Posted by Unknown on Kamis, April 16, 2015 in Islami | No comments
Kita sekarang kembali ke Mekah, tahun ketujuh sebelum hijrah. Ketika itu
Rasulullah saw. sedang susah karena tindakan kaum Qurasy yang menyakiti
beliau dan para sahabat. Kesulitan dan kesusahan berdakwah menyebabkan
beliau senantiasa harus bersabar. Dalam suasana seperti itu, tiba-tiba
seberkas cahaya memancar memberikan hiburan yang menggembirakan. Seorang
pembawa berita mengabarkan kepada beliau, “Ummu Aiman melahirkan
seorang bayi laki-laki.” Wajah Rasulullah berseri-seri karena gembira
menyambut berita tersebut.
Siapakah bayi itu? Sehingga, kelahirannya dapat mengobati hati
Rasulullah yang sedang duka, berubah menjadi gembira ? Itulah dia,
Usamah bin Zaid.
Orangtua Usamah
Para sahabat tidak merasa aneh bila Rasulullah bersuka-cita dengan
kelahiran bayi yang baru itu. Karena, mereka mengetahui kedudukan kedua
orang tuanya di sisi Rasulullah. Ibu bayi tersebut seorang wanita Habsyi
yang diberkati, terkenal dengan panggilan “Ummu Aiman”. Sesungguhnya
Ummu Aiman adalah bekas sahaya ibunda Rasulullah Aminah binti Wahab.
Dialah yang mengasuh Rasulullah waktu kecil, selagi ibundanya masih
hidup. Dia pulalah yang merawat sesudah ibunda wafat. Karena itu, dalam
kehidupan Rasulullah, beliau hampir tidak mengenal ibunda yang mulia,
selain Ummu Aiman
Rasulullah menyayangi Ummu Aiman, sebagaimana layaknya sayangnya seroang
anak kepada ibunya. Beliau sering berucap, “Ummu Aiman adalah ibuku
satu-satunya sesudah ibunda yang mulia wafat, dan satu-satunya
keluargaku yang masih ada.” Itulah ibu bayi yang beruntung ini.
Adapun bapaknya adalah kesayangan ) Rasulullah, Zaid bin Haritsah.
Rasulullah pernah mengangkat Zaid sebagai anak angkatnya sebelum ia
memeluk Islam. Dia menjadi sahabat beliau dan tempat mempercayakan
segala rahasia. Dia menjadi salah seorang anggota keluarga dalam rumah
tangga beliau dan orang yang sangat dikasihi dalam Islam.
Kegembiraan Kaum Muslimin dan Sayangnya Rasulullah SAW kepada Usamah
Kaum muslimin turut bergembira dengan kelahiran Usamah bin Zaid,
melebihi kegembiraan meraka atas kelahiran bayi-bayi lainnya. Hal itu
bisa terjadi karena tiap-tiap sesuatu yang disukai Rasulullah juga
mereka sukai. Bila beliau bergembira mereka pun turut bergembira. Bayi
yang sangat beruntung itu mereka panggil “Al-Hibb wa Ibnil Hibb”
(kesayangan anak kesayangan).
Kaum muslimin tidak berlebih-lebihan memanggil Usamah yang masih bayi
itu dengap panggilan tersebut. Karena, Rasulullah memang sangat
menyayangi Usamah sehingga dunia seluruhnya agaknya iri hati. Usamah
sebaya dengan cucu Rasulullah, Hasan bin Fatimah az-Zahra. Hasan
berkulit putih tampan bagaikan bunga yang mengagumkan. Dia sangat mirip
dengan kakeknya, Rasulullah saw. Usamah kulitnya hitam, hidungnya pesek,
sangat mirip dengan ibunya wanita Habsyi. Namun, kasih sayang
Rasulullah kepada keduanya tiada berbeda. Beliau sering mengambil
Usamah, lalu meletakkan di salah satu pahanya. Kemudian, diambilnya pula
Hasan, dan diletakkannya di paha yang satunya lagi. Kemudian, kedua
anak itu dirangkul bersama-sama ke dadanya, seraya berkata, “Wahai
Allah, saya menyayangi kedua anak ini, maka sayangi pulalah mereka!”
Begitu sayangnya Rasulullah kepada Usamah, pada suatu kali Usamah
tersandung pintu sehingga keningnya luka dan berdarah. Rasulullah
menyuruh Aisyah membersihkan darah dari luka Usamah, tetapi tidak mampu
melakukannya. Karena itu, beliau berdiri mendapatkan Usamah, lalu beliau
isap darah yang keluar dari lukanya dan ludahkan. Sesudah itu, beliau
bujuk Usamah dengan kata-kata manis yang menyenangkan hingga hatinya
merasa tenteram kembali.
