Posted by Unknown on Selasa, April 14, 2015 in Islami | No comments
Termasuk di antara keluasan dan kemudahan dalam syari’at Islam, Allah
-Subhanahu wa Ta’ala- menghalalkan semua makanan [1] yang mengandung
maslahat dan manfaat, baik yang kembalinya kepada ruh maupun jasad, baik
kepada individu maupun masyarakat. Demikian pula sebaliknya Allah
mengharamkan semua makanan yang memudhorotkan atau yang mudhorotnya
lebih besar daripada manfaatnya. Hal ini tidak lain untuk menjaga
kesucian dan kebaikan hati, akal, ruh, dan jasad, yang mana baik atau
buruknya keempat perkara ini sangat ditentukan -setelah hidayah dari
Allah- dengan makanan yang masuk
ke dalam tubuh manusia yang kemudian akan berubah menjadi darah dan
daging sebagai unsur penyusun hati dan jasadnya. Karenanya Nabi
-Shallallahu ‘alaihi wasallam- pernah bersabda:
أَيُّمَا لَحْمٍ نَبَتَ مِنَ الْحَرَامِ فَالنَّارُ أَوْلَى لَهُ
“Daging mana saja yang tumbuh dari sesuatu yang haram maka neraka lebih pantas untuknya”.
Makanan yang haram dalam Islam ada dua jenis:
1. Ada yang diharamkan karena dzatnya. Maksudnya asal dari makanan tersebut memang sudah haram, seperti: bangkai, darah, babi, anjing, khamar, dan selainnya.
2. Ada yang diharamkan karena suatu sebab yang tidak berhubungan dengan dzatnya. Maksudnya asal makanannya adalah halal, akan tetapi dia menjadi haram karena adanya sebab yang tidak berkaitan dengan makanan tersebut. Misalnya: makanan dari hasil mencuri, upah perzinahan, sesajen perdukunan, makanan yang disuguhkan dalam acara-acara yang bid’ah, dan lain sebagainya.
1. Ada yang diharamkan karena dzatnya. Maksudnya asal dari makanan tersebut memang sudah haram, seperti: bangkai, darah, babi, anjing, khamar, dan selainnya.
2. Ada yang diharamkan karena suatu sebab yang tidak berhubungan dengan dzatnya. Maksudnya asal makanannya adalah halal, akan tetapi dia menjadi haram karena adanya sebab yang tidak berkaitan dengan makanan tersebut. Misalnya: makanan dari hasil mencuri, upah perzinahan, sesajen perdukunan, makanan yang disuguhkan dalam acara-acara yang bid’ah, dan lain sebagainya.
Satu hal yang sangat penting untuk diyakini oleh setiap muslim adalah
bahwa apa-apa yang Allah telah halalkan berupa makanan, maka disitu ada
kecukupan bagi mereka (manusia) untuk tidak mengkonsumsi makanan yang
haram.
[Muqaddimah Al-Luqothot fima Yubahu wa Yuhramu minal Ath'imah wal Masyrubat dan muqaddimah Al-Ath'imah karya Al-Fauzan]
Sebelum kita menyebutkan satu persatu makanan dan minuman yang
disebutkan dalam Al-Qur`an dan Sunnah beserta hukumnya masing-masing,
maka untuk lebih membantu memahami pembahasan, kami dahului dengan
beberapa pendahuluan.
* Pendahuluan Pertama: Asal dari semua makanan adalah boleh dan halal sampai ada dalil yang menyatakan haramnya.
Allah -Ta’ala- berfirman:
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا
“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu”. (QS. Al-Baqarah: 29)
Ayat ini menunjukkan bahwa segala sesuatu -termasuk makanan- yang ada di
bumi adalah nikmat dari Allah, maka ini menunjukkan bahwa hukum asalnya
adalah halal dan boleh, karena Allah tidaklah memberikan nikmat kecuali
yang halal dan baik.
Dalam ayat yang lain:
وَقَدْ فَصَّلَ لَكُمْ مَا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ إِلَّا مَا اضْطُرِرْتُمْ إِلَيْهِ
“Sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang
diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya”. (QS.
Al-An’am: 119)
Maka semua makanan yang tidak ada pengharamannya dalam syari’at berarti adalah halal [2].
Faidah:
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyatakan, “Hukum asal padanya (makanan) adalah halal bagi seorang muslim yang beramal sholeh, karena Allah -Ta’ala- tidaklah menghalalkan yang baik-baik kecuali bagi siapa yang akan menggunakannya dalam ketaatan kepada-Nya, bukan dalam kemaksiatan kepada-Nya. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala:
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyatakan, “Hukum asal padanya (makanan) adalah halal bagi seorang muslim yang beramal sholeh, karena Allah -Ta’ala- tidaklah menghalalkan yang baik-baik kecuali bagi siapa yang akan menggunakannya dalam ketaatan kepada-Nya, bukan dalam kemaksiatan kepada-Nya. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala:
لَيْسَ عَلَى الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ جُنَاحٌ فِيمَا
طَعِمُوا إِذَا مَا اتَّقَوْا وَءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ
“Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan
yang saleh karena memakan makanan yang telah mereka makan dahulu,
apabila mereka bertakwa serta beriman, dan mengerjakan amalan-amalan
yang saleh”. (QS. Al-Ma`idah: 93)
Karenanya tidak boleh menolong dengan sesuatu yang mubah jika akan
digunakan untuk maksiat, seperti memberikan daging dan roti kepada orang
yang akan minum-minum khamar atau akan menggunakannya dalam kejelekan”
[3].
* Pendahuluan Kedua: Manhaj Islam dalam penghalalan dan pengharaman
makanan adalah “Islam menghalalkan semua makanan yang halal, suci, baik,
dan tidak mengandung mudhorot, demikian pula sebaliknya Islam
mengharamkan semua makanan yang haram, najis atau ternajisi, khobits
(jelek), dan yang mengandung mudhorot”.
Manhaj ini ditunjukkan dalam beberapa ayat, di antaranya:
يَاأَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الْأَرْضِ حَلَالًا طَيِّبًا
“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi”. (QS. Al-Baqarah: 168)
Dan Allah mensifatkan Nabi Muhammad dalam firman-Nya:
وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ
“Dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk”. (QS. Al-A’raf: 157)
Allah melarang melakukan apa saja -termasuk memakan makanan- yang bisa memudhorotkan diri, dalam firman-Nya:
وَلاَ تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ
“Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan”. (QS. Al-Baqarah: 195)
Juga sabda Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-:
لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ
“Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh membahayakan orang lain”.
