Posted by Unknown on Sabtu, April 18, 2015 in Islami | No comments
Bulan ini merupakan bulan bersejarah bagi umat Islam. Pasalnya, di bulan
ini kaum muslimin dari berbagai belahan dunia melaksanakan rukun Islam
yang kelima. Ibadah haji adalah
ritual ibadah yang mengajarkan persamaan di antara sesama. Dengannya,
Islam tampak sebagai agama yang tidak mengenal status sosial. Kaya,
miskin, pejabat, rakyat, kulit hitam ataupun kulit putih semua memakai
pakaian yang sama. Bersama-sama melakukan aktivitas yang sama pula yakni
manasik haji.
Selain ibadah haji, pada bulan ini umat Islam merayakan hari raya Idul
Adha. Lantunan takbir diiringi tabuhan bedug menggema menambah
semaraknya hari raya. Suara takbir bersahut-sahutan mengajak kita untuk
sejenak melakukan refleksi bahwa tidak ada yang agung, tidak ada yang
layak untuk disembah kecuali Allah, Tuhan semesta alam.
Pada hari itu, kaum muslimin selain dianjurkan melakukan shalat sunnah dua rekaat, juga dianjurkan untuk menyembelih binatang kurban bagi
yang mampu. Anjuran berkurban ini bermula dari kisah penyembelihan Nabi
Ibrahim kepada putra terkasihnya yakni Nabi Ismail.
Peristiwa ini memberikan kesan yang mendalam bagi kita. Betapa tidak.
Nabi Ibrahim yang telah menunggu kehadiran buah hati selama
bertahun-tahun ternyata diuji Tuhan untuk menyembelih putranya sendiri.
Nabi Ibrahim dituntut untuk memilih antara melaksanakan perintah Tuhan
atau mempertahankan buah hati dengan konsekuensi tidak mengindahkan
perintahNya. Sebuah pilihan yang cukup dilematis. Namun karena didasari
ketakwaan yang kuat, perintah Tuhanpun dilaksanakan. Dan pada akhirnya,
Nabi Ismail tidak jadi disembelih dengan digantikan seekor domba.
Legenda mengharukan ini diabadikan dalam al Quran surat al Shaffat ayat
102-109.
Kisah tersebut merupakan potret puncak kepatuhan seorang hamba kepada
Tuhannya. Nabi Ibrahim mencintai Allah melebihi segalanya, termasuk
darah dagingnya sendiri. Kecintaan Nabi Ibrahim terhadap putra
kesayangannya tidak menghalangi ketaatan kepada Tuhan. Model ketakwaan
Nabi Ibrahim ini patut untuk kita teladani.
Dari berbagai media, kita bisa melihat betapa budaya korupsi masih
merajalela. Demi menumpuk kekayaan rela menanggalkan ”baju” ketakwaan.
Ambisi untuk meraih jabatan telah memaksa untuk rela menjebol
”benteng-benteng” agama. Dewasa ini, tata kehidupan telah banyak yang
menyimpang dari nilai-nilai ketuhanan. Dengan semangat Idul Adha, mari
kita teladani sosok Nabi Ibrahim. Berusaha memaksimalkan rasa patuh dan
taat terhadap ajaran agama.
Di samping itu, ada pelajaran berharga lain yang bisa dipetik dari kisah
tersebut. Sebagaimana kita ketahui bahwa perintah menyembelih Nabi
Ismail ini pada akhirnya digantikan seekor domba. Pesan tersirat dari adegan ini adalah ajaran Islam yang begitu menghargai betapa pentingnya nyawa manusia.
Hal ini senada dengan apa yang digaungkan Imam Syatibi dalam magnum
opusnya al Muwafaqot. Menurut Syatibi, satu diantara nilai universal
Islam (maqoshid al syari’ah) adalah agama menjaga hak hidup (hifdzu al
nafs). Begitu pula dalam ranah fikih, agama mensyari’atkan qishosh,
larangan pembunuhan dll. Hal ini mempertegas bahwa Islam benar-benar
melindungi hak hidup manusia. (hlm.220 )
Nabi Ismail rela mengorbankan dirinya tak lain hanyalah demi mentaati
perintahNya. Berbeda dengan para teroris dan pelaku bom bunuh diri.
