Posted by Unknown on Sabtu, April 11, 2015 in Islami | No comments
“Kalaupun dia tidak memiliki kebutuhan biologis, tetap sangat berat baginya untuk hidup sebatang kara di dalam rumah,” dawuh Imam Ghazali dalam Ihya’ ketika berbicara mengenai bangunan rumah tangga ideal dalam pandangan syariat dan tasawuf.
Istri adalah pendamping hidup yang di anugerahi keterampilan untuk menyelesaikan banyak hal yang tidak akrab dengan suami. Misalnya, berbagai macam pekerjaan rumah tangga dan pengasuhan anak. Penanggung jawab formal dari semua itu secara syariat adalah suami. Padahal, suami pada umumnya tidak memiliki keterampilan untuk menangani tugas-tugas tersebut. Kenapa demikian? Boleh jadi, agar istri punya kesempatan untuk meraih pahala besar, dengan berbakti, menjadi pembantu agama bagi istrinya.
“Dengan jalan ini, istri salehah merupakan pembantu agama bagi suami di rumah. Tanpa peran istri, akan banyak hal yang banyak mengganggu hati dan membuat hidupnya menjadi serba menyesakkan.” Demikian dawuh Imam Ghazali dalam Ihya’. Terkait dengan itu, beliau mengutip pernyataan abu Sulaiman ad-Darani, “Istri salehah tidak termasuk urusan duniawi, karena dia justru membuat terfokus untuk akhirat.
Ada beberapa tokoh sufi yang memiliki istri yang juga sufi, sehingga
aura akhirat bersinar sangat benderang dari atap rumah tangganya, dan
nuansa duniawi nyaris berada pada titik nol. Misalnya,yang sangat
terkenal dalam khasanah tasawuf, adalah pasangan Syekh Ahmad bin Abil
Hawari dengan Rabiah asy-Syamiyah.
Mereka hidup di Damaskus pada awal Abad Ketiga Hijriyah. Mereka
sama-sama dikenal sebagai tokoh sufi. Rabiah dikenal dengan pengabdian
sufistiknya terhadap sang suami. Dalam kisah-kisah pengabdian Rabiah
bertebaran kilau-kilau religius yang mempesona.
Secara fisik Rabiah sering sibuk di dapur, tapi hati dan pikirannya
berisi Allah. Maka, konon, saat menyuguhkan masakannya kepada sang
suami, Rabiah mempersilahkan dengan kalimat, “Suamiku, makanlah. Makanan
ini tidaklah masak melainkan dengan kalimat tasbih.”
Rabiah sering membuatkan masakan-masakan kejantanan, lalu memberikan
pakaian-pakaian yang bagus dan harum kepada Ibnu Abil Hawari. Setelah
itu ia bilang, “Suamiku, sekarang datangilah istrimu yang lain. Bawalah
seluruh semangat kejantananmu.”
Meski Rabiah sering bilang seperti itu, bukan berarti tak ada cinta yang
bersemai di hatinya. Ia sangat mencintai Ibnu Abil Hawari, tapi bukan
cinta asmara, melainkan cinta karena ikatan kebenaran. “Aku sangat
mencintaimu, tapi bukan cinta istri kepada suaminya, melainkan cinta
orang-orang yang saling bersaudara.” katanya kepada Ibnu Abil Hawari.
Hati dan pikiran Rabiah memang selalu senantiasa tertuju kepada Allah.
Dia tidak memiliki kepentingan duniawi atas suaminya. Ahmad bin Abil
Hawari pernah bercerita: suatu ketika aku memanggil Rabiah, tapi dia
tidak menjawab. Ia baru menjawab beberapa saat kemudian. Ia berkata
“Suamiku, hatiku sedang dikuasai rasa gembira dengan Allah. Akhirnya aku
tak mampu menjawab panggilanmu.”
Jauh sebelum Ibnu Abil Hawari, ada Shilah bin Asyim, sufi masyhur dari
kalangan tabiin yang membangun rumah tangga dengan Muadzah al-Adawiyah,
tokoh sufi perempuan di Basrah. Saat malam pertama, sepupu Shilah
menyediakan pemandian air panas untuk mereka dan menyiapkan kamar
pengantin yang indah dan harum. Tapi, yang terjadi, Shilah dan Muadzah
justru melewatkan malam penting itu dengan beribadah semalam suntuk.
Mereka salat hingga pagi tiba.
Mengetahui akan hal itu, sepupu Shilah sangat kecewa. Ia datang
menghardiknya. Maka, Shilah bin Hasyim angkat bicara, “Tadi malam engkau
sediakan untukku pemandian yang membuatku mengingat neraka. Lalu, kau
masukkan aku ke kamar yang membuatku mengingat surga. Maka, surga dan
neraka itu memenuhi pikiranku hingga pagi hari.”
Dari perkawinan itu, Shilah dan Muadzah dikaruniai seorang putra. Ketika
ia sudah dewasa, Shilah membawanya mengikuti sebuah perang. Mereka
sama-sama gugur di sana. Mendengar hal itu, perempuan-perempuan di
Basrah mendatangi rumah Muadzah untuk menyampaikan belasungkawa. Muadzah
menyambut mereka. “Aku ucapkan selamat datang jika kalian ke sini untuk
mengucapkan selamat kepadaku. Kalau bukan untuk itu, pulanglah kalian…
Setelah ini aku tidak menyukai hidup melainkan sebagai perantara untuk
mendekat kepada Allah. Semoga Allah mengumpulkan aku dengan suami dan
anakku di surga.”
Itulah pernik kisah dalam rumah tangga ideal bagi para sufi. Sebenarnya,
untuk focus kepada Allah, tak sedikit tokoh-tokoh sufi yang memilih
hidup membujang. Tapi, merekapun mungkin akan menikah jika mendapatkan
istri seperti itu. Istri yang akan benar-benar menjadi pendukung,
pemberi semangat, teman dan pembantu bagi suami agar mencurahkan seluruh
waktunya untuk Allah. Istri yang membuat mereka semakin leluasa
mencurahkan hati dan pikirannya untuk akhirat, seperti telah ditegaskan
oleh Abu Sulaiman ad-Darani tentang istri salehah. Yâ Habbadzâh!
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan Komentar Disini