Karenanya diharamkan mengkonsumsi semua makanan dan minuman yang bisa
memudhorotkan diri -apalagi kalau sampai membunuh diri- baik dengan
segera maupun dengan cara perlahan. Misalnya: racun, narkoba dengan
semua jenis dan macamnya, rokok, dan yang sejenisnya.
Adapun makanan yang haram karena diperoleh dari cara yang haram, maka Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- telah bersabda:
إِنَّ دِمَائَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ عَلَيْكُمْ حَرَامٌ
“Sesungguhnya darah-darah kalian, harta-harta kalian, dan
kehormatan-kehormatan kalian antara sesama kalian adalah haram”. (HR.
Al-Bukhary dan Muslim)
Faidah:
1. Makna makanan yang najis adalah jelas, adapun makanan yang ternajisi,
contohnya adalah mentega yang kejatuhan tikus. Hukumnya sebagaimana
yang disebutkan dalam hadits Maimunah -radhiallahu ‘anha- bahwa Nabi
-Shallallahu ‘alaihi wasallam- ditanya tentang lemak yang kejatuhan
tikus, maka beliau bersabda:
أُلْقُوْهَا, وَمَا حَوْلَهَا فَاطْرَحُوْهُ، وَكُلُوْا سَمَنَكُمْ
“Buanglah tikusnya dan buang juga lemak yang berada di sekitarnya lalu makanlah lemak kalian”. (HR. Al-Bukhary)
Jadi jika yang kejatuhan najis adalah makanan padat, maka cara
membersihkannya adalah dengan membuang najisnya dan makanan yang ada di
sekitarnya, adapun sisanya boleh untuk dimakan. Akan tetapi jika yang
kejatuhan najis adalah makanan yang berupa cairan, maka hukumnya
dirinci; jika najis ini merubah salah satu dari tiga sifatnya (bau,
rasa, dan warna) maka makanannya dihukumi najis sehingga tidak boleh
dikonsumsi, demikian pula sebaliknya.
2. Makanan yang jelek (arab: khobits) ada dua jenis; yang jelek karena
dzatnya -seperti: darah, bangkai, dan babi- dan yang jelek karena salah
dalam memperolehnya -seperti: hasil riba dan perjudian-. Lihat Majmu’
Al-Fatawa (20/334).
3. Adapun ukuran kapan suatu makanan dianggap thoyyib (baik) atau
khobits (jelek), maka hal ini dikembalikan kepada syari’at. Maka apa-apa
yang dihalalkan oleh syari’at maka dia adalah thoyyib dan apa-apa yang
diharamkan oleh syari’at maka dia adalah khabits, ini adalah madzhab
Malikiyah dan yang dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
sebagaimana yang akan nampak dalam ucapan beliau.
Adapun jumhur ulama, mereka mengatakan bahwa yang menjadi ukuran dalam
penentuannya adalah orang-orang Arab, karena kepada merekalah asalnya
diturunkan Al-Qur`an sehingga mereka yang secara langsung diajak bicara
oleh syari’at. Lihat Hasyiyah Ibni ‘Abidin (5/194), Al-Majmu’ (9/25-26),
dan Asy-Syarhul Kabir (11/64).
Hanya saja ini (pendapat jumhur) adalah pendapat yang kurang kuat,
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata dalam menjelaskan makna firman
Allah -Ta’ala-:
يَسْأَلُونَكَ مَاذَا أُحِلَّ لَهُمْ قُلْ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ
“Mereka menanyakan kepadamu: “Apakah yang dihalalkan bagi mereka?”
Katakanlah: “Dihalalkan bagimu yang baik-baik.”. (QS. Al-Maidah: 4)
Beliau berkata, “Seandainya makna “yang baik” di sini adalah apa yang
dihalalkan, maka tentunya kalimat ini tidak ada faidahnya4. Maka dari
sini diketahuilah bahwa thoyyib dan khobits adalah sifat yang berada
pada sebuah benda, dan bukan yang diinginkan dengannya (thoyyib) sekedar
kelezatan dalam memakannya. Karena terkadang seorang manusia menikmati
(merasa lezat) dengan apa yang membahayakan dirinya yang berupa racun
[5], atau menikmati apa yang dilarang oleh dokter [6]. Dan bukan pula
yang diinginkan darinya (thoyyib) dengan merasa nikmatnya sebagian
bangsa -misalnya bangsa Arab- terhadap suatu makanan, dan bukan pula
dianggap thoyyib karena keberadaannya sebagai makanan yang biasa dimakan
(dinikmati) oleh orang-orang Arab. Hal itu karena, keberadaan suatu
makanan biasa dimakan dan disenangi oleh sebagian bangsa atau sebaliknya
mereka tidak menyukainya karena makanan itu tidak ada di negerinya,
(semua ini) tidaklah mengharuskan Allah mengharamkan sebuah makanan
kepada segenap kaum mu`minin dengan alasan mereka (sebagian bangsa)
tidak terbiasa dengannya sebagaimana tidak mengharuskan Allah
menghalalkan suatu makanan kepada segenap kaum mu`minin dengan alasan
mereka (sebagian bangsa) terbiasa dengannya. Bagaimana tidak, padahal
orang-orang Arab (dahulu) telah terbiasa (menyukai) dengan memakan
darah, bangkai, dan selainnya padahal semuanya telah diharamkan oleh
Allah -Ta’ala-. …. . Demikian halnya Quraisy, mereka memakan yang
khobits yang telah Allah haramkan dan sebaliknya mereka tidak menyukai
makanan-makanan yang Allah tidak mengharamkannya”. -Lalu beliau
membawakan hadits yang menunjukkan Nabi tidak makan biawak, bukan karena
dia haram akan tetapi karena beliau tidak biasa memakannya [7]-. “Maka
dari sini jelaslah bahwa ketidaksukaan suku Quraisy dan selainnya (dari
bangsa Arab) terhadap sebuah makanan tidaklah mengharuskan (baca:
menunjukkan) pengharaman makanan tersebut atas segenap kaum mu`minin
baik yang Arab maupun yang ajam (non-Arab). Dan juga sesungguhnya Nabi
-Shallallahu ‘alaihi wasallam- dan para sahabat beliau, tidak seorangpun
di antara mereka yang mengharamkan makanan yang tidak disukai oleh
orang Arab dan sebaliknya tidak pernah membolehkan apa yang (biasa)
dimakan oleh orang Arab” [8].