Apakah pengorbanan yang mereka lakukan benar-benar memenuhi perintah
Tuhan demi kejayaan Islam atau justru sebaliknya?.
Para teroris dan pelaku bom bunuh diri jelas tidak sesuai dengan nilai
universal Islam. Islam menjaga hak untuk hidup, sementara mereka—dengan
aksi bom bunuh diri— justru mencelakakan dirinya sendiri. Di samping
itu, mereka juga membunuh rakyat sipil tak bersalah, banyak korban tak
berdosa berjatuhan. Lebih parah lagi, mereka bukan membuat Islam
berwibawa di mata dunia, melainkan menjadikan Islam sebagai agama yang
menakutkan, agama pedang dan sarang kekerasan. Akibat aksi nekat mereka
ini justru menjadikan Islam laksana ”raksasa” kanibal yang haus darah
manusia.
Imam Ghazali dalam Ihya ’Ulumuddin pernah menjelaskan tentang tata cara
melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Menurutnya, tindakan dalam bentuk
aksi pengrusakan, penghancuran tempat kemaksiatan adalah wewenang negara
atau badan yang mendapatkan legalitas negara. Tindakan yang dilakukan
Islam garis keras dalam hal ini jelas tidak prosedural. (vol.2 hlm.311)
Sudah semestinya dalam melakukan amar makruf nahi munkar tidak sampai
menimbulkan kemunkaran yang lebih besar. Bukankah tindakan para teroris
dan pelaku bom bunuh diri ini justru merugikan terhadap Islam itu
sendiri ?. Merusak citra Islam yang semestinya mengajarkan kedamaian dan
rahmatan lil ’alamin. Ajaran Islam yang bersifat humanis, memahami
pluralitas dan menghargai kemajemukan semakin tak bermakna.
Semoga dengan peristiwa eksekusi mati Amrozi cs, mati pula radikalisme
Islam, terkubur pula Islam yang berwajah seram. Pengorbanan Nabi Ismail
yang begitu tulus menjalankan perintahNya jelas berbeda dengan
pengorbanan para teroris.
Di hari Idul Adha,
bagi umat Islam yang mampu dianjurkan untuk menyembelih binatang
kurban. Pada dasarnya, penyembelihan binatang kurban ini mengandung dua
nilai yakni kesalehan ritual dan kesalehan sosial. Kesalehan ritual
berarti dengan berkurban, kita telah melaksanakan perintah Tuhan yang
bersifat transedental. Kurban dikatakan sebagai kesalehan sosial karena
selain sebagai ritual keagamaan, kurban juga mempunyai dimensi
kemanusiaan.
Bentuk solidaritas kemanusiaan ini termanifestasikan secara jelas dalam
pembagian daging kurban. Perintah berkurban bagi yang mampu ini
menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang respek terhadap fakir-miskin
dan kaum dhu’afa lainnya. Dengan disyari’atkannya kurban, kaum muslimin
dilatih untuk mempertebal rasa kemanusiaan, mengasah kepekaan terhadap
masalah-masalah sosial, mengajarkan sikap saling menyayangi terhadap
sesama.
Meski waktu pelaksanaan penyembelihan kurban dibatasi (10-13
Dzulhijjah), namun jangan dipahami bahwa Islam membatasi solidaritas
kemanusiaan. Kita harus mampu menangkap makna esensial dari pesan yang
disampaikan teks, bukan memahami teks secara literal. Oleh karenanya,
semangat untuk terus ’berkurban’ senantiasa kita langgengkan pasca Idul Adha.
Saat ini kerap kita jumpai, banyak kaum muslimin yang hanya berlomba
meningkatkan kualitas kesalehan ritual tanpa diimbangi dengan kesalehan
sosial. Banyak umat Islam yang hanya rajin shalat, puasa
bahkan mampu ibadah haji berkali-kali, namun tidak peduli dengan
masyarakat sekitarnya. Sebuah fenomena yang menyedihkan. Mari kita
jadikan Idul Adha sebagai momentum untuk meningkatkan dua kesalehan sekaligus yakni kesalehan ritual dan kesalehan sosial. Selamat berhari raya !
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan Komentar Disini