Posted by Unknown on Sabtu, April 18, 2015 in Islami | No comments
Pengetahuan tentang
najis sangat penting bagi seorang muslim karena berkaitan erat dengan
ibadah. Jangan sampai karena ketidaktahuannya, benda yang sebenarnya
hanya kotoran biasa dianggap najis dan sebaliknya menganggap remeh
benda-benda yang dianggap najis oleh syariat.
Najis merupakan hal
yang sering dijumpai dalam kehidupan sehari-hari dan harus diperhatikan
keberadaannya khususnya oleh seorang muslim karena berkaitan dengan
ibadahnya kepada Allah Subhanahu wa ta`ala. Contoh yang paling mudah,
ketika seseorang hendak menegakkan shalat, ia harus memperhatikan
kesucian diri dan tempat shalatnya dari hadats maupun najis.
Namun sangat
disayangkan, berapa banyak kaum muslimin yang belum mengetahui dengan
benar masalah najis ini – walaupun sebenarnya permasalahan ini telah
banyak dibahas oleh para ulama, baik dari sisi pengertian maupun
penjelasan macam-macamnya secara rinci. Terkadang sesuatu yang najis
disangka sebagai sesuatu yang bukan najis. Pada kali yang lain, sesuatu
yang sebetulnya tidak najis berusaha dihindari karena disangka najis.
Keadaan ini adalah kenyataan pahit yang kita dapati dalam kehidupan kaum
muslimin.
Agama kita yang
sempurna telah menjelaskan dengan lengkap dan rinci tentang najis ini.
Para ulama telah menerangkan bahwa najis adalah kotoran yang wajib
dijauhi oleh seorang muslim dan harus dibersihkan apabila mengenai
sesuatu. Di antara macam-macam najis tersebut ada yang disepakati oleh
para ulama bahwa perkara itu adalah najis, dan ada pula yang
diperselisihkan tentang kenajisannya, apakah hal itu termasuk sesuatu
yang najis atau bukan. Untuk itu dengan izin Allah ta`ala, kita akan
mengupasnya satu per satu.
Kali ini kami akan menjelaskan terlebih dahulu hal-hal yang disepakati oleh para ulama sebagai najis sepanjang pengetahuan kami dengan ilmu yang kami miliki.
1. Kotoran (tahi) dan kencing manusia
Najisnya kotoran
manusia diisyaratkan dalam hadits yang diriwayatkan dari sahabat yang
mulia, Abu Sa’id al-Khudri radliyallahu‘anhu. Beliau menceritakan
bahwasanya Rasulullah ‘alaihish Shalatu Wasallam pernah shalat bersama
para shahabatnya dalam keadaan mengenakan sandal namun tiba-tiba beliau
melepas sandalnya dan meletakkannya di sebelah kiri beliau dan perbuatan
ini diikuti oleh para shahabat. Ketika selesai shalat beliau
mempertanyakan perbuatan para shahabatnya tersebut dan memberitahukan
alasan beliau melepas sandal karena Jibril mengabarkan bahwa di sandal
beliau ada kotoran dan beliau bersabda:
Apabila salah
seorang dari kalian datang ke masjid, hendaklah dia membalikkan dan
melihat sandalnya. Apabila ia melihat ada kotoran (tahi) padanya,
hendaknya digosokkan ke tanah kemudian dipakai untuk shalat.”
(Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan berkata Syaikh Muqbil rahimahullah
tentang hadits ini dalam karya beliau al-Jami’ush Shahih Mimma Laysa
fish Shahihain juz 1, hal. 526: Ini adalah hadits shahih, rijalnya (para
periwayatnya) adalah rijal Shahih al-Bukhari)
Adapun najisnya
kencing manusia dijelaskan dalam hadits Ibnu Abbas radliyallahu‘anhuma
yang diriwayatkan di dalam Shahihain (Shahih al-Bukhari dan Shahih
Muslim) tentang dua orang penghuni kubur yang diazab. Dikatakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam :
Adapun salah satu dari keduanya tidak membersihkan dirinya dari kencingnya. (HR. Bukhari no. 216, 218, 1361, 1378 dan Muslim no. 292)
Masalah kenajisan
kotoran dan kencing manusia ini banyak ataupun sedikit- disepakati oleh
ulama. Adapun Abu Hanifah dalam masalah kencing beliau berpendapat, jika didapati kencing setitik jarum, maka ini tidak memudharatkan. Namun
sebagaimana diterangkan di atas, kencing manusia baik banyak ataupun
sedikit adalah najis, dengan dalil yang jelas dan terang, serta
merupakan kesepakatan ulama sebagaimana disebutkan Imam Nawawi
rahimahullah dalam Syarh Muslim. Sedangkan apa yang datang dari Abu
Hanifah adalah pendapat yang tertolak.