* Pendahuluan Ketiga: Makanan manusia sec`ra umum ada dua jenis:
1. Selain hewan, terdiri dari tumbuh-tumbuhan, buah-buahan, benda-benda
(roti, kue dan sejenisnya), dan yang berupa cairan (air dengan semua
bentuknya).
Ibnu Hubairah -rahimahullah- dalam Al-Ifshoh (2/453) menukil kesepakatan
ulama akan halalnya jenis ini kecuali yang mengandung mudhorot.
2. Hewan, yang terdiri dari hewan darat dan hewan air.
Hewan darat juga terbagi menjadi dua;
1. Jinak, yaitu semua hewan yang hidup di sekitar manusia dan diberi makan oleh manusia, seperti: hewan ternak
2. Liar, yaitu semua hewan yang tinggal jauh dari manusia dan tidak diberi makan oleh manusia, baik dia buas maupun tidak. Seperti: singa, kelinci, ayam hutan, dan sejenisnya.
1. Jinak, yaitu semua hewan yang hidup di sekitar manusia dan diberi makan oleh manusia, seperti: hewan ternak
2. Liar, yaitu semua hewan yang tinggal jauh dari manusia dan tidak diberi makan oleh manusia, baik dia buas maupun tidak. Seperti: singa, kelinci, ayam hutan, dan sejenisnya.
Hukum hewan darat dengan kedua bentuknya adalah halal kecuali yang
diharamkan oleh sy`ri’at [9], yang rinciannya insya Allah akan datang
satu persatu.
Hewan air juga terbagi menjadi 2:
1. Hewan yang hidup di air yang jika dia keluar darinya akan segera mati, contohnya adalah ikan dan yang sejenisnya.
2. Hewan yang hidup di dua alam, seperti buaya dan kepiting [10].
1. Hewan yang hidup di air yang jika dia keluar darinya akan segera mati, contohnya adalah ikan dan yang sejenisnya.
2. Hewan yang hidup di dua alam, seperti buaya dan kepiting [10].
Hukum hewan air bentuk yang pertama, -menurut pendapat yang paling kuat-
adalah halal untuk dimakan secara mutlak. Ini adalah pendapat
Al-Malikiyah dan Asy-Syafi’iyah, mereka berdalilkan dengan keumuman
dalil dalam masalah ini, di antaranya adalah firman Allah -Ta’ala-:
أُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ الْبَحْرِ وَطَعَامُهُ
“Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu” (QS. Al-Ma`idah: 96)
“Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu” (QS. Al-Ma`idah: 96)
Adapun bangkainya maka ada rincian dalam hukumnya:
1. Jika dia mati dengan sebab yang jelas, misalnya: terkena lemparan
batu, disetrum, dipukul, atau karena air surut, maka hukumnya adalah
halal berdasarkan kesepakatan para ulama. Lihat Al-Mughny ma’a
Asy-Syarhul Kabir (11/195)
2. Jika dia mati tanpa sebab yang jelas, hanya tiba-tiba diketemukan mengapung di atas air, maka dalam hukumnya ada perselisihan. Yang kuat adalah pendapat jumhur dari kalangan Imam Empat kecuali Imam Malik, mereka menyatakan bahwa hukumnya tetap halal. Mereka berdalilkan dengan keumuman sabda Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam-:
2. Jika dia mati tanpa sebab yang jelas, hanya tiba-tiba diketemukan mengapung di atas air, maka dalam hukumnya ada perselisihan. Yang kuat adalah pendapat jumhur dari kalangan Imam Empat kecuali Imam Malik, mereka menyatakan bahwa hukumnya tetap halal. Mereka berdalilkan dengan keumuman sabda Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam-:
هُوَ الطَّهُوْرُ مَاؤُهُ, اَلْحِلُّ مَيْتَتُهُ
“Dia (laut) adalah pensuci airnya dan halal bangkainya”. (HR. Abu Daud,
At-Tirmidzy, An-Nasa`iy, dan Ibnu Majah dan dishohihkan oleh Imam
Al-Bukhary). Lihat At-Talkhish (1/9)
[Al-Bidayah (1/345), Asy-Syarhul Kabir (2/115), Mughniyul Muhtaj
(4/291), dan Al-Majmu' (9/32,33), Al-Mughny ma'a Asy-Syarhul Kabir
(11/84,195]
Adapun bentuk yang kedua dari hewan air, yaitu hewan yang hidup di dua
alam, maka pendapat yang paling kuat adalah pendapat Asy-Syafi’iyah yang
menyatakan bahwa seluruh hewan yang hidup di dua alam -baik yang masih
hidup maupun yang sudah jadi bangkai- seluruhnya adalah halal kecuali
kodok. Dikecualikan darinya kodok karena ada hadits yang mengharamkannya
[11]. Lihat Al-Majmu’ (9/32-33)
Setelah memahami ketiga pendahuluan di atas, maka berikut penyebutan
satu persatu makanan yang dibahas oleh para ulama beserta hukumnya
masing-masing:
1. Bangkai
Bangkai adalah semua hewan yang mati tanpa penyembelihan yang syar’iy dan juga bukan hasil perburuan.
Bangkai adalah semua hewan yang mati tanpa penyembelihan yang syar’iy dan juga bukan hasil perburuan.
