumen.
a. Perayaan Malam Tahun Baru Adalah Ibadah Orang Kafir
Bahwa perayaan malam tahun baru pada hakikatnya adalah ritual peribadatan para pemeluk agama bangsa-bangsa di Eropa, baik yang Nasrani atau pun agama lainnya.
Sejak masuknya ajaran agama Nasrani ke eropa, beragam budaya paganis (keberhalaan) masuk ke dalam ajaran itu. Salah satunya adalah perayaan malam tahun baru. Bahkan menjadi satu kesatuan dengan perayaan Natal yang dipercaya secara salah oleh bangsa Eropa sebagai hari lahir nabi Isa.
Walhasil, perayaan malam tahun baru masehi itu adalah perayaan hari besar agama kafir. Maka hukumnya haram dilakukan oleh umat Islam.
b. Perayaan Malam Tahun Baru Menyerupai Orang Kafir
Meski barangkali ada yang berpendapat bahwa perayaan malam tahun tergantung niatnya, namun paling tidak seorang muslim yang merayakan datangnya malam tahun baru itu sudah menyerupai ibadah orang kafir. Dan sekedar menyerupai itu pun sudah haram hukumnya, sebagaimana sabda Rasulullah SAW: “Siapa yang menyerupai pekerjaan suatu kaum (agama tertentu), maka dia termasuk bagian dari mereka.”
c. Perayaan Malam Tahun Baru Penuh Maksiat
Sulit dipungkiri bahwa kebanyakan orang-orang merayakan malam tahun baru dengan minum khamar, berzina, tertawa dan hura-hura. Bahkan bergadang semalam suntuk menghabiskan waktu dengan sia-sia. Padahal Allah SWT telah menjadikan malam untuk berisitrahat, bukan untuk melek sepanjang malam, kecuali bila ada anjuran untuk shalat malam.
Maka mengharamkan perayaan malam tahun baru buat umat Islam adalah upaya untuk mencegah dan melindungi umat Islam dari pengaruh buruk yang lazim dikerjakan para ahli maksiat.
d. Perayaan Malam Tahun Baru Adalah Bid’ah
Syariat Islam yang dibawa oleh Rasulullah SAW adalah syariat yang lengkap dan sudah tuntas. Tidak ada lagi yang tertinggal.
Sedangkan fenomena sebagian umat Islam yang mengadakan perayaan malam tahun baru masehi di masjid-masijd dengan melakukan shalat malam berjamaah, tanpa alasan lain kecuali karena datangnya malam tahun baru, adalah sebuah perbuatan bid’ah yang tidak pernah dikerjakan oleh Rasulullah SAW, para shahabat dan salafus shalih.
Maka hukumnya bid’ah bila khusus untuk even malam tahun baru digelar ibadah ritual tertentu, seperti qiyamullail, doa bersama, istighatsah, renungan malam, tafakkur alam, atau ibadah mahdhah lainnya. Karena tidak ada landasan syar’inya.
2. Pendapat yang Menghalalkan
Pendapat yang menghalalkan berangkat dari argumentasi bahwa perayaan
malam tahun baru masehi tidak selalu terkait dengan ritual agama
tertentu. Semua tergantung niatnya. Kalau diniatkan untuk beribadah atau
ikut-ikutan orang kafir, maka hukumnya haram. Tetapi tidak diniatkan
mengikuti ritual orang kafir, maka tidak ada larangannya.
Mereka mengambil perbandingan dengan liburnya umat Islam di hari natal.
Kenyataannya setiap ada tanggal merah di kalender karena natal, tahun
baru, kenaikan Isa, paskah dan sejenisnya, umat Islam pun ikut-ikutan
libur kerja dan sekolah. Bahkan bank-bank syariah, sekolah Islam,
pesantren, departemen Agama RI dan institusi-institusi keIslaman lainnya
juga ikut libur. Apakah liburnya umat Islam karena hari-hari besar
kristen itu termasuk ikut merayakan hari besar mereka?
Umumnya kita akan menjawab bahwa hal itu tergantung niatnya. Kalau kita
niatkan untuk merayakan, maka hukumnya haram. Tapi kalau tidak diniatkan
merayakan, maka hukumnya boleh-boleh saja.
Demikian juga dengan ikutan perayaan malam tahun baru, kalau diniatkan
ibadah dan ikut-ikutan tradisi bangsa kafir, maka hukumnya haram. Tapi
bila tanpa niat yang demikian, tidak mengapa hukumnya.
Adapun kebiasaan orang-orang merayakan malam tahun baru dengan minum
khamar, zina dan serangkaian maksiat, tentu hukumnya haram. Namun bila
yang dilakukan bukan maksiat, tentu keharamannya tidak ada. Yang haram
adalah maksiatnya, bukan merayakan malam tahun barunya.
Misalnya, umat Islam memanfaatkan even malam tahun baru untuk melakukan
hal-hal positif, seperti memberi makan fakir miskin, menyantuni panti
asuhan, membersihkan lingkungan dan sebagainya.
Demikianlah ringkasan singkat tentang perbedaan pandangan dari beragam
kalangan tentang hukum umat Islam merayakan malam tahun baru.