Lain halnya dengan
kencing anak kecil laki-laki yang masih menyusu dan belum makan makanan
tambahan kecuali kurma untuk tahnik (tahnik adalah mengunyah sesuatu
-dalam hal ini kurma- sampai lumat kemudian dimasukkan/digosok-gosokkan
ke langit-langit mulut bayi yang baru lahir) dan madu untuk pengobatan.
Kebanyakan para ibu mengatakan bahwa itu bukan najis sehingga mereka
bermudah-mudah dalam hal ini.
Walaupun memang di
sana ada perselisihan ulama dalam masalah najisnya kencing anak
laki-laki yang dalam keadaan seperti ini, akan tetapi pendapat yang kuat
menyatakan bahwa kencing anak laki-laki yang masih menyusu dan belum
makan makanan tambahan itu najis, sebagaimana dinyatakan Imam Nawawi
rahimahullah dalam Syarah Muslim, namun najisnya ringan. Dalil
keringanannya diisyaratkan dengan ringannya cara membersihkannya seperti
dalam hadits Ummu Qais bintu Mihshan yang diriwayatkan oleh Imam
al-Bukhari (no. 223) dan Imam Muslim (no.287) :
Ummu Qais bintu
Mihshan al-Asadiyah membawa anaknya yang masih kecil dan belum makan
makanan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu Rasulullah
mendudukkan anak itu di pangkuannya. Kemudian anak itu kencing di baju
beliau. Maka Rasulullah meminta air dan mengguyurkannya ke bajunya
(hingga air menggenangi bekas kencing tersebut) dan tidak mencucinya.
(Dalam lafaz lain: lalu beliau menuangkan air ke atas bekas kencing
tersebut).
Walaupun najis
tersebut ringan, namun masih tetap harus dibersihkan dengan mengguyurkan
air padanya sesuai dengan apa yang bisa kita lihat pada hadits di atas.
Adapun dalam masalah
kotoran dan kencing hewan, kita akan mendapatkan adanya perselisihan di
kalangan ulama. Diantara mereka ada yang mengatakan bahwa kotoran hewan –
baik yang dimakan dagingnya maupun tidak adalah najis, sebagaimana
pendapat jumhur ulama dan Syafi’i. Sebagian yang lain berpendapat, yang
najis hanya kotoran hewan yang tidak dimakan dagingnya. Sementara
pendapat yang lain dari kalangan ulama dan – wallahu ta’ala a’lamu
bish-shawab – ini adalah pendapat yang kuat, pada asalnya semua kotoran
hewan suci, kecuali ada nash yang mengatakan najis, maka barulah
dikatakan najis. Ini merupakan pendapat Ibnul Mundzir, dan dinukilkan
oleh Imam an-Nawawi dalam al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab bahwa ini adalah
perkataan Dawud azh-Zhahiri, Ibrahim an-Nakha’i dan asy-Sya’bi. Pendapat
ini juga didukung oleh al-Imam Asy-Syaukani di dalam kitab-kitab
beliau, diantaranya Nailul Authar dan ad-Daraari.
Dengan apa yang telah
diterangkan di atas, maka jelaslah bahwa tidak semua yang kotor pada
wujudnya itu najis, kecuali ada nash yang menerangkan kenajisannya.
Misalnya tahi cicak, tidak ada nash yang menunjukkan kenajisannya, maka
itu bukan najis. Namun bila dikatakan kotoran (sesuatu yang kotor) maka
tahi cicak itu memang termasuk kotoran.