Allah -Subhanahu wa Ta’ala- menyatakan dalam firman-Nya:
حُرِّمَتْ عَل؎يْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا
أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ
وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلَّا مَا
ذَكَّيْتُمْ
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan)
yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul,
yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang
sempat kamu menyembelihnya”. (QS. Al-Ma`idah: 3)
Dan juga dalam firmannya:
وَلاَ تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ
“Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama
Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu
adalah suatu kefasikan”. (QS. Al-An’am: 121)
Jenis-jenis bangkai berdasarkan ayat-ayat di atas:
1. Al-Munhaniqoh, yaitu hewan yang mati karena tercekik.
2. Al-Mauqudzah, yaitu hewan yang mati karena terkena pukulan keras.
3. Al-Mutaroddiyah, yaitu hewan yang mati karena jatuh dari tempat yang tinggi.
4. An-Nathihah, yaitu hewan yang mati karena ditanduk oleh hewan lainnya.
5. Hewan yang mati karena dimangsa oleh binatang buas.
6. Semua hewan yang mati tanpa penyembelihan, misalnya disetrum.
7. Semua hewan yang disembelih dengan sengaja tidak membaca basmalah.
8. Semua hewan yang disembelih untuk selain Allah walaupun dengan membaca basmalah.
9. Semua bagian tubuh hewan yang terpotong/terpisah dari tubuhnya. Hal ini berdasarkan hadits Abu Waqid secara marfu’:
2. Al-Mauqudzah, yaitu hewan yang mati karena terkena pukulan keras.
3. Al-Mutaroddiyah, yaitu hewan yang mati karena jatuh dari tempat yang tinggi.
4. An-Nathihah, yaitu hewan yang mati karena ditanduk oleh hewan lainnya.
5. Hewan yang mati karena dimangsa oleh binatang buas.
6. Semua hewan yang mati tanpa penyembelihan, misalnya disetrum.
7. Semua hewan yang disembelih dengan sengaja tidak membaca basmalah.
8. Semua hewan yang disembelih untuk selain Allah walaupun dengan membaca basmalah.
9. Semua bagian tubuh hewan yang terpotong/terpisah dari tubuhnya. Hal ini berdasarkan hadits Abu Waqid secara marfu’:
مَا قُطِعَ مِنَ الْبَهِيْمَةِ وَهِيَ حَيَّةٌ، فَهُوَ مَيْتَةٌ
“Apa-apa yang terpotong dari hewan dalam keadaan dia (hewan itu) masih
hidup, maka potongan itu adalah bangkai”. (HR. Ahmad, Abu Daud,
At-Tirmidzy dan dishohihkan olehnya)
Diperkecualikan darinya 3 bangkai, ketiga bangkai ini halal dimakan:
1. Ikan, karena dia termasuk hewan air dan telah berlalu penjelasan bahwa semua hewan air adalah halal bangkainya kecuali kodok.
2. Belalang. Berdasarkan hadits Ibnu ‘Umar secara marfu’:
2. Belalang. Berdasarkan hadits Ibnu ‘Umar secara marfu’:
أُحِلَّ لَنَا مَيْتَتَانِ وَدَمَانِ، فَأَمَّا الْمَيْتَتَانِ:
فَالسَّمَكُ وَالْجَرَادُ, وَأَمَّا الدَّمَانِ: فَالْكَبِدُ وَالطِّحَالُ
“Dihalalkan untuk kita dua bangkai dan dua darah. Adapun kedua bangkai
itu adalah ikan dan belalang. Dan adapun kedua darah itu adalah hati dan
limfa”. (HR. Ahmad dan Ibnu Majah)
3. Janin yang berada dalam perut hewan yang disembelih. Hal ini
berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Ashhabus Sunan
kecuali An-Nasa`iy, bahwa Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
ذَكَاةُ الْجَنِيْنِ ذَكَاةُ أُمِّهِ
“Penyembelihan untuk janin adalah penyembelihan induknya”.
Maksudnya jika hewan yang disembelih sedang hamil, maka janin yang ada
dalam perutnya halal untuk dimakan tanpa harus disembelih ulang.
[Al-Luqothot fima Yubahu wa Yuhramu minal Ath'imah wal Masyrubat point pertama]
2. Darah.
Yakni darah yang mengalir dan terpancar. Hal ini dijelaskan dalam surah Al-An’am ayat 145:
Yakni darah yang mengalir dan terpancar. Hal ini dijelaskan dalam surah Al-An’am ayat 145:
أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا
“Atau darah yang mengalir”.
Dikecualikan darinya hati dan limfa sebagaimana ditunjukkan dalam hadits
Ibnu ‘Umar yang baru berlalu. Juga dikecualikan darinya darah yang
berada dalam urat-urat setelah penyembelihan.
3. Daging babi.
Telah berlalu dalilnya dalam surah Al-Ma`idah ayat ketiga di atas. Yang
diinginkan dengan daging babi adalah mencakup seluruh bagian-bagian
tubuhnya termasuk lemaknya.
4. Khamar.
Allah -Subhanahu wa Ta’ala- berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ
وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ
فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi,
(berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan
keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu
agar kamu mendapat keberuntungan.”. (QS. Al-Ma`idah: 90
Dan dalam hadits riwayat Muslim dari Ibnu ‘Umar -radhiallahu ‘anhuma- secara marfu’:
كُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ، وَكُلُّ خَمْرٍ حَرَامٌ
“Semua yang memabukkan adalah haram, dan semua khamar adalah haram”.
Dikiaskan dengannya semua makanan dan minuman yang bisa menyebabkan
hilangnya akal (mabuk), misalnya narkoba dengan seluruh jenis dan
macamnya.
5. Semua hewan buas yang bertaring.
Sahabat Abu Tsa’labah Al-Khusyany -radhiallahu ‘anhu- berkata:
أَنَّ رسول الله صلى الله عليه وسلم نَهَى عَنْ كُلِّ ذِيْ نَابٍ مِنَ السِّبَاعِ
“Sesungguhnya Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- melarang dari
(mengkonsumsi) semua hewan buas yang bertaring”. (HR. Al-Bukhary dan
Muslim)
Dan dalam riwayat Muslim darinya dengan lafazh, “Semua hewan buas yang bertaring maka memakannya adalah haram”.
Yang diinginkan di sini adalah semua hewan buas yang bertaring dan
menggunakan taringnya untuk menghadapi dan memangsa manusia dan hewan
lainnya. Lihat Al-Ifshoh (1/457) dan I’lamul Muwaqqi’in (2/117).
Jumhur ulama berpendapat haramnya berlandaskan hadits di atas dan hadits-hadits lain yang semakna dengannya.
