Posted by Unknown on Selasa, April 14, 2015 in Islami | No comments
Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Sebelumnya di web ini kita pernah mempelajari bersama mengenai mandi yang diwajibkan, mandi yang disunnahkan, serta tata cara mandi. Pada kesempatan kali ini, kita akan lanjutkan dengan permasalahan seputar mandi Jum’at. Semoga bermanfaat bagi pengunjung muslim.or.id sekalian.
Mandi Jum’at disunnahkan menurut mayoritas ulama. Sedangkan ulama lainnya mewajibkan hal ini. [1] Oleh
karena itu, sudah sepantasnya mandi Jum’at tidak ditinggalkan. Inilah
pilihan yang lebih selamat ketika menghadapi perselisihan ulama yang
ada.
Catatan penting yang perlu diperhatikan, mandi Jum’at bukanlah syarat
sahnya shalat Jum’at. Sebagaimana dinyatakan oleh Al Khottobi dan
selainnya bahwa para ulama sepakat (berijma’), mandi Jum’at bukanlah
syarat sahnya shalat Jum’at. Shalat tersebut tetap sah walaupun tanpa
mandi Jum’at.[2]
Mandi Jum’at disyari’atkan bagi orang yang menghadiri shalat Jum’at dan bukan karena hari tersebut adalah hari Jum’at[3]. Sehingga wanita atau anak-anak yang tidak punya kewajiban untuk shalat Jum’at, tidak terkena perintah ini.
Sebagaimana dinukil dari Al Fath,
Az Zain bin Al Munir berkata, “Telah dinukil dari Imam Malik bahwa
siapa saja yang menghadiri shalat Jum’at selain pria, jika ia
menghadirinya dalam rangka mengharap keutamaan, disyari’atkan baginya
mandi dan adab-adab di hari Jum’at lainnya. Akan tetapi, jika
menghadirinya cuma kebetulan saja, seperti ini tidak disyari’atkan”.[4]
An Nawawi dalam Al Majmu’[5] menyatakan,
“Mandi Jum’at adalah sunnah dan bukanlah wajib yang menyebabkan
seseorang jika meninggalkannya menjadi berdosa. Hal ini tidak ada beda
pendapat di antara kami ulama Syafi’iyah. … Mayoritas ulama menyatakan
bahwa siapa saja yang menghadiri shalat Jum’at baik itu pria, wanita,
anak-anak, musafir, budak dan selainnya tetap disunnahkan untuk mandi
Jum’at. Hal inilah yang jelas nampak pada hadits Ibnu ‘Umar. Karena
memang maksud mandi Jum’at adalah untuk membersihkan diri. Mereka yang
disebutkan tadi sama dalam hal ini. Sedangkan orang-orang yang tidak
menghadiri shalat Jum’at, tidak disunnahkan untuk mandi Jum’at –meskipun
ia terkena kewajiban shalat Jum’at (namun ia meninggalkannya karena
udzur, pen)-. Hal ini disebabkan ketika itu maksud untuk mandi Jum’at
telah hilang. Dalam hadits Ibnu ‘Umar disebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
من أتى الجمعة من الرجال والنساء فليغتسل ومن لم يأتها فليس عليه غسل من الرجال والنساء
“Barangsiapa
menghadiri shalat Jum’at baik laki-laki maupun perempuan, maka
hendaklah ia mandi. Sedangkan yang tidak menghadirinya –baik laki-laki
maupun perempuan-, maka ia tidak punya keharusan untuk mandi”. (HR. Al Baihaqi, An Nawawi mengatakan bahwa hadits ini shahih).” Demikian nukilan dari An Nawawi.
Dalil yang menunjukkan disyari’atkannya mandi Jum’at.
إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمْ إِلَى الْجُمُعَةِ فَلْيَغْتَسِلْ
“Jika salah seorang di antara kalian menghadiri shalat Jum’at, maka hendaklah ia mandi.” (HR. Bukhari no. 919 dan Muslim no. 845)
لِلَّهِ تَعَالَى عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ حَقٌّ أَنْ يَغْتَسِلَ فِى كُلِّ سَبْعَةِ أَيَّامٍ يَوْمًا
“Hak Allah yang wajib ditunaikan oleh setiap muslim adalah ia mandi dalam satu hari dalam sepekan dari hari-hari yang ada.”
(HR. Bukhari no. 898 dan Muslim no. 849). Dua dalil ini adalah di
antara sekian dalil yang digunakan untuk menyatakan bahwa mandi Jum’at
itu wajib.
Sedangkan ulama yang menyatakan bahwa mandi Jum’at itu sunnah berdalil dengan dalil-dalil berikut.
مَنْ تَوَضَّأَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَبِهَا وَنِعْمَتْ وَمَنْ اغْتَسَلَ فَالْغُسْلُ أَفْضَلُ
“Barangsiapa berwudhu di hari Jum’at, maka itu baik. Namun barangsiapa mandi ketika itu, maka itu lebih afdhol.”
(HR. An Nasai no. 1380, At Tirmidzi no. 497 dan Ibnu Majah no. 1091).
Hadits ini diho’ifkan oleh sebagian ulama. Sebagian lagi menshahihkannya
semacam Syaikh Al Albani rahimahullah[6].
مَنْ تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ الْوُضُوءَ ثُمَّ أَتَى الْجُمُعَةَ فَاسْتَمَعَ
وَأَنْصَتَ غُفِرَ لَهُ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْجُمُعَةِ وَزِيَادَةُ
ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ وَمَنْ مَسَّ الْحَصَى فَقَدْ لَغَا
“Barang
siapa berwudhu’ kemudian menyempurnakan wudhu’nya lalu mendatangi
shalat Jum’at, lalu dia mendekat, mendengarkan serta berdiam diri (untuk
menyimak khutbah), maka akan diampuni dosa-dosanya di antara hari itu
sampai Jum’at (berikutnya) dan ditambah tiga hari setelah itu. Barang
siapa yang bermain kerikil, maka ia telah melakukan perbuatan sia-sia.”(HR. Muslim no. 857). Ulama yang menyatakan bahwa mandi Jum’at itu sunnah berargumen bahwa dalam hadits ini
hanya menyatakan wudhu, tidak disebutkan mandi. Alasan semacam ini pun
dibantah oleh ulama yang menyatakan wajib dengan dalil yang sama,
diriwayatkan oleh Imam Muslim dengan lafazh,
مَنِ اغْتَسَلَ ثُمَّ أَتَى الْجُمُعَةَ فَصَلَّى مَا قُدِّرَ لَهُ ثُمَّ
أَنْصَتَ حَتَّى يَفْرُغَ مِنْ خُطْبَتِهِ ثُمَّ يُصَلِّىَ مَعَهُ غُفِرَ
لَهُ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْجُمُعَةِ الأُخْرَى وَفَضْلَ ثَلاَثَةِ
أَيَّامٍ
“Barangsiapa
yang mandi kemudian mendatangi Jum’at, lalu ia shalat semampunya dan
diam (mendengarkan khutbah) hingga selesai, kemudian ia lanjutkan dengan
shalat bersama Imam, maka akan diampuni (dosa-dosa yang dilakukannya)
antara hari itu dan hari jum’at yang lain. Dan bahkan hingga lebih tiga
hari.” (HR. Muslim no. 857). Sehingga dari lafazh kedua ini (مَنِ اغْتَسَلَ) tidak benar jika dikatakan bahwa cukup dengan wudhu.
Intinya, hukum mandi Jum’at apakah wajib ataukah sunnah, lebih selamat kita tidak meninggalkannya. Karena pendapat yang menyatakan wajib nampak lebih kuat. Wallahu a’lam.
Sejak kapan waktu mandi Jum’at?