Hal lain yang berkaitan dengan masalah ini adalah kencing unta. Sebagaimana kita ketahui, kencing unta adalah kotoran,
namun bukan najis. Bahkan didapati riwayat dari Anas bin Malik
radliyallahu‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam memerintahkan untuk minum air kencing unta, sebagaimana termaktub dalam Shahihain (Shahih Bukhari no. 233) dan Shahih Muslim no. 1671) dan lainnya :
Sekelompok orang dari
Bani ‘Akl atau Bani ‘Urainah datang menemui Nabi namun mereka merasa
tidak betah tinggal di Madinah karena sakit yang menimpa mereka maka
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan agar didatangkan
seekor unta betina yang banyak susunya dan menyuruh mereka minum air
kencing dan susunya. Lalu mereka beranjak melakukannya. Ketika telah
sehat, mereka membunuh penggembala ternak Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam dan meminum susu ternak itu. Datanglah berita tentang peristiwa
itu menjelang siang sehingga Rasulullah memerintahkan untuk mengikuti
jejak mereka. Pada siang harinya mereka didatangkan ke hadapan Nabi,
lalu beliau memerintahkan agar dipotong tangan dan kaki mereka,
dicungkil matanya, dan dilemparkan ke tengah padang pasir yang panas.
Mereka meminta-minta minum, namun tidak diberi minum.
2. Madzi
Madzi adalah cairan yang hampir mirip dengan mani.
Bedanya, madzi lebih tipis (encer) dan tidak pekat. Keluarnya madzi ini
tidak terasa dan keluar ketika seseorang bersyahwat sebelum dia
bercampur dengan istrinya (jima’) atau di luar jima’.
Kaum muslimin bersepakat bahwa madzi itu najis,
sebagaimana dinukilkan Imam an-Nawawi dalam al-Majmu’. Juga datang
dalil yang menunjukkan najisnya madzi dalam hadits yang dikeluarkan oleh
Imam Bukhari (hadits no. 269) dan Imam Muslim (hadits no. 303)
rahimahumallah dari hadits ‘Ali radliyallahu ‘anhu ketika ‘Ali menyuruh
seorang shahabi, Miqdad ibnul Aswad, untuk menanyakan tentang madzi ini
kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam. Beliau menjawab :
Hendaknya dia mencuci kemaluannya dan berwudhu.
Ibnu Daqiqil ‘Id rahimahullah mengatakan dalam Ihkamul Ihkam: “Dari
hadits ini diambil dalil tentang najisnya madzi, di mana Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi Wasallam memerintahkan untuk mencuci kemaluan yang
terkena madzi tersebut.”
Satu hal yang perlu
kita ketahui, madzi ini menimpa laki-laki maupun wanita, namun lebih
sering dan kebanyakan terjadi pada wanita seperti yang dikatakan Imam
Nawawi rahimahullah dalam Syarah Muslim.
3. Wadzi
Wadzi adalah cairan yang keluar setelah kencing atau saat mengejan setelah buang air besar.
Hukum wadzi sama dengan madzi atau kencing, yaitu najis. Bahkan Imam
an-Nawawi rahimahullahu ta’ala di dalam kitab beliau al-Majmu menukilkan
ijma’ (kesepakatan) bahwa wadzi itu najis. Beliau mengatakan, “Telah bersepakat umat ini tentang najisnya madzi dan wadzi.”
4. Darah Haid dan Nifas
Darah haid dan nifas
adalah dua hal yang secara umum dijumpai oleh kaum wanita. Namun mungkin
ada di kalangan mereka yang belum mengetahui, apakah darah haid dan
nifas termasuk najis atau bukan, sementara ini adalah perkara yang
sangat penting bagi mereka.