[Asy-Syarhul Kabir (11/66), Mughniyul Muhtaj (4/300), dan Syarh Tanwiril Abshor ma'a Hasyiyati Ibnu 'Abidin (5/193)]
6. Semua burung yang memiliki cakar.
Yang diinginkan dengannya adalah semua burung yang memiliki cakar yang
kuat yang dia memangsa dengannya, seperti: elang dan rajawali. Jumhur
ulama dari kalangan Imam Empat -kecuali Imam Malik- dan selainnya
menyatakan pengharamannya berdasarkan hadits Ibnu ‘Abbas -radhiallahu
‘anhuma-:
نَهَى عَنْ كُلِّ ذِيْ نَابٍ مِنَ السِّبَاعِ، وَكُلُّ ذِيْ مَخْلَبٍ مِنَ الطَّيْرِ
“Beliau (Nabi) melarang untuk memakan semua hewan buas yang bertaring dan semua burung yang memiliki cakar”. (HR. Muslim)
[Al-Majmu' (9/22), Al-Muqni' (3/526,527), dan Takmilah Fathil Qodir (9/499)]
7. Jallalah.
Dia adalah hewan pemakan feses (kotoran) manusia atau hewan lain, baik
berupa onta, sapi, dan kambing, maupun yang berupa burung, seperti:
garuda, angsa (yang memakan feses), ayam (pemakan feses), dan sebagian
gagak. Lihat Nailul Author (8/128).
Hukumnya adalah haram. Ini merupakan pendapat Imam Ahmad -dalam satu
riwayat- dan salah satu dari dua pendapat dalam madzhab Syafi’iyah,
mereka berdalilkan dengan hadits Ibnu ‘Umar -radhiallahu ‘anhuma- beliau
berkata:
نَهَى رسول الله صلى الله عليه وسلم عَنْ أَكْلِ الْجَلاَّلَةِ وَأَلْبَانِهَا
“Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- melarang dari memakan
al-jallalah dan dari meminum susunya”. (HR. Imam Lima kecuali An-Nasa`iy
(3787))
Beberapa masalah yang berkaitan dengan jallalah:
1. Tidak semua hewan yang memakan feses masuk dalam kategori jallalah
yang diharamkan, akan tetapi yang diharamkan hanyalah hewan yang
kebanyakan makanannya adalah feses dan jarang memakan selainnya.
Dikecualikan juga semua hewan air pemakan feses, karena telah berlalu
bahwa semua hewan air adalah halal dimakan. Lihat Hasyiyatul Al-Muqni’
(3/529).
2. Jika jallalah ini dibiarkan sementara waktu hingga isi perutnya bersih dari feses maka tidak apa-apa memakannya ketika itu. Hanya saja mereka berselisih pendapat mengenai berapa lamanya dia dibiarkan, dan yang benarnya dikembalikan kepada ukuran adat kebiasaan atau kepada sangkaan besar. Lihat Al-Majmu’ (9/28).
2. Jika jallalah ini dibiarkan sementara waktu hingga isi perutnya bersih dari feses maka tidak apa-apa memakannya ketika itu. Hanya saja mereka berselisih pendapat mengenai berapa lamanya dia dibiarkan, dan yang benarnya dikembalikan kepada ukuran adat kebiasaan atau kepada sangkaan besar. Lihat Al-Majmu’ (9/28).
[Al-Muqni' (3/527,529), Mughniyul Muhtaj (4/304), dan Takmilah Fathil Qodir (9/499-500)]
8. Keledai jinak (bukan yang liar).
Ini merupakan madzhab Imam Empat kecuali Imam Malik dalam sebagian
riwayat darinya. Dari Anas bin Malik -radhiallahu ‘anhu-, bahwasanya
Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
إِنَّ الله ورسوله يَنْهَيَاكُمْ عَنْ لُحُوْمِ ِالْحُمُرِ الْأَهْلِيَّةِ, فَإِنَّهَا رِجْسٌ
“Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya melarang kalian untuk memakan
daging-daging keledai yang jinak, karena dia adalah najis”. (HR.
Al-Bukhary dan Muslim)
Diperkecualikan darinya keledai liar, karena Jabir -radhiallahu ‘anhu- berkata:
أَكَلْنَا زَمَنَ خَيْبَرٍ اَلْخَيْلَ وَحُمُرَ الْوَحْشِ ، وَنَهَانَا النبي صلى الله عليه وسلم عَنِ الْحِمَارِ الْأَهْلِيْ
“Saat (perang) Khaibar, kami memakan kuda dan keledai liar, dan Nabi
-Shallallahu ‘alaihi wasallam- melarang kami dari keledai jinak”. (HR.
Muslim)
Inilah pendapat yang paling kuat, sampai-sampai Imam Ibnu ‘Abdil Barr
menyatakan, “Tidak ada perselisihan di kalangan ulama zaman ini tentang
pengharamannya”. Lihat Al-Mughny beserta Asy-Syarhul Kabir (11/65).
[Al-Bada`i' (5/37), Mughniyul Muhtaj (4/299), Al-Muqni' (3/525), dan Al-Bidayah (1/344].
9. Kuda.
Telah berlalu dalam hadits Jabir bahwasanya mereka memakan kuda saat
perang Khaibar. Semakna dengannya ucapan Asma` bintu Abi Bakr
-radhiallahu ‘anhuma-:
نَحَرْنَا فَرَسًا عَلَى عَهْدِ رسول الله صلى الله عليه وسلم فَأَكَلْنَاهُ
“Kami menyembelih kuda di zaman Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- lalu kamipun memakannya”. (HR. Al-Bukhary dan Muslim)
Maka ini adalah sunnah taqririyyah (persetujuan) dari Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-.
Ini adalah pendapat jumhur ulama dari kalangan Asy-Syafi’iyyah,
Al-Hanabilah, salah satu pendapat dalam madzhab Malikiyah, serta
merupakan pendapat Muhammad ibnul Hasan dan Abu Yusuf dari kalangan
Hanafiyah. Dan ini yang dikuatkan oleh Imam Ath-Thohawy sebagaimana
dalam Fathul Bary (9/650) dan Imam Ibnu Rusyd dalam Al-Bidayah (1/3440).
[Mughniyul Muhtaj (4/291-291), Al-Muqni' beserta hasyiyahnya (3/528), Al-Bada`i' (5/18), dan Asy-Syarhus Shoghir (2/185)]
10. Baghol.
Dia adalah hewan hasil peranakan antara kuda dan keledai. Jabir -radhiallahu ‘anhuma- berkata:
حَرَّمَ رسول الله صلى الله عليه وسلم – يَعْنِي يَوْمَ خَيْبَرٍٍ – لُحُوْمَ الْحُمُرِ الْإِنْسِيَّةِ، وَلُحُوْمَ الْبِغَالِ
“Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- mengharamkan -yakni saat
perang Khaibar- daging keledai jinak dan daging baghol. (HR. Ahmad dan
At-Tirmidzy)
Dan ini (haram) adalah hukum untuk semua hewan hasil peranakan antara hewan yang halal dimakan dengan yang haram dimakan.
