Posted by Unknown on Selasa, April 14, 2015 in Islami | No comments
ما شاء اللهُ كان وما لم يشأ لم يكن
“Apa yang Allah kehendaki pasti terjadi, yang tidak Ia kehendaki tidak terjadi”
Namun dalam diriku terdapat sebuah syubhat, yaitu perbuatan hamba itu
ada karena kehendak Allah (dengan mengenyampingkan dahulu perihal
kehendak hamba). Jika seorang hamba berbuat maksiat, sebetulnya maksiat
yang ia lakukan itu atas kehendak Allah. Sehingga sebetulnya kehendak
hamba tidak punya peran diantara kehendak Allah dan perbuatan si hamba.
Maksudnya, kehendak si hamba itu, ada-atau-tidaknya tidak berpengaruh
karena sesuatunya atas kehendak Allah. Jika Allah berkehendak sesuatu
terjadi, maka si hamba akan berkehendak demikian lalu terjadilah. Jika
Allah tidak berkehendak, maka si hamba tidak akan berkehendak juga dan
lalu tidak terjadi.
Pertanyaan saya, apakah ini artinya hamba itu dipaksa oleh takdir untuk
melakukan kebaikan ataupun keburukan? Jika jawabannya ya, lalu mengapa
maksiat itu mendapat hukuman? Mohon penjelasan dari anda, semoga Allah
membalas anda dengan kebaikan. Permasalahan ini membuat saya bingung.
Syaikh Muhammad Ali Farkus hafizhahullah menjawab:
Segala puji hanya untuk Allah Rabb semesta alam. Shalawat serta salam
semoga senantiasa terlimpah kepada Rasulullah yang diutus sebagai rahmat
bagi seluruh alam, juga kepada para sahabatnya, dan pengikutnya hingga
hari kiamat. Amma Ba’du.
Ketahuilah, semoga Allah melimpahkan taufik kepada anda, sebelum saya menjelaskan masalah ini anda hendaknya membedakan antara qadha kauniy dan qadha syar’i.
Qadha kauniy adalah takdir, yang terjadi atas kehendak Allah yang segala
sesuatu tunduk pada kekuasaan-Nya. Dan setiap takdir pasti memiliki
hikmah. Allah berfirman:
إِذَا قَضَى أَمْرًا فَإِنَّمَا يَقُولُ لَهُ كُن فَيَكُونُ
“Bila Dia berkehendak (untuk menciptakan) sesuatu, maka (cukuplah) Dia hanya mengatakan kepadanya: “Jadilah”. Lalu jadilah ia” (QS. Al Baqarah: 117)
juga firman-Nya:
وَإِذَا أَرَادَ اللهُ بِقَوْمٍ سُوءًا فَلاَ مَرَدَّ لَهُ وَمَا لَهُم مِّن دُونِهِ مِن وَالٍ
“Dan
apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada
yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka
selain Dia” (QS. Ar Ra’du: 11)
maknanya adalah bahwa Allah Ta’ala sudah lebih dahulu mengetahui apa
yang akan terjadi, dan ketika itu terjadi pasti sesuai dengan apa yang
Allah ketahui. Tidak ada seorang pun hamba yang dipaksa oleh takdir
Allah untuk melakukan ketaatan ataupun maksiat, dan tidak mereka
dikendalikan oleh takdir. Karena ilmu Allah Subhanahu Wa Ta’ala adalah sifat Allah yang berupa inkisyaf (menyingkap yang belum terjadi) dan ihathah (pengetahuan atas segala sesuatu) bukan berupa taf’il (perbuatan) atau ta’tsir (hal yang menghasilkan perubahan). Dan qadha kauniy ini tidak diketahui oleh kita. Oleh karena itu, hamba Allah tidak dihisab berdasarkan qadha kauniy (yaitu karena tidak kita ketahui, -pent.). Namun dengan qadha kauniy ini hamba
Allah dituntut untuk bersyukur jika ternyata ia ditakdirkan mendapatkan
nikmat. Dan dituntut untuk bersabar jika ternyata ia ditakdirkan
mendapatkan keburukan. Oleh karena itu juga, kehendak dan ikhtiar hamba
tidak dilandasi oleh qadha kauniy.