Telah datang dalil
yang menunjukkan kenajisan darah haid dalam hadits Asma’ bintu Abi Bakr
radliyallahu ‘anha. Beliau menceritakan :
Seorang wanita bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Ia berkata, “Ya
Rasulullah, jika salah seorang dari kami terkena darah haid pada
pakaiannya, apa yang harus ia lakukan?” Maka Rasulullah Shallallahu
‘alaihi Wasallam bersabda, “Apabila darah haid mengenai pakaian salah
seorang dari kalian, hendaknya dia mengeriknya lalu membasuhnya,
kemudian ia shalat memakai pakaian tersebut.” (Hadits shahih, diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari no. 330, 331 dan Muslim no.110 )
Berkata Imam As Shan`ani rahimahullah di dalam Subulus Salam setelah membawakan hadits di atas: “Hadits ini merupakan dalil yang menunjukkan najisnya darah haid“.
Kaum muslimin sendiri
telah bersepakat bahwa darah haid itu najis dengan nash yang ada ini
dan Imam an-Nawawi menukilkan adanya ijma` dalam hal ini. Adapun darah
nifas, hukumnya sama dengan darah haid.
5. Bangkai
Begitu pula halnya
dengan bangkai, ulama sepakat tentang kenajisannya sebagaimana
dinyatakan oleh Imam Ibnu Rusyd dalam Bidayatul Mujtahid, juga Imam
Nawawi dalam Al Majmu.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda :
Apabila kulit telah disamak maka itu merupakan pensuciannya. (HR. Muslim no. 105)
Dari hadits di atas
dipahami bahwa kulit hewan yang telah mati (bangkai) itu najis sehingga
bila ingin disucikan harus disamak terlebih dahulu. Apabila kulitnya
saja dihukumi najis maka tentunya bangkainya lebih utama lagi untuk
dihukumi akan kenajisannya.
Dikecualikan dari bangkai ini adalah :
1. Bangkai manusia dengan keumumam sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam:
Sesungguhnya mukmin itu tidak najis. (HR. Bukhari no. 283 dan Muslim no. 371)
2. Bangkai hewan laut dengan dalil firman Allah ta`ala :
Dihalalkan bagi kalian binatang buruan dari laut dan makanan dari hasil laut… (Al Maidah : 96)
Imam Thabari
menukilkan dari Ibnu Abbas rahimahumullah tafsir dari ayat di atas,
yakni yang dimaksud dengan صَيْدُهُ adalah binatang laut itu diambil
dalam keadaan hidup dan طَعَامُهُ adalah binatang itu diambil dalam
keadaan mati (telah menjadi bangkai) .
Dalam hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda :
Laut itu suci airnya dan halal bangkainya. (Hadits shahih diriwayatkan Ashabus Sunan dan dishahihkan Syaikh Albani dalam kitab beliau Ash Shahihah 1/480)
3. Setiap hewan yang tidak memiliki darah yakni
darahnya tidak mengalir ketika hewan itu dibunuh atau terluka seperti
lalat, belalang, kalajengking dan lainnya. Berdalil dengan hadits :
Apabila jatuh
lalat dalam bejana salah seorang dari kalian maka hendaklah ia
mencelupkan lalat tadi ke dalam air kemudian dibuangnya. (HR. Bukhari no. 3320)
Imam Ash Shan`ani rahimahullah berkata: “Dimaklumi
bahwa lalat akan mati apabila jatuh ke dalam air ataupun makanan
terlebih lagi apabila makanannya dalam keadaan panas. Maka sendainya
lalat itu menajisi makanan tersebut niscaya makanan tersebut rusak
sedangkan Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam memerintahkan untuk
memperbaiki makanan yang ada, tidak merusakkannya“. (Subulus Salam)
Ketiga point di atas sebenarnya ada
perselisihan pendapat tentang kenajisannya, namun pendapat yang kuat
dengan dalil yang ada, ketiganya bukanlah najis, wallahu ta`ala a`lam
bishawwab.
Sudah semestinya
setiap muslim mengetahui perkara-perkara penting dalam agamanya
khususnya dalam pembahasan kita tentang najasat agar tidak terjatuh
dalam kekeliruan dan kesalahan yang dapat merusakkan ibadahnya kepada
Allah subhanahu wa ta’ala.
Wallahul muwaffiq lima yuriduhu ilashawab.