[Al-Majmu' (9/27), Ays-Syarhul Kabir (11/75), dan Majmu' Al-Fatawa (35/208)].
11. Anjing.
Para ulama sepakat akan haramnya memakan anjing, di antara dalil yang menunjukkan hal ini adalah bahwa anjing termasuk dari hewan buas yang bertaring yang telah berlalu pengharamannya. Dan telah tsabit dari Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bahwa beliau bersabda:
Para ulama sepakat akan haramnya memakan anjing, di antara dalil yang menunjukkan hal ini adalah bahwa anjing termasuk dari hewan buas yang bertaring yang telah berlalu pengharamannya. Dan telah tsabit dari Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bahwa beliau bersabda:
إِنَّ الله إِذَا حَرَّمَ شَيْئًا حَرَّمَ ثَمَنَهُ
“Sesungguhnya Allah jika mengharamkan sesuatu maka Dia akan mengharamkan harganya [12]“.
Dan telah tsabit dalam hadits Abu Mas’ud Al-Anshory riwayat Al-Bukhary
dan Muslim dan juga dari hadits Jabir riwayat Muslim akan haramnya
memperjualbelikan anjing.
[Al-Luqothot point ke-12]
12. Kucing baik yang jinak maupun yang liar.
Jumhur ulama menyatakan haramnya memakan kucing karena dia termasuk
hewan yang bertaring dan memangsa dengan taringnya. Pendapat ini yang
dikuatkan oleh Syaikh Al-Fauzan. Dan juga telah warid dalam hadits Jabir
riwayat Imam Muslim akan larangan meperjualbelikan kucing, sehingga hal
ini menunjukkan haramnya.
[Al-Majmu' (9/8) dan Hasyiyah Ibni 'Abidin (5/194)]
13. Monyet.
Ini merupakan madzhab Syafi’iyah dan merupakan pendapat dari ‘Atho`,
‘Ikrimah, Mujahid, Makhul, dan Al-Hasan. Imam Ibnu Hazm menyatakan, “Dan
monyet adalah haram, karena Allah -Ta’ala- telah merubah sekelompok
manusia yang bermaksiat (Yahudi) menjadi babi dan monyet sebagai hukuman
atas mereka. Dan setiap orang yang masih mempunyai panca indra yang
bersih tentunya bisa memastikan bahwa Allah -Ta’ala- tidaklah merubah
bentuk (suatu kaum) sebagai hukuman (kepada mereka) menjadi bentuk yang
baik dari hewan, maka jelaslah bahwa monyet tidak termasuk ke dalam
hewan-hewan yang baik sehingga secara otomatis dia tergolong hewan yang
khobits (jelek)” [13].
[Al-Luqothot point ke-13]
14. Gajah.
Madzhab jumhur ulama menyatakan bahwa dia termasuk ke dalam kategori
hewan buas yang bertaring. Dan inilah yang dikuatkan oleh Imam Ibnu
‘Abdil Barr, Al-Qurthuby, Ibnu Qudamah, dan Imam An-Nawawy
-rahimahumullah-.
[Al-Luqothot point ke-14]
15. Musang (arab: tsa’lab)
Halal, karena walaupun bertaring hanya saja dia tidak mempertakuti dan
memangsa manusia atau hewan lainnya dengan taringnya dan dia juga
termasuk dari hewan yang baik (arab: thoyyib). Ini merupakan madzhab
Malikiyah, Asy-Syafi’iyah, dan salah satu dari dua riwayat dari Imam
Ahmad.
[Mughniyul Muhtaj (4/299), Al-Muqni' (3/528), dan Asy-Syarhul Kabir (11/67)]
16. Hyena/kucing padang pasir (arab: Dhib’un)
Pendapat yang paling kuat di kalangan ulama -dan ini merupakan pendapat
Imam Asy-Syafi’iy dan Imam Ahmad- adalah halal dan bolehnya memakan
daging hyena. Hal ini berdasarkan hadits ‘Abdurrahman bin ‘Abdillah bin
Abi ‘Ammar, beliau berkata, “Saya bertanya kepada Jabir, “apakah hyena
termasuk hewan buruan?”, beliau menjawab, “iya”. Saya bertanya lagi,
“apakah boleh memakannya?”, beliau menjawab, “boleh”. Saya kembali
bertanya, “apakah pembolehan ini telah diucapkan oleh Rasulullah?”,
beliau menjawab, “iya”“. Diriwayatkan oleh Imam Lima [14] dan
dishohihkan oleh Al-Bukhary, At-Tirmidzy dan selainnya. Lihat Talkhishul
Khabir (4/152).
Pendapat ini yang dikuatkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Al-Fath (9/568) dan Imam Asy-Syaukany.
Adapun jika ada yang menyatakan bahwa hyena adalah termasuk hewan buas
yang bertaring, maka kita jawab bahwa hadits Jabir di atas lebih khusus
daripada hadits yang mengharamkan hewan buas yang bertaring sehingga
hadits yang bersifat khusus lebih didahulukan. Atau dengan kata lain
hyena diperkecualikan dari pengharaman hewan buas yang bertaring. Lihat
Nailul Author (8/127) dan I’lamul Muwaqqi’in (2/117).
[Mughniyul Muhtaj (4/299) dan Al-Muqni' (3/52)]
[Mughniyul Muhtaj (4/299) dan Al-Muqni' (3/52)]
17. Kelinci.
Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhary dan Imam Muslim dari Anas bin Malik -radhiallahu ‘anhu-:
Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhary dan Imam Muslim dari Anas bin Malik -radhiallahu ‘anhu-:
أَنَّهُ صلى الله عليه وسلم أُهْدِيَ لَهُ عَضْوٌ مِنْ أَرْنَبٍ، فَقَبِلَهُ
“Sesungguhnya beliau (Nabi) -Shallallahu ‘alaihi wasallam- pernah diberikan hadiah berupa potongan daging kelinci, maka beliaupun menerimanya”.
“Sesungguhnya beliau (Nabi) -Shallallahu ‘alaihi wasallam- pernah diberikan hadiah berupa potongan daging kelinci, maka beliaupun menerimanya”.