Tidak demikian dengan qadha syar’i.
Kehendak dan ikhtiar hamba berkaitan dengannya. Pembebanan syariat
kepada hamba, berupa perintah dan larangan yang menjadi sumber pahala
dan dosa juga dilandasi oleh qadha syar’i. Allah Subhanahu Wa Ta’ala menampakkan qadha syar’i ini
kepada kita melalui Rasul-Nya dan juga wahyu-Nya (Al Qur’an) untuk
menunjukkan yang halal dan yang haram, juga janji dan ancaman-Nya. Untuk
itu pula Allah memberikan kita kemampuan untuk menjalankannya. Qadha
kauniy terus berlaku pada setiap apa yang terjadi hingga hari kiamat,
qadha syar’i pun tidak lepas darinya. Artinya apa yang ada dalam qadha syar’i, segala sesuatu yang terjadi tetap tidak akan keluar dari qadha kauniy.
Oleh karena itu juga, Allah Ta’ala menginginkan hamba-Nya untuk taat, Ia
memerintahkannya, dan tidak menginginkan hamba-Nya bermaksiat. Ia
melarangnya. Perintah dan larangan tersebut merupakan qadha syar’i yang
hamba dapat berkehendak untuk melakukannya atau tidak, dan tergantung
pada ikhtiarnya. Namun Allah Ta’ala sudah mengetahui sebelumnya bahwa
sebagian mereka akan berikhtiar untuk taat dan menjalani kebenaran, dan
sebagian mereka akan berikhtiar untuk menjalani jalan kesesatan dan
penyimpangan. Lalu Allah menetapkan pahala bagi orang yang taat dan
menetapkan dosa bagi orang yang menyimpang dari kebenaran, sebagai
bentuk qadha kauniy yang
sudah diketahui sebelumnya oleh Allah. Pengetahuan Allah ini bukanlah
pemaksaan dan pengendalian akan apa yang akan dilakukan si hamba dengan
ikhtiar yang dilakukannya. Karena qadha kauniy ini tidak ada yang
mengetahui kecuali Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Oleh karena itu, orang yang bermaksiat tidak boleh berdalih dengan qadha kauniy atas maksiat dan
ketidak-taatan yang ia lakukan. Dan tidak ada seorang pun yang dapat
berhujjah dengannya. Di sisi lain, seseorang tidak boleh meninggalkan
amal karena menggantungkan diri para iradah kauniyah yaitu takdir. Oleh karena itu Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
اعْمَلُوا فَكُلٌّ مُيَّسَّرٌ لِمَا خُلِقَ لَهُ
“Beramalah! karena setiap kalian akan dimudahkan untuk menggapai tujuan ia diciptakan”
lalu beliau membaca ayat:
فَأَمَّا مَن أَعْطَى وَاتَّقَى، وَصَدَّقَ بِالحُسْنَى، فَسَنُيَسِّرُهُ
لِلْيُسْرَى، وَأَمَّا مَن بَخِلَ وَاسْتَغْنَى، وَكَذَّبَ بِالحُسْنَى،
فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْعُسْرَى
“Adapun
orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan
membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka Kami kelak akan
menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan adapun orang-orang yang bakhil
dan merasa dirinya cukup serta mendustakan pahala yang terbaik, maka
kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar” (QS. Al Lail, 5-10) [HR. Bukhari 4949, Muslim 6903]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:
“Takdir bukanlah alasan bagi siapapun di hadapan Allah, juga di hadapan
makhluk-Nya. Andai boleh beralasan dengan takdir dalam melakukan
keburukan, maka orang zhalim tidak layak dihukum, orang musyrik tidak
diperangi, hukuman pidana tidak boleh dijatuhkan, dan seseorang tidak
boleh mnecegah kezhaliman orang lain. Semuga orang paham secara pasti
bahwa ini semua merupakan kerusakan, baik dari segi agama maupun segi
dunia” (Majmu’ah Ar Rasail Al Kubra, 1/353)
والعلمُ عند الله تعالى، وآخر دعوانا أنِ الحمد لله ربِّ العالمين، وصلى
الله على نبيّنا محمّد وعلى آله وصحبه وإخوانه إلى يوم الدين، وسلّم ت
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan Komentar Disini