Dikutip
dari: http://www.asysyariah.com Penulis : Al-Ustadz Muslim Abu Ishaq
al-Atsary Judul: NAJIS Mudah Dijumpai, Jarang Dikenali
Hukum Asal Segala Sesuatu Itu Suci
Berkata Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah :
- Setiap yang halal itu suci
- Setiap yang najis itu haram
- Tidaklah setiap yang haram itu najis (Asy Syarhul Mumti, 1/77)
Menyambung
pembicaraan kami dalam edisi terdahulu tentang pembahasan najis yang
sepanjang pengetahuan kami kenajisannya disepakati oleh ulama , maka
dalam edisi kali ini kami akan memaparkan apa-apa yang sepanjang
pengetahuan kami diperselisihkan masalah kenajisannya, disertai dengan
penjelasan mana yang rajih (kuat) dari perselisihan itu, apakah itu
najis atau bukan najis, wallahu al muwaffiq.
Air liur anjing
Telah datang riwayat
dalam shahihain dan selain keduanya dari kitab-kitab hadits, menyebutkan
hadits Abu Hurairah radliallahu anhu bahwasanya Nabi shallallahu alaihi
wasallam bersabda :
“Apabila anjing minum dari bejana salah seorang dari kalian hendaklah ia mencucibejana tadi sebanyak tujuh kali”.) (HR. Bukhari no. 172 dan Muslim no. 279)
Dalam riwayat Muslim ada tambahan :
“cucian yang pertama dicampur dengan tanah“.
Pencucian yang
disebutkan dalam hadits di atas menunjukkan najisnya air liur anjing dan
pendapat inilah yang rajih (kuat) sebagaimana yang dipegangi oleh Abu
Hanifah, Ats Tsauri, satu riwayat dari Ahmad, Ibnu Hazm, Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah dan yang lainnya. Pendapat ini dikuatkan pula oleh
Syaukani di dalam kitab-kitabnya.
Sebagaimana yang kami
sebutkan di atas bahwa di dalam permasalahan najis yang kami bahas di
sini ada perselisihan, maka demikian juga masalah air liur anjing ini.
Di sana ada pula pendapat yang lain. Sebagian ahlul ilmu berpendapat
seluruh tubuh anjing itu najis. Ini merupakan pendapat jumhur ulama
dengan berdalil hadits yang telah disebutkan di atas. Mereka mengatakan :
“Karena air liur itu keluar dari mulut anjing (yang dia itu najis)
maka seluruh tubuhnya lebih utama lagi untuk dihukumi kenajisannya“.
Dan yang lainnya
mengatakan air liur anjing bukan najis, adapun perintah mencucinya
adalah sekedar perkara ta`bbudiyah (ibadah) bukan karena kenajisannya.
Ini merupakan pendapat yang dipegangi Imam Malik dan yang lainnya..
Mani
Ada dua pendapat dalam masalah mani ini.
Pendapat pertama mengatakan najis sedang pendapat kedua mengatakan yang
sebaliknya, mani itu suci. Yang kuat dalam hal ini adalah pendapat yang
mengatakan sucinya mani dan ini dipegangi oleh Imam Ahmad, Syafi`i dan
selain keduanya. Dan pendapat inilah yang rajih. Imam Nawawi
rahimahullah berkata: “Kebanyakan ulama berpendapat mani itu suci“. (Syarah Shahih Muslim juz 3, hal 198).