Sebagaimana Rasulullah menyayangi Usamah waktu kecil, tatkala sudah
besar beliau juga tetap menyayanginya. Hakim bin Hazam, seorang pemimpin
Qurasy, pernah menghadiahkan pakaian mahal kepada Rasulullah. Hakam
membeli pakaian itu di Yaman dengan harga lima puluh dinar emas dari
Yazan, seorang pembesar Yaman. Rasulullah enggan menerima hadiah dari
Hakam, sebab ketika itu dia masih musyrik. Lalu, pakaian itu dibeli oleh
beliau dan hanya dipakainya sekali ketika hari Jumat. Pakaian itu
kemudian diberikan kepada Usamah. Usamah senantiasa memakainya pagi dan
petang di tengah-tengah para pemuda Muhajirin dan Anshar sebayanya.
Sejak Usamah meningkat remaja, sifat-sifat dan pekerti yang mulia sudah
kelihatan pada dirinya, yang memang pantas menjadikannya sebagai
kesayangan Rasulullah. Dia cerdik dan pintar, bijaksana dan pandai,
takwa dan wara. Ia senantiasa menjauhkan diri dari perbuatan tercela.
Dikisahkan bahwasanya pada suatu hari, terjadilah pencurian dimana
pelakunya adalah seorang wanita ternama dari bangsa Quraisy, maka kaum
Quraisy pun terlena, apa yang semestinya diputuskan terhadap wanita
tersebut sedangkan hukuman untuk pencuri adalah potong tangan, kemudian
mereka ingin menanyakan hal ini kepada Rasulullah SAW namun ketidak
beranian yang mereka miliki membuat mereka mundur langkah dan maju
langkah. hingga terbesitlah dihati salah satu diantara mereka bahwasanya
orang yang paling berani untuk menanyakan hal ini adalah Usama, karena
dia adalah orang yang paling dekat dan paling dikasihi oleh rasulullah
saw.
dengan segera mereka menemuinya dan memintanya agar meminta keringanan
kepada rasulullah saw terhadap wanita terseut. ketika Usama menceritakan
hal ini kepada rasulullah saw, maka rasulullah bersabda:
Janganlah engkau meminta keringanan dalam masalah hukum agama,
sesungguhnya bangsa-bangsa terdahulu binasa karena hal itu, bila
diantara mereka orang bangsawan mencuri maka mereka mengampuninya dan
bila orang miskin yang mencuri maka ditegakkan hukum sebaik-baiknya dan
sesungguhnya bila Fatimah Binti Muhammad mencuri niscaya saya akan
memotong tangannya.
Usamah Dalam Perang Uhud
Waktu terjadi Perang Uhud, Usamah bin Zaid datang ke hadapan Rasulullah
saw. beserta serombongan anak-anak sebayanya, putra-putra para sahabat.
Mereka ingin turut jihad fi sabilillah. Sebagian mereka diterima
Rasulullah dan sebagian lagi ditolak karena usianya masih sangat muda.
Usamah bin Zaid teramasuk kelompok anak-anak yang tidak diterima. Karena
itu, Usama pulang sambil menangis. Dia sangat sedih karena tidak
diperkenankan turut berperang di bawah bendera Rasulullah.
Usamah Dalam Perang Khandaq
Dalam Perang Khandaq, Usamah bin Zaid datang pula bersama kawan-kawan
remaja, putra para sahabat. Usamah berdiri tegap di hadapan Rasulullah
supaya kelihatan lebih tinggi, agar beliau memperkenankannya turut
berperang. Rasulullah kasihan melihat Usamah yang keras hati ingin turut
berperang. Karena itu, beliau mengizinkannya, Usamah pergi berperang
menyandang pedang, jihad fi sabilillah. Ketika itu dia baru berusia lima
belas tahun.
Usamah Dalam Perang Hunain
Ketika terjadi Perang Hunain, tentara muslimin terdesak sehingga
barisannya menjadi kacau balau. Tetapi, Usamah bin Zaid tetap bertahan
bersama-sama denga ‘Abbas (paman Rasulullah), Sufyan bin Harits (anak
paman Usamah), dan enam orang lainnya dari para sahabat yang mulia.
Dengah kelompok kecil ini, Rasulullah berhasil mengembalikan kekalahan
para sahabatnya menjadi kemenangan. Beliau berhasil menyelematkan kaum
muslimin yang lari dari kejaran kaum musyrikin.