Hari Raya Umat Islam Hanya ada Dua
Dalam agama Islam, yang namanya hari raya hanya ada dua saja, yaitu hari ‘Idul Fithr dan ‘Idul Adha.
Selebihnya, tidak ada pensyariatannya, sehingga sebagai muslim, tidak
ada kepentingan apapun untuk merayakan datangnya tahun baru.
Namun ketika harus menjawab, apakah bila ikut merayakannya akan berdosa,
tentu jawabannya akan menjadi beragam. Yang jelas haramnya adalah bila
mengikuti perayaan agama tertentu. Hukumnya telah disepakati haram.
Artinya, seorang muslim diharamkan mengikuti ritual agama selain Islam,
termasuk ikut merayakan hari tersebut.
Maka semua bentuk Natal bersama, atau apapun ritual agama lainnya, haram
dilakukan oleh umat Islam. Dan larangannya bersifat mutlak, bukan
sekedar mengada-ada.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tanggal 7 Maret tahun 1981/ 1 Jumadil
Awwal 1401 H telah mengeluarkan fatwa haramnya natal bersama yang
ditanda-tangani oleh ketuanya KH M. Syukri Ghazali. Salah satu
kutipannya adalah:
- Perayaan Natal di Indonesia meskipun tujuannya merayakan dan menghormati Nabi Isa AS, akan tetapi Natal itu tidak dapat dipisahkan dari soal-soal yang diterangkan di atas.
- Mengikuti upacara Natal bersama bagi ummat Islam hukumnya haram.
- Agar ummat Islam tidak terjerumus kepada syubhat dan larangan Allah SWT dianjurkan untuk tidak mengikuti kegitan-kegiatan Natal.
Namun bagaimana dengan perayaan yang tidak terkait unsur agama,
melainkan hanya terkait dengan kebiasaan suatu masyarakat atau suatu
bangsa?
Sebagian kalangan masih bersikeras untuk mengaitkan perayaan datangnya
tahun baru dengan kegiatan bangsa-bangsa non-muslim. Dan meski tidak
langsung terkait dengan masalah ritual agama, tetap dianggap haram.
Pasalnya, perbuatan itu merupakan tasyabbuh (menyerupai) orang kafir, meski tidak terkait dengan ritual keagamaan.
Mereka mengajukan dalil bahwa Rasulullah SAW melarang tasyabbuh bil kuffar
Dari Ibnu Umar ra. berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Siapa yang menyerupa suatu kaum, maka dia termasuk di antara mereka. (HR Abu Daud)
Dari Abdullah bin Amr berkata bahwa orang yang mendirikan Nairuz dan
Mahrajah di atas tanah orang-orang musyrik serta menyerupai mereka
hingga wafat, maka di hari kiamat akan dibangkitkan bersama dengan
mereka.
Tasyabbuh di sini bersaifat mutlak, baik terkait hal-hal yang bersifat ritual agama ataupun yang tidak terkait.
Namun sebagian kalangan secara tegas memberikan batasan, yaitu hanya
hal-hal yang memang terkait dengan agama saja yang diharamkan buat kita
untuk menyerupai. Sedangkan pada hal-hal lain yang tidak terkait dengan
ritual agama, maka tidak ada larangan. Misalnya dalam perayaan tahun
baru, menurut mereka umumnya orang tidak mengaitkan perayaan tahun baru
dengan ritual agama. Di berbagai belahan dunia, orang-orang melakukannya
bahkan diiringi dengan pesta dan lainnya.Tetapi bukan di dalam rumah
ibadah, juga bukan perayaan agama.
Dengan demikian, pada dasarnya tidak salah bila bangsa itu merayakannya, meski mereka memeluk agama Islam.
Namun lepas dari dua kutub perbedaan pendapat ini, paling tidak buat
kita umat Islam yang bukan orang Barat, perlu rasanya kita mengevaluasi
dan berkaca diri terhadap perayaan malam tahun baru.
Pertama, biar bagaimana pun perayaan malam tahun baru tidak ada tuntunannya dari Rasulullah SAW. Kalau pun dikerjakan tidak ada pahalanya, bahkan sebagian ulama mengatakannya sebagai bid’ah dan peniruan terhadap orang kafir.
Kedua, tidak ada keuntungan apapun secara moril maupun materil untuk melakukan perayaan itu. Umumnya hanya sekedar latah dan ikut-ikutan, terutama buat kita bangsa timur yang sedang mengalami degradasi pengaruh pola hidup western. Bahkan seringkali malah sekedar pesta yang membuang-buang harta secara percuma
Ketiga, bila perayaan ini selalu dikerjakan akan menjadi sebuah tradisi tersendir, dikhawatirkan pada suatu saat akan dianggap sebagai sebuah kewajiban, bahkan menjadi ritual agama. Padahal perayaan itu hanyalah budaya impor yang bukan asli budaya bangsa kita.