Mereka berdalil
dengan hadits Aisyah radliallahu anha yang hanya mengerik bekas mani
yang telah mengering pada pakaian Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam tanpa mencucinya. (sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Muslim
dalam shahihnya no. 288, 290). Walaupun didapatkan pula riwayat Aisyah
radliallahu anha mencuci bekas mani yang menempel pada pakaian beliau
shallallahu ‘alaihi wasallam (sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari
dalam shahihnya no. 229, 230, 231, 232 dan Muslim no. 289)
Namun kedua riwayat
ini tidak saling bertentangan (riwayat mengerik atau mencuci). Hal ini
dikatakan oleh Al Hafidz Ibnu Hajar Al Atsqalani rahimahullah : “Hadits
yang menunjukkan dicucinya bekas mani yang menempel pada pakaian dan
hadits yang menunjukkan dikeriknya mani tersebut tidaklah saling
bertentangan karena bisa dikumpulkan antara keduanya dengan jelas bagi
yang berpendapat sucinya mani. Hadits tentang mencuci dibawa kepada
hukum istihbab (disenanginya mencuci bekas mani yang menempel pada
pakaian) dalam rangka kebersihan bukan karena kewajiban. Ini merupakan
cara yang ditempuh oleh Imam Syafi`i, Ahmad dan ashabul hadits “. (Fathul Bari juz 1 hal. 415)
Berkata Imam Nawawi
rahimahullah: “Seandainya mani itu najis niscaya tidak cukup
menghilangkannya dengan sekedar mengerik”. (“Syarah Shahih Muslim juz 3,
hal. 198)
Darah
Yang kita maksudkan
dalam pembahasan ini adalah selain darah haid dan nifas yang disepakati
kenajisannya sebagaimana telah kami paparkan dalam pembahasaan
terdahulu.. Memang dalam perkara ini juga terdapat perselisihan namun
yang rajih/kuat darah itu suci. Ada baiknya kita menengok pembahasan
yang dipaparkan Syaikh Albani rahimahullah: “(Mereka yang
berpendapat najisnya darah) juga menyelisihi hadits Al Anshari yang
dipanah oleh seorang musyrik ketika ia sedang shalat malam. Maka ia
mencabut anak panah yang menancap di tubuhnya. Lalu ia dipanah lagi
dengan tiga anak panah, namun ia tetap melanjutkan shalatnya dalam
keadaan darah terus mengucur dari tubuhnya, sebagaimana yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhari secara mu`allaq (terputus sanadnya dari
Imam Bukhari sampai kepada perawi hadits) dan secara maushul (bersambung
sanadnya) oleh Imam Ahmad dan selainnya, dishahihkan dalam “Shahih
Sunan Abu Daud” (no. 193). Hadits ini dihukumi marfu` (sampai
kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam) karena mustahil beliau
shallallahu ‘alaihi wasallam tidak memperhatikan hal ini.
Seandainya darah yang
banyak itu membatalkan wudhu niscaya beliau shallallahu ‘alaihi
wasallam akan menerangkannya, karena tidak boleh menunda keterangan pada
saat diperlukan sebagaimana hal ini diketahui dari kaidah ilmu ushul.
Kalau dianggap Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mengetahui
perbuatan shahabatnya tersebut maka tidak ada sesuatupun di langit
maupun di bumi yang tersembunyi dari Allah ta`ala. Seandainya darah
tersebut najis atau membatalkan wudhu niscaya Allah akan mewahyukan
kepada Nabi-nya sebagaimana hal ini jelas tidak tersembunyi bagi seorang
pun. Pendapat ini dipegangi oleh Imam Bukhari sebagaimana pemaparan
beliau terhadap sebagian atsar yang mu`allaq, yang diperjelas oleh Ibnu
Hajar dalam Fathul Bari dan ini merupakan pendapatnya Ibnu Hazm”.
Kemudian beliau berkata: “Adapun pembahasan masalah ini dari sisi fiqih, bisa ditinjau sebagai berikut:
Pertama: Menyamakan
darah haid dengan darah yang lainnya seperti darah manusia dan darah
dari hewan yang dimakan dagingnya adalah kesalahan yang jelas sekali
dari dua sisi ;
1. Tidak
ada dalil yang menunjukkan hal tersebut dari Al Qur’an dan As Sunnah,
sementara hukum asal darah terlepas dari anggapan najis kecuali ada
dalil.
2. Penyamaan
seperti itu menyelisihi keterangan yang datang di dalam As Sunnah.
Adapun darah seorang muslim secara khusus ditunjukkan dalam hadits Al
Anshari yang berlumuran darah ketika shalat dan ia tetap melanjutkan
shalatnya. Sedangkan darah hewan ditunjukkan dalam riwayat yang shahih
dari Ibnu Mas`ud radliallahu anhu, dia pernah menyembelih seekor unta
hingga ia terkena darah unta tersebut berikut kotorannya, lalu diserukan
iqamah maka ia pun pergi menunaikan shalat dan tidak berwudhu lagi.