Usamah Dalam Perang Mu’tah
Dalam Perang Mu’tah, Usamah turut berperang di bawah komando ayahnya,
Zaid bin Haritsah. Ketika itu umurnya kira-kira delapan belas tahun.
Usamah menyaksikan dengan mata kepala sendiri tatkala ayahnya tewas di
medan tempur sebagai syuhada. Tetapi, Usamah tidak takut dan tidak pula
mundur. Bahkan, dia terus bertempur dengan gigih di bawah komando Ja’far
bin Abi Thalib hingga Ja’far syahid di hadapan matanya pula. Usamah
menyerbu di bawah komando Abdullah bin Rawahah hingga pahlawan ini gugur
pula menyusul kedua sahabatnya yang telah syahid. Kemudian, komando
dipegang oleh Khalid bin Walid. Usamah bertempur di bawah komando
Khalid. Dengan jumlah tentara yang tinggal sedikit, kaum muslimin
akhirnya melepaskan diri dari cengkeraman tentara Rum.
Seusai peperangan, Usamah kembali ke Madinah dengan menyerahkan kematian
ayahnya kepada Allah SWT. Jasad ayahnya ditinggalkan di bumi Syam
(SYiria) dengan mengenang segala kebaikan almarhum.
Pengangkatan Usamah dalam Perang Melawan Romawi
Ketika Islam berjaya pada masa Rasulullah di Arab. Dengan suka rela,
setiap insan yang mendengar seruan kalimat laa ilaha illallalah
Muhammadur Rasulullah berbondong-bondong menyambutnya. Wajah-wajah kusut
yang semula diselimuti kabut kemusyrikan menjadi cerah disinari
pancaran cahaya Ilahi. Tidak ketinggalan juga Farwah bin Umar
Al-Judzami, kepala daerah Ma’an dan sekitarnya yang diangkat Kaisar
Romawi. Mengetahui hal itu, para penguasa Romawi marah dan mereka segera
menangkap Farwah dan menjebloskannya ke penjara. Selanjutnya, ia
dibunuh dan kepalanya dipancung, lalu diletakkan di sebuah mata air
bernama Arfa’ di Palestina. Mayatnya disalib untuk menakut-nakuti para
penduduk agar tidak mengikuti jejaknya.
Mendengar desas-desus yang seolah menyepelekan kemampuan Usamah itu,
Umar bin Khatthab segera menemui Rasulullah. Beliau sangat marah, lalu
bergegas mengambil sorbannya dan keluar menemui para sahabat yang tengah
berkumpul di Masjid Nabawi. Setelah memuji Allah dan mengucapkan
syukur, beliau bersabda,
“Wahai sekalian manusia, saya mendengar pembicaraan mengenai
pengangkatan Usamah, demi Allah, seandainya kalian menyangsikan
kepemimpinannya, berarti kalian menyangsikan juga kepemimpinan ayahnya,
Zaid bin Haritsah. Demi Allah, Zaid sangat pantas memegang kepemimpinan,
begitu juga dengan putranya, Usamah. Kalau ayahnya sangat saya kasihi,
maka putranya pun demikian. Mereka adalah orang yang baik. Hendaklah
kalian memandang baik mereka berdua. Mereka juga adalah sebaik-baik
manusia di antara kalian.”
Pada tahun kesebelas hijriah Rasulullah menurunkan perintah agar
menyiapkan bala tentara untuk memerangi pasukan Rum. Dalam pasukan itu
terdapat antara lain Abu Bakar Shidiq, Umar bin Khattab, Sa’ad bin ABi
Waqqas, Abu Ubaidah bin Jarrah, dan lain-lain sahabat yang tua-tua.
Rasulullah mengangkat Usamah bin Zaid yang muda remaja menjadi panglima
seluruh pasukan yang akan diberangkatkan. Ketika itu usia Usamah belum
melebihi dua puluh tahun. Beliau memerintahkan Usamah supaya berhenti di
Balqa’ dan Qal’atut Daarum dekat Gazzah, termasuk wilayah kekuasaan
Rum.
Setelah itu, beliau turun dari mimbar dan masuk ke rumahnya. Kaum
muslimin pun beradatangan hendak berangkat bersama pasukan Usamah.
Mereka menemui Rasulullah yang saat itu dalam keadaan sakit. Diantara
mereka terdapat Ummu Aiman, ibu Usamah. “Wahai Rasulullah bukankah lebih
baik, jika engkau biarkan Usamah menunggu sebentar di perkemahannya
sampai engkau merasa sehat. Jika dipaksa berangkat sekarang, tentu dia
tidak akan merasa tenang dalam perjalanannya,” ujarnya. Namun Rasulullah
Shalallahu Alaihi wa Sallam menjawab, ‘Biarkan Usamah berangkat
sekarang juga.”