An Nawawi rahimahullah menjelaskan,
“Jika seseorang mandi Jum’at sebelum terbit fajar (sebelum masuk waktu
Shubuh, pen), maka mandi Jum’atnya tidak sah menurut pendapat terkuat
dari ulama Syafi’iyah, seperti ini pula dikatakan oleh mayoritas ulama.
Namun Al Auza’i menganggapnya sah.”
An Nawawi rahimahullah kembali
melanjutkan, “Jika seseorang mandi setelah terbit fajar, maka mandi
Jum’atnya sah menurut ulama Syafi’iyah dan mayoritas ulama. Demikian
dinyatakan oleh Ibnul Mundzir, Al Hasan Al Bashri, Mujahid, An Nakho’i,
Ats Tsauri, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur. Sedangkan Imam Malik berpendapat
bahwa mandi Jum’at tidak sah kecuali dilakukan ketika hendak berangkat
shalat Jum’at. Namun para ulama tadi menyatakan bahwa mandi Jum’at
sebelum terbit fajar tidaklah sah, dan yang menyatakan sah hanyalah Al
Auza’i. Al Auza’i menyatakan bahwa boleh mandi sebelum fajar bagi yang
ingin mandi junub dan mandi Jum’at.”[7]
Al Bahuti Al Hambali rahimahullah mengatakan,
“Awal mandi Jum’at adalah ketika terbit fajar dan tidak boleh
sebelumnya. Namun yang paling afdhol adalah ketika hendak berangkat shalat Jum’at. Inilah yang lebih mendekati maksud.”[8]
Apakah mandi Jum’at boleh digabungkan dengan mandi junub?
An Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Jika seseorang meniatkan mandi junub dan mandi Jum’at sekaligus, maka maksud tersebut dibolehkan.”[9]
Ibnu Qudamah Al Maqdisi rahimahullah mengatakan,
“Mandi Jum’at dan mandi junub boleh dalam satu niat dan satu kali
mandi. Kami tidak mengetahui adanya beda pendapat dalam masalah ini.”[10]
Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan,
“Jika seseorang meniatkan mandi junub, maka mandi Jum’at bisa tercakup
di dalamnya asalkan mandi junub tersebut dilakukan setelah terbit
matahari. Jika ia meniatkan kedua mandi tersebut sekaligus, maka itu
dibolehkan dan ia akan mendapatkan pahala keduanya. Jika ia meniatkan
mandi Jum’at saja, maka mandi junub tidak bisa tercakup di dalamnya.
Karena mandi Jum’at itu wajib meskipun tidak berhadats. Sedangkan mandi
junub itu wajib karena adanya hadats. Oleh karena itu, mandi Jum’at ini
harus diniatkan untuk menghilangkan hadats (yaitu diniatkan sekaligus
untuk mandi junub, pen). Sebagian ulama mengharuskan untuk mandi dua
kali, namun pendapat ini tidak berdalil sama sekali. ”[11]
Semoga
sajian ini bermanfaat. Segala puji bagi Allah atas nikmat-Nya segala
kebaikan menjadi sempurna. Shalawat dan salam kepada Nabi kita
Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
—
[1] Lihat Nailul Author, Muhammad bin ‘Ali Asy Syaukani, 2/100, Mawqi’ Al Islam.
[2] Lihat –idem-.
[3] Lihat Ar Roudhotun Nadiyah, hal. 83.
[4] Lihat Fathul Bari, 2/357.
[5] Al Majmu’, Abu Zakaria Yahya bin Syarf An Nawawi, 4/533, Mawqi’ Ya’sub.
[6] Lihat Shahih Ibnu Majah no. 1091.
[7] Al Majmu’, 4/536.
[8] Kasyaful Qona’ ‘an Matnil Iqna’, Al Bahuti, 1/415, Mawqi’ Al Islam.
[9] Al Majmu’, 1/326.
[10] Al Mughni, Ibnu Qudamah Al Maqdisi, 2/199, Darul Fikr, cetakan pertama, 1405.
[11] Majmu’ Fatawa wa Rosail Ibnu ‘Utsaimin, 16/86, Asy Syamilah.
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan Komentar Disini