(Riwayat Abdurrazzaq “Al Mushannaf” 1/125, Ibnu Abi Syaibah 1/392, Ath
Thabrani “Mu`jamul Kabir” 9/284 dengan sanad yang shahih darinya. Dan
diriwayatkan juga oleh Al Baghawi “Al Ja`diyaat” 2/887/2503).
Uqbah meriwayatkan
dari Abi Musa Al Asy`ari: “Aku tidak peduli seandainya aku menyembelih
seekor unta hingga aku berlumuran dengan kotoran dan darahnya. Lalu aku
shalat tanpa aku menyentuh air”. Dan sanad atsar dari Abu Musa ini dlaif
(lemah).
Kemudian beliau melanjutkan :
Kedua: Membedakan
antara darah yang sedikit dengan darah yang banyak (najis atau
tidaknya), walaupun pendapat ini telah didahului oleh para imam, maka
tidak ada dalil yang menunjukkannya bahkan hadits Al Anshari membatalkan
pendapat ini. (Lihat Tamamul Minnah hal, 51-52)
Orang kafir
Ibnu Hazm dan
orang-orang dari kalangan ahlu dhahir berpegang dengan apa yang dipahami
dari hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam :
“Sesungguhnya orang islam itu tidak najis” (HR. Bukhari no. 283 dan Muslim no.371)
Untuk menyatakan
orang kafir itu najis tubuhnya dan mereka perkuat pendapat ini dengan
firman Allah ta`ala dalam surat At Taubah ayat 28 :
“Hanyalah orang-orang musyrik itu najis“. (QS. At Taubah : 28)
Namun jumhur ulama
membantah pendapat ini dengan menyatakan bahwa yang dimaksud oleh hadits
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah seorang muslim itu suci
anggota tubuhnya karena ia terbiasa menjauhkan dirinya dari najis,
adapun orang musyrik tidak menjaga diri dari najis. Sedang yang dimaksud
dengan ayat di atas adalah orang musyrik itu najis dalam hal
keyakinannya dan dalam kekotorannya.
Juga dengan dalil
bahwasanya Allah Ta`ala dalam Al Qur’an membolehkan kaum muslimin
menikahi wanita ahlul kitab sementara seorang suami yang menyetubuhi
istrinya tentunya tidak bisa lepas dari bersentuhan dengan keringat
istrinya, bersamaan dengan itu tidak diwajibkan atas si suami untuk
bersuci karena bersentuhan dengan istrinya, namun mandinya wajib karena
jima`. Juga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah berwudhu dari
tempat air minum wanita musyrikah dan diikatnya Tsumamah bin Atsal di
masjid ketika masih musyrik, dan lain sebagainya. (Fathul Bari 1/487,
Nailul Authar 1/45, Sailul Jaraar 1/38,39, Asy Syarhul Mumti` 1/383)
Dan pendapat jumhur inilah yang rajih.
Khamar
Khamar adalah segala sesuatu yang memabukkan baik terbuat dari anggur, kurma, gandum atau yang selainnya.
Khamar ini haram hukumnya sebagaimana ditunjukkan dalam Al Qur’an, As
Sunnah dan ijma` (kesepakatan) kaum muslimin. Lalu apakah khamar ini
najis ?
Jumhur ulama berpandangan khamar ini najis berdalil ayat Allah subhanahuwa ta`ala :
“Wahai
orang-orang yang beriman, sesungguhnya khamar , judi, berkorban untuk
berhala dan mengundi nasib dengan panah adalah rijs dari perbuatannya
setan…”. (QS. Al Maidah : 90)
Mereka memaknakan
rijs di sini dengan najis, namun yang benar dari pendapat yang ada,
khamar bukanlah najis dan ini merupakan pendapatnya Rabi`ah Ar Ra’yi, Al
Laits, Al Muzani, Syaukani, Syaikh Albani, Syaikh Ibnu Utsaimin dan
selain mereka.