Kata Usamah, “Tatkala sakit Rasulullah bertambah berat, saya datang
menghadap beliau diikuti orang banyak, setelah saya masuk, saya dapati
beliau sedang diam tidak berkata-kata karena kerasnya sakit beliau.
Tiba-tiba beliau mengangkat tangan dan meletakkannya ke tubuh saya. Saya
tahu beliau memanggilku.”
Ketika Usamah mencium wajahnya, beliau tidak mengatakan apa-apa selain
mengangkat kedua belah tanganya ke langit serta mengusap kepala Usamah,
mendoakannya.
Sikap Khalifah Abu Bakar atas Adanya Usulan Penggantian Usamah
Usamah segera kembali ke pasukannya yang masih menunggu. Setelah
semuanya lengkap, mereka mulai bergerak. Belum jauh pasukan itu
meninggalkan Juraf, tempat markas perkemahan, datanglah utusan dari Ummu
Aiman memberitahukan bahwa Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam telah
wafat. Usamah segera memberhentikan pasukannya. Bersama Umar bin
Khatthab dan Abu Ubaidah bin Jarraf, ia segera menuju rumah Rasulullah.
Sementara itu, tentara kaum muslimin yang bermarkas di Juraf membatalkan
pemberangkatan dan kembali juga ke madinah.
Abu Bakar Shidiq terpilih dan dilantik menjadi khalifah. Khalifah Abu
Bakar meneruskan pengiriman tentara di bawah pimpinan Usamah bin Zaid,
sesuai dengan rencana yang telah digariskan Rasulullah. Tetapi,
sekelompok kaum Anshar menghendaki supaya menangguhkan pemberangkatan
pasukan. Mereka meminta Umar bin Khattab membicarakannya dengan Khalifah
Abu Bakar. Abu Bakar segera memanggil Usamah untuk kembali memimpin
pasukan, sebagaimana yang diperintahkan Rasulullah sebelumnya. Tindakan
Khalifah tentu saja mendapat reaksi dari beberapa sahabat. Apalagi saat
itu beberapa kelompok kaum muslimin murtad dari agama Islam. Kota
Madinah memerlukan penjagaan ketat.
Kata mereka, “Jika khalifah tetap berkeras hendak meneruskan pengiriman
pasukan sebagaimana dikehendakinya, kami mengusulkan panglima pasukan
(Usamah) yang masih muda remaja ditukar dengan tokoh yang lebih tua dan
berpengalaman.”
Mendengar ucapan Umar yang menyampaikan usul dari kaum Anshar itu, Abu
Bakar bangun menghampiri Umar seraya berkata dengan marah, “Hai putra
Khattab! Rasulullah telah mengangkat Usamah. Engkau tahu itu. Kini
engkau menyuruhku membatalkan putusan Rasululllah. Demi Allah, tidak ada
cara begitu!”
Abu Bakar juga berkata, “Demi jiwaku yang berada di tangan-Nya,
seandainya aku tahu akan dimakan binatang buas sekalipun, niscaya aku
akan tetap mengutus pasukan ini ketujuannya. Aku yakin, mereka akan
kembali dengan selamat. Bukankah Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam
yang diberikan wahyu dari langit telah bersabda, “Berangkatkan segera
pasukan Usamah!’
Tatkala Umar kembali kepada orang banyak, mereka menanyakan bagaimana
hasil pembicaraannya dengan khalifah tentang usulnya. Kata Umar,
“Setelah saya sampaikan usul kalian kepada Khalifah, belaiu menolak dan
malahan saya kena marah. Saya dikatakan sok berani membatalkan keputusan
Rasulullah.
Maka, pasukan tentara muslimin berangkat di bawah pimpinan panglima yang
masih muda remaja, Usamah bin Zaid. Khalifah Abu Bakar turut
mengantarkannya berjalan kaki, sedangkan Usamah menunggang kendaraan.
Kata Usamah, “Wahai Khalifah Rasulullah! Silakan Anda naik kendaraan. Biarlah saya turun dan berjalan kaki. “
Jawab Abu Bakar, “Demi Allah! jangan turun! Demi Allah! saya tidak
hendak naik kendaraan! Biarlah kaki saya kotor, sementara mengantar
engkau berjuang fisabilillah! Saya titipkan engkau, agama engkau,
kesetiaan engkau, dan kesudahan perjuangan engkau kepada Allah. Saya
berwasiat kepada engkau, laksanakan sebaik-baiknya segala perintah
Rasulullah kepadamu!”