Keempat, karena semua pertimbangan di atas, sebaiknya sebagai muslim kita tidak perlu mentradisikan acara apapun, meski tahajud atau mabit atau sejenisnya secara massal. Kalaulah ingin mengadakan malam pembinaan atau apapun, sebaiknya hindari untuk dilakukan pada malam tahun baru, agar tidak terkesan sebagai bagian dari perayaan. Meski belum tentu menjadi haram hukumnya.
Jalan Tengah Perbedaan Pendapat
Para ulama dengan berbagai latar belakang kehidupan, tentunya punya niat
baik, yaitu sebisa mungkin berhati-hati dalam mengeluarkan fatwa, agar
umat tidak terperosok ke jurang kemungkaran.
Salah satu bentuk polemik tentang masalah perayaan itu adalah
ditetapkannya hari libur atau tanggal merah di hari-hari raya agama
lain. Yang jadi perdebatan, apakah bila kita meliburkan kegiatan sekolah
atau kantor pada tanggal 25 Desember itu, kita sudah dianggap ikut
merayakannya?
Sebagian berpendapat bahwa kalau cuma libur tidak bisa dikatakan sebagai ikut merayakan, lha wongpemerintah memang meliburkan, ya kita ikut libur saja. Tapi niat di dalam hati sama sekali tidak untuk merayakannya.
Namun yang lain menolak, kalau pada tanggal 25 Desember itu umat Islam
pakai acara ikut-ikutan libur, suka tidak suka, sama saja mereka
termasuk ikut merayakan hari raya agama lain. Maka sebagian madrasah dan
pesantren memutuskan bahwa pada tanggal itu tidak libur. Pelajaran
tetap berlangsung seperti biasa.
Sekarang begitu juga, ketika pada tanggal 1 Januari ditetapkan oleh
Pemerintah sebagai hari libur nasional, muncul juga perbedaan pendapat.
Bolehkah umat Islam ikut libur di tahun baru? Apakah kalau ikut libur
berarti termasuk ikut merayakan hari besar agama lain?
Lalu muncul lagi alternatif, dari pada libur diisi dengan
acarahura-hura, mengapa tidak diisi saja dengan kegiatan keagamaan yang
bermanfaat, seperti melakukan pengajian, dzikir atau bahkan qiyamullail.
Anggap saja memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan.
Dan hasilnya sudah bisa diduga dengan pasti, yaitu akan ada kalangan
yang menolak mentah-mentah kebolehannya. Mereka mengatakan bahwa
pengajian, dzikir atau qiyamullaih di malam tahun baru adalah bid’ah
yang diada-adakan, tidak ada contoh dari sunnah Rasulullah SAW.
Lebih parah lagi, ada yang bahkan lebih ektrem sampai mengatakan kalau
malam tahun baru kita mengadakan pengajian, dzikir, atau qiyamullail,
bukan sekedar bid’ah tetapi sudah sesat dan masuk neraka.
Wah…
Jadi semua itu nanti akan kembali kepada paradigma kita dalam memandang, apakah kita akan menjadi orang yang sangat mutasyaddid, mutadhayyiq, ketat dan terlalu waspada? Ataukah kita akan menjadi mutasahil, muwassi’, longgar dan tidak terlalu meributkan?
Kedua aliran ini akan terus ada sepanjang zaman, sebagaimana dahulu di masa shahabat kita juga mengenal dua karakter ini. Yang mutasyaddid diwakili oleh Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu dan beberapa shahabat lain, sedang yang muwassa’ diwakili oleh Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu dan lainnya.
Adakah Jalan Tengah?
Insya Allah, ada jalan tengah yang sekiranya bisa kita pertimbangkan.
Misalnya, kalau dasarnya memang tidak ada budaya atau kebiasaan untuk
bertahun baru dengan kegiatan semacam pengajian dan sejenisnya,
sebaiknya memang tidak usah digagas sejak dari semula. Biar tidak
menjadi bid’ah baru.
Akan tetapi kalau kita berada pada masyarakat yang sudah harga mati
untuk merayakan tahun baru, suka tidak suka tetap harus ada kegiatan,
mungkin akan lain lagi ceritanya. Tugas kita saat itu mungkin boleh saja
sedikit berdiplomasi. Misalnya, tidak ada salahnya kalaukitamengusulkan
agar acaranya dibuat yang positif seperti pengajian.
Dari pada kegiatannya dangdutan, begadang semalam suntuk atau konser
musik, kan lebih baik kalau digelar saja dalam bentuk pengajian.
Anggaplah sebagai proses menuju kepada pemahaman Islam yang lebih baik
nantinya, tetapi dengan cara perlahan-lahan.
Kalau kita tidak bisa menghilangkan budaya yang sudah terlanjur mengakar
dengan sekali tebang, maka setidaknya arahnya yang dibenarkan secara
perlahan-lahan. Kira-kira ide dasarnya demikian.
Tetapi yang kami sebut sebagai jalan tengah ini bukan berarti harga
mati. Ini cuma sebuah pandangan, yang mungkin benar dan mungkin juga
tidak. Namanya saja sekedar pendapat. Tetap saja menyisakan ruang untuk
berbeda pendapat. Dan mungkin suatu ketika kami koreksi ulang.
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan Komentar Disini