Adapun yang dimakud
dengan ayat Allah dalam surat Al Maidah di atas, kata Imam Syaukani
rahimahullah : “Tatkala khamar di sini digandengkan penyebutannya dengan
الأنصاب dan الأزلام maka kata yang menyertai ini memalingkan makna rijs
(dalam ayat) kepada selain najis yang syar`i”. (Ad Darari, hal. 20)
Syaikh Ibnu Utsaimin
rahimahullah juga menerangkan tentang makna ayat dalam surat Al Maidah
ini bahwa yang dimaksud najis di sini adalah najis maknawi (secara
makna) bukan najis hissiyah (indrawi) dari dua sisi :
1. Khamar disertakan dengan الأنصاب , الأزلام dan الميسر dan najis di sini secara maknawi.
2. Sesungguhnya rijs
di sini dikaitkan dengan firman-Nya : ((من عمل الشيطان)) sehingga
maknanya rijs amali (perbuatannya) bukan rijs `aini (bendanya yang
najis) yang dengannya semua perkara ini dihukumi najis.
Muntah manusia
Yang rajih muntah manusia itu tidak najis karena
tidak ada dalil yang menyatakan kenajisannya. Adapun pendapat yang
mengatakan muntah itu najis telah dibantah oleh Imam Syaukani
rahimahullah dalam kitabnya Sailul Jaraar (1/43). Beliau menyatakan:
“Aku telah menyebutkan padamu di awal kitab Thaharah bahwa segala
sesuatu itu hukum asalnya adalah suci dan tidak bisa berpindah dari
hukum asalnya ini kecuali dalil yang memindahkannya benar (shahih) dan
pantas untuk dijadikan argumen lebih kuat ataupun seimbang. Bila kita
dapatkan dalil tersebut maka tentunya baik sekali, namun kalau kita
tidak mendapatkannya wajib bagi kita untuk tawaqquf (berdiam diri) di
tempat yang kita dilarang untuk berbicara tentangnya. Kemudian kita
katakan kepada orang yang menganggap muntah itu najis bahwasanya dengan
anggapannya ini berarti :
- Allah subhanahu wa ta`ala telah mewajibkan kepada hamba-Nya suatu kewajiban.
- Muntah yang dikatakan najis itu harus dicuci
- Tercegah keabsahan shalat dengan adanya muntah itu.
Sehingga kita meminta kepadanya untuk mendatangkan dalil akan hal ini.
Kalau orang ini membawakan dalil dengan hadits Ammar :
“Engkau hanyalah mencuci pakaianmu apabila terkena kencing, tahi, muntah darah dan mani“.
Maka kami jawab
hadits ini tidak kokoh dari sisi shahihnya, ataupun dari sisi hasannya
bahkan tidak pula sampai kepada derajat yang paling rendah untuk bisa
dijadikan dalil dan diamalkan. Lalu bagaimana mungkin hukum ini bisa
ditetapkan oleh hadits Ammar ini sementara hadits tersebut tidak pantas
untuk dijadikan penetapan terhadap hukum yang paling rendah sekalipun
atas satu individu pun dari hamba-hamba Allah..
Kalau orang ini berkata lagi : “Telah datang hadits bahwasanya muntah itu membatalkan wudhu “.
Maka kami jawab : “Apakah di sana ada keterangan bahwasanya tidaklah membatalkan wudhu kecuali perkara yang najis“.
Kalau kamu katakan iya, maka kamu tidak akan mendapatkan jalan untuk mengatakan demikian (bahwa muntah itu najis).
Kalau kamu mengatakan bahwa telah berkata sebagian ahlul furu` (ahli fiqih) bahwasanya muntah itu satu cabang dari kenajisan.
Maka kami jawab apakah ucapan sebagian orang itu merupakan dalil yang bisa menguatkan pendapatnya terhadap seseorang ?
Kalau kamu katakan
iya berarti sungguh kamu telah mengucapkan perkataan yang tidak
diucapkan oleh seorang pun dari kaum muslimin. Kalau kamu katakan tidak,
maka kami nyatakan : kenapa kamu berdalil dengan perkara yang tidak
digunakan oleh seseorang untuk berdalil terhadap orang lain
wallahu a’lam
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan Komentar Disini