Kemudian dibalas oleh Usamah dengan jawaban yang penuh makna, “Aku
menitipkan kepada Allah agamamu, amanatmu juga penghujung amalmu dan aku
berwasiat kepadamu untuk melaksanakan apa yang diperintahkan
Rasulullah.”
Kemudian, Khalifah Abu Bakar lebih mendekat kepada Usamah. Katanya,
“Jika engkau setuju biarlah Umar tinggal bersama saya. Izinkanlah dia
tinggal untuk membantu saya. Usamah kemudian mengizinkannya.
Kemenangan Usamah
Usamah dan pasukannya terus bergerak dengan cepat meninggalkan Madinah.
Setelah melewati beberapa daearah yang masih tetap memeluk Islam,
akhirnya mereka tiba di Wadilqura. Usamah mengutus seorang mata-mata
dari suku Hani Adzrah bernama Huraits. Ia maju meninggalkan pasukan
hingga tiba di Ubna, tempat yang mereka tuju. Setelah berhasil
mendapatkan berita tentang keadaan daerah itu, dengan cepat ia kembali
menemui Usamah. Huraits menyampaikan informasi bahwa penduduk Ubna belum
mengetahui kedatangan mereka dan tidak bersiap-siap. Ia mengusulkan
agar pasukan secepatnya bergerak untuk melancarkan serangan sebelum
mereka mempersiapkan diri. Usamah setuju. Dengan cepat mereka bergerak.
Seperti yang direncanakan, pasukan Usamah berhasil mengalahkan lawannya.
Hanya selama empat puluh hari, kemudian mereka kembali ke Madinah
dengan sejumlah harta rampasan perang yang besar, dan tanpa jatuh korban
seorang pun.
Usamah berhasil kembali dari medan perang dengan kemenangan gemilang.
Mereka membawa harta rampasan yang banyak, melebihi perkiraan yang
diduga orang. Sehingga, orang mengatakan, “Belum pernah terjadi suatu
pasukan bertempur kembali dari medan tempur dengan selamat dan utuh dan
berhasil membawa harta rampasan sebanyak yang dibawa pasukan Usamah bin
Zaid.”
Kecintaan Kaum Muslimin Kepada Usamah
Usamah bin Zaid sepanjang hidupnya berada di tempat terhormat dan
dicintai kaum muslimin. Karena, dia senantiasa mengikuti sunah
Rasulullah dengan sempurna dan memuliakan pribadi Rasul.
Khalifah Umar bin Khattab pernah diprotes oleh putranya, Abdullah bin
Umar, karena melebihkan jatah Usamah dari jatah Abdullah sebagai putra
Khalifah. Kata Abdullah bin Umar, “Wahai Bapak! Bapak menjatahkan untuk
Usamah empat ribu dinar, sedangkan kepada saya hanya tiga ribu dinar.
Padahal, jasa bapaknya agaknya tidak akan lebih banyak daripada jasa
Bapak sendiri. Begitu pula pribadi Usamah, agaknya tidak ada
keistimewaannya daripada saya. Jawab Khalifah Umar, “Wah?! jauh sekali?!
Bapaknya lebih disayangi Rasulullah daripada bapak kamu. Dan, pribadi
Usamah lebih disayangi Rasulullah daripada dirimu.” Mendengar keterangan
ayahnya, Abdullah bin Umar rela jatah Usamah lebih banyak daripada
jatah yang diterimanya.
Apabila bertemu dengan Usamah, Umar menyapa dengan ucapan, “Marhaban bi
amiri!” (Selamat, wahai komandanku?!). Jika ada orang yang heran dengan
sapaan tersebut, Umar menjelaskan, “Rasulullah pernah mengangkat Usamah
menjadi komandan saya.”
Setelah menjalani hidupnya bersama para sahabat, Usamah bin Zaid wafat
tahun 53 H / 673 M pada masa pemerintahan khalifah Mu’awiyah.
Itulah cuplikan dari kisah seorang pemuda yang berani dalam membela
agama Allah tanpa mempedulikan sesuatu yang mengancam jiwanya, dari
sinilah kita sebagai pemuda penerus bangsa dan agama alangkah patutlah
meniru sosok seorang sahabat yang pemberani Usamah bin Zaid.
Semoga Allah senantiasa melimpahkan rahmat-Nya kepada para sahabat yang
memiliki jiwa dan kepribadian agung seperti mereka ini. Wallahu a’lam.
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan Komentar Disini