Imam Ibnu Qudamah berkata dalam Al-Mughny, “Kami tidak mengetahui ada
seorangpun yang mengatakan haramnya (kelinci) kecuali sesuatu yang
diriwayatkan dari ‘Amr ibnul ‘Ash”.
[Al-Luqothot point ke-16]
[Al-Luqothot point ke-16]
18. Belalang.
Telah berlalu dalam hadits Ibnu ‘Umar bahwa bangkai belalang termasuk
yang diperkecualikan dari bangkai yang diharamkan. Hal ini juga
ditunjukkan oleh perkataan Anas bin Malik -radhiallahu ‘anhu-:
غَزَوْنََا مَعَ رسول الله صلى الله عليه وسلم سَبْعَ غَزَوَاتٍ نَأْكُلُ الْجَرَادَ
“Kami berperang bersama Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam-
sebanyak 7 peperangan sedang kami hanya memakan belalang”. (HR.
Al-Bukhary dan Muslim)
[Al-Luqothot point ke-17]
19. Kadal padang pasir (arab: dhobbun [15]).
Pendapat yang paling kuat yang merupakan madzhab Asy-Syafi’iyah dan
Al-Hanabilah bahwa dhabb adalah halal dimakan, hal ini berdasarkan sabda
Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- tentang biawak:
كُلُوْا وَأَطْعِمُوْا فَإِنَّهُ حَلاَلٌ
“Makanlah dan berikanlah makan dengannya (dhabb) karena sesungguhnya dia adalah halal”. (HR. Al-Bukhary dan Muslim dari hadits Ibnu ‘Umar)
“Makanlah dan berikanlah makan dengannya (dhabb) karena sesungguhnya dia adalah halal”. (HR. Al-Bukhary dan Muslim dari hadits Ibnu ‘Umar)
Adapun keengganan Nabi untuk memakannya, hanyalah dikarenakan dhabb
bukanlah makanan beliau, yakni beliau tidak biasa memakannya. Hal ini
sebagaimana yang beliau khabarkan sendiri dalam sabdanya:
لاَ بَأْسَ بِهِ، وَلَكِنَّهُ لَيْسَ مِنْ طَعَامِي
“Tidak apa-apa, hanya saja dia bukanlah makananku”.
Ini yang dikuatkan oleh Imam An-Nawawy dalam Syarh Muslim (13/97).
[Mughniyul Muhtaj (4/299) dan Al-Muqni' (3/529)]
20. Landak.
Syaikh Al-Fauzan menguatkan pendapat Asy-Syafi’iyyah akan boleh dan halalnya karena tidak ada satupun dalil yang menyatakan haram dan khobitsnya. Lihat Al-Majmu’ (9/10).
Syaikh Al-Fauzan menguatkan pendapat Asy-Syafi’iyyah akan boleh dan halalnya karena tidak ada satupun dalil yang menyatakan haram dan khobitsnya. Lihat Al-Majmu’ (9/10).
21. Ash-shurod, kodok, semut, burung hud-hud, dan lebah.
Kelima hewan ini haram dimakan, berdasarkan hadits Abu Hurairah -radhiallahu ‘anhu-, beliau berkata:
نَهَى رسول الله صلى الله عليه وسلم عَنْ قَتْلِ الصُّرَدِ وَالضِّفْدَعِ وَالنَّمْلَةِ وَالْهُدْهُدِ
“Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- melarang membunuh shurod,
kodok, semut, dan hud-hud. (HR. Ibnu Majah dengan sanad yang shohih).
Adapun larangan membunuh lebah, warid dalam hadits Ibnu ‘Abbas yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Abu Daud.
Dan semua hewan yang haram dibunuh maka memakannyapun haram. Karena
tidak mungkin seeokor binatang bisa dimakan kecuali setelah dibunuh.
[Al-Luqothot point ke-19 s/d 23]
22. Yarbu’.
Halal. Ini merupakan madzhab Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah, dan
merupakan pendapat ‘Urwah, ‘Atho` Al-Khurosany, Abu Tsaur, dan Ibnul
Mundzir, karena asal dari segala sesuatu adalah halal, dan tidak ada
satupun dalil yang menyatakan haramnya yarbu’ ini. Inilah yang dikuatkan
oleh Imam Ibnu Qudamah dalam Al-Mughny (11/71).
[Hasyiyatul Muqni' (3/528) dan Mughniyul Muhtaj (4/299)]
23. Kalajengking, ular, gagak, tikus, tokek, dan cicak.
Karena semua hewan yang diperintahkan untuk dibunuh tanpa melalui proses
penyembelihan adalah haram dimakan, karena seandainya hewan-hewan
tersebut halal untuk dimakan maka tentunya Nabi tidak akan mengizinkan
untuk membunuhnya kecuali lewat proses penyembelihan yang syar’iy.
Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
خَمْسٌ فَوَاسِقُ يُقْتَلْنَ فَي الْحِلِّ وَالْحَرَمِ: اَلْحَيَّةُ
وَالْغُرَابُ الْاَبْقَعُ وَالْفَأْرَةُ وَالٍْكَلْبُ وَالْحُدَيَّا
“Ada lima (binatang) yang fasik (jelek) yang boleh dibunuh baik dia
berada di daerah halal (selain Mekkah) maupun yang haram (Mekkah): Ular,
gagak yang belang, tikus, anjing, dan rajawali (HR. Muslim)
Adapun tokek dan -wallahu a’lam- diikutkan juga kepadanya cicak, maka
telah warid dari hadits Abu Hurairah riwayat Imam Muslim tentang anjuran
membunuh wazag (tokek).
[Bidayatul Mujtahid (1/344) dan Tafsir Asy-Syinqithy (1/273)]
[Bidayatul Mujtahid (1/344) dan Tafsir Asy-Syinqithy (1/273)]
24. Kura-kura (arab: salhafat), anjing laut, dan kepiting (arab: sarthon).
Telah berlalu penjelasannya pada pendahuluan yang ketiga bahwa ketiga hewan ini adalah halal dimakan.
[Al-Luqothot point ke-28 s/d 30]
25. Siput (arab: halazun) darat, serangga kecil, dan kelelawar.
Imam Ibnu Hazm menyatakan, “Tidak halal memakan siput darat, juga tidak
halal memakan seseuatupun dari jenis serangga, seperti: tokek (masuk
juga cicak), kumbang, semut, lebah, lalat, cacing, kutu, nyamuk dan yang
sejenis dengan mereka, berdasarkan firman Allah -Ta’ala-, “Diharamkan
untuk kalian bangkai”, dan firman Allah -Ta’ala-, “Kecuali yang kalian
sembelih”. Dan telah jelas dalil yang menunjukkan bahwa penyembelihan
pada hewan yang bisa dikuasai/dijinakkan, tidaklah teranggap secara
syar’iy kecuali jika dilakukan pada tenggorokan atau dadanya. Maka semua
hewan yang tidak ada cara untuk bisa menyembelihnya, maka tidak ada
cara/jalan untuk memakannya, sehingga hukumnya adalah haram karena tidak
bisa dimakan, kecuali bangkai yang tidak disembelih” [16].
[Al-Luqothot point ke-31 s/d 34]
Inilah secara ringkas penyebutan beberapa kaidah dalam masalah
penghalalan dan pengharaman makanan beserta contoh-contohnya semoga bisa
bermanfaat. Penyebutan makanan sampai point ke-25 di atas bukanlah
dimaksudkan untuk membatasi bahwa makanan yang haram jumlahnya hanya
sekitar itu, akan tetapi yang kami inginkan dengannya hanyalah
menjelaskan kaidah umum dalam masalah ini yang bisa dijadikan sebagai
tolak ukur dalam menghukumi hewan-hewan lain yang tidak sempat kami
sebutkan.
Adapun makanan selain hewan dan juga minuman, maka hukumnya telah kami
terangkan secara global dalam pendahuluan-pendahuluan di awal
pembahasan, yang mana pendahuluan-pendahuluan ini adalah semacam kaidah
untuk menghukumi semuanya, wallahul muwaffiq.
Footnote :
1. Arab:tho’am, kata yang mencakup di dalamnya makanan dan minuman. Lihat Tahdzibul Asma’ (2/186)
2. Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah 21/135
3. Al-Ikhtiyarot hal 321
4. Yakni karena berarti ayatnya akan bermakna : “dihalalkan bagi kalian yang halal”, sehingga kalimatnya tidak memiliki faidah tambahan
5. Seperti : narkoba dengan semua jenisnya, rokok dan selainnya
6. Yakni untuk kesembuhannya dari sebuah penyakit
7. Akan datang haditsnya pada point ke 19
8. Majmu’ Al Fatawa (17/178-180) dan al-Ikhtiyarot hal 321
9. Manhajus Salikin hal 52
10. Lihat pembagian ini dalam Tafsir Al-Qurthuby 6/318 dan Al-Majmu’ 9/31-32
11. Akan datang dalil pengharamannya pada penyebutan makanan yang ke 21
12. Maksudnya diharamkan menjualnya, menyewanya, dan seterusnya dari bentuk tukar-menukar harga
13. Al Muhalla 7/429
14. Mereka adalah Imam Ahmad, Abu Daud, An-Nasa’iy, At-Timirdzi dan Ibnu Majah
15. Termasuk kekeliruan dari sebagian orang ketika menerjemahkan dhib’un dengan biawak, padahal keduanya berbeda. Biawak termasuk hewan yang diharamkan untuk dimakan. Wallahu a’lam.
16. Al-Muhalla 7/405
1. Arab:tho’am, kata yang mencakup di dalamnya makanan dan minuman. Lihat Tahdzibul Asma’ (2/186)
2. Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah 21/135
3. Al-Ikhtiyarot hal 321
4. Yakni karena berarti ayatnya akan bermakna : “dihalalkan bagi kalian yang halal”, sehingga kalimatnya tidak memiliki faidah tambahan
5. Seperti : narkoba dengan semua jenisnya, rokok dan selainnya
6. Yakni untuk kesembuhannya dari sebuah penyakit
7. Akan datang haditsnya pada point ke 19
8. Majmu’ Al Fatawa (17/178-180) dan al-Ikhtiyarot hal 321
9. Manhajus Salikin hal 52
10. Lihat pembagian ini dalam Tafsir Al-Qurthuby 6/318 dan Al-Majmu’ 9/31-32
11. Akan datang dalil pengharamannya pada penyebutan makanan yang ke 21
12. Maksudnya diharamkan menjualnya, menyewanya, dan seterusnya dari bentuk tukar-menukar harga
13. Al Muhalla 7/429
14. Mereka adalah Imam Ahmad, Abu Daud, An-Nasa’iy, At-Timirdzi dan Ibnu Majah
15. Termasuk kekeliruan dari sebagian orang ketika menerjemahkan dhib’un dengan biawak, padahal keduanya berbeda. Biawak termasuk hewan yang diharamkan untuk dimakan. Wallahu a’lam.
16. Al-Muhalla 7/405
Referensi:
1. Al-Ath’imah wa Ahkamis Shoyd wadz Dzaba`ih, karya Syaikh Al-Fauzan,
cet. I th. 1408 H/1988 M, penerbit: Maktabah Al-Ma’arif Ar-Riyadh.
2. Al-Majmu’, Imam An-Nawawy, Cet. Terakhir, th. 1415 H/1995 M, penerbut: Dar Ihya`ut Turots Al-Araby.
3. Bidayatul Mujtahid, Ibnu Rusyd Al-Maliky, cet. X, th. 1408 H/1988 M, penerbit: Darul Kutubil ‘Ilmiyah .
4. Al-Luqothot fima Yubahu wa Yuhramu minal Ath’imah wal Masyrubat, karya Muhammad bin Hamd Al-Hamud An-Najdy.
(Sumber http://al-atsariyyah.com/?p=307, http://al-atsariyyah.com/wp-content/uploads/2008/10/makanan.doc.)
2. Al-Majmu’, Imam An-Nawawy, Cet. Terakhir, th. 1415 H/1995 M, penerbut: Dar Ihya`ut Turots Al-Araby.
3. Bidayatul Mujtahid, Ibnu Rusyd Al-Maliky, cet. X, th. 1408 H/1988 M, penerbit: Darul Kutubil ‘Ilmiyah .
4. Al-Luqothot fima Yubahu wa Yuhramu minal Ath’imah wal Masyrubat, karya Muhammad bin Hamd Al-Hamud An-Najdy.
(Sumber http://al-atsariyyah.com/?p=307, http://al-atsariyyah.com/wp-content/uploads/2008/10/makanan.doc.)
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan Komentar Disini