Posted by Unknown on Senin, April 13, 2015 in Islami | No comments
Kaum muslimin meyakini bahwa semua ilmu pengetahuan berasal dari Allah,
dan Al-Qur’an merupakan Kalamullah. Pengetahuan tentang zat, energi,
ruang, waktu dan interaksi benda-benda di alam ini sering disebut dengan
fisika.
Untuk ilustrasi ada 3 contoh disini :
- Teori bahwa bumilah yang pusat tata surya (geosentris), bahkan alam semesta , karena di Al Qur’an tidak pernah menyebutkan ada ayat menyatakan bumi beredar, tetapi matahari, bulan, dan bintanglah yg beredar (QS 13:2, 14:33). Teori ini bahkan didukung seorang syeikh terkemuka dari Arab Saudi, yg memfatwakan bahwa percaya kepada teori heliosentris bisa menjerumuskan pada kemusyrikan. (Baca: Bin Baz Teori Bumi Datar)
- Teori bahwa besi magnet dapat digunakan sebagai pembangkit energi yg tak ada habisnya, dengan dalil QS 57:25 yang menyatakan bahwa Allah menciptakan besi yg di dalamnya terdapat kekuatan yang hebat, yang ia tafsirkan sebagai energi.
- Teori 7 lapis atmosfir, karena dikatakan hujan turun dari langit QS 35:27 sedangkan Allah menciptakan tujuh langit QS 41:12, sehingga hujan itu terjadi pada lapis langit pertama.
Dengan melihat teori dan klaim tersebut, sepertinya mereka mengulang apa
yg pernah dilakukan kaum mutakalimin (Pencipta filsafat) di amsa lalu,
yg mencari-cari suatu kesimpulan hanya berdasarkan asumsi, sekalipun
asumsi itu berasal dari suatu ayat Qur’an yg ditafsirkan secara
subyektif. Tentu saja, cara berpikir mutakalimin seperti ini tidak
pernah menghasilkan terobosan ilmiah yang hakiki, apalagidapat dipakai
untuk keperluan praktis.
Para fisikawan muslim di masa keemasan Islam adalah orang-orang yang
dididik dari awal dengan aqidah Islam,rata2 mereka hapal Qur’an sebelum
baligh.Mereka sagat memahami bahwa alam memiliki hukum-hukumnya yang
obyektif, yang dapat terungkap sendiri pada mereka yag sabar melakukan
pengamatan dan penelitian dengan sangat cermat.
Ibn al Haytsam (al-Hazen) adalah pioner optika modern ketika menerbitkan
bukunya pada tahun 1021. Dia menemukan bahwa proses melihat adalah
jatuhnya cahaya ke mata, bukan karena sorot mata sebagaimana diyakini
orang sejak zaman Aristoteles. Dalam kitabnya al-Haytsam menunjukkan
berbagai cara untuk membuat teropong dan juga kamera sederhana (camera
obscura).
Menarik untuk mengetahui bahwa al-Haytsam melakukan eksperimen optiknya
ini pada saat ia mengalami tahanan rumah, setelah ia gagal memenuhi
tugas Amir Mesir untuk mewujudkan proyek bendungan sungai Nil. Dia baru
dilepas setelah penemuan-penemuan optiknya dinilai impas untuk investasi
yang telah dikeluarkan sang Amir.
Ibn al-Haytsam juga memulai suatu tradisi metode ilmiah untuk menguji
sebuah hipotesis, 600 tahun mendahului Rene Descartes yang dianggap
Bapak Metode Ilmiah Eropa di zaman Rennaisance. Metode ilmiah ibn
al-Haytsam dimulai dari pengamatan empiris, perumusan masalah, formulasi
hipotesis, uji hipotesis dengan eksperimen, analisis hasil eksperimen,
interpretasi data dan formulasi kesimpulan, dan diakhiri dengan
publikasi. Publikasi ini kemudian dinilai oleh peer-review yang
memungkinkan setiap orang melacak dan bila perlu mengulangi apa yang
dikerjakan seorang peneliti. Proses peer review telah menjadi tradisi
dalam dunia medis sejak Ishaq bin Ali al Rahwi (854-931).
Ibnu Sina alias Avicenna (980-1037) setuju bahwa kecepatan cahaya pasti
terbatas. Abu Rayhan al-Biruni (973-1048) juga menemukan bahwa cahaya
jauh lebih cepat dari suara. Qutubuddin al-Syirazi (1236-1311) dan Kamaluddin al-Fārisī (1260-1320) memberi penjelasan pertama yang benar pada fenomena pelangi.
Di dunia mekanika, Ja’far Muhammad ibn Mūsā ibn Syākir (800-873) dari Banū Mūsā berhipotesis
bahwa benda-benda langit dan “lapisan langit” adalah subjek yang
mengalami hukum-hukum fisika yang sama dengan bumi.
Al-Biruni dan belakangan al-Khazini mengembangkan metode eksperimental
dalam statika dan dinamika, kemudian juga hidrostatika dan
hidrodinamika, yang sangat penting dalam pembuatan jembatan, bendungan
ataupun kapal.
Pada tahun 1121, al-Khazini dalam “Kitab tentang Keseimbangan
Kebijaksanaan” mengusulkan bahwa gravitasi dan energi potensialnya
berubah tergantung jaraknya dari pusat bumi. Dia juga secara tegas
membedakan antara gaya, massa dan berat. Penemuan ini berguna untuk
membuat kincir bertenaga air.
Ibnu Bajah (Avempace) yang wafat 1138 berargumentasi bahwa selalu ada
reaksi pada setiap aksi. Teorinya ini sangat berpengaruh pada fisikawan
setelahnya, termasuk Galileo dan Newton, dan sangat berguna untuk
menghitung kekuatan manjaniq, yakni ketapel raksasa yang berfungsi
seperti meriam.
Hibatullah Abu’l-Barakat al-Baghdadi (1080-1165)
membantah Aristoteles yang mengatakan bahwa gaya yang konstan akan
menghasilkan gerak yang seragam, ketika dalam kitabnya al-Mu’tabar dia
menulis bahwa gaya konstan akan menghasilkan percepatan (akselerasi).
Menurutnya akselerasi adalah rerata dari perubahan kecepatan.
Ibnu Rusyd alias Averroes (1126-1198) adalah mujtahid dalam fiqih yang
juga fisikawan, terbukti dalam salah satu kitabnya dia mendefinisikan
gaya sebagai tingkat kerja yang harus dilakukan untuk mengubah kondisi
kinetik dari sebuah benda yang lembam. Apa yang ditulis Ibnu Rusyd ini
500 tahun lebih awal dari mekanika klasik Newton.
Semua ilustrasi ini menunjukkan bahwa Fisika Islam – kalaupun ada –
adalah fisika yang telah melalui rangkaian metode ilmiah, yang kemudian
terbukti dapat digunakan untuk keperluan praktis. Fisika sebagai ilmu
pengetahuan empiris dapat diraih oleh peneliti manapun yang sabar, tanpa
memandang apa keyakinan aqidahnya.
Kebenaran fakta fisika tidak perlu didukung dan tidak akan mengusik ayat
Qur’an manapun, karena keduanya memiliki ruang lingkup yang berbeda.
Memaksa-maksa agar suatu fakta fisika cocok dengan sebuah ayat atau
sebaliknya, justru menunjukkan kelemahan pemahaman kita sendiri, baik
terhadap si fakta fisika itu, maupun terhadap isi Qur’an sendiri. Dan
ini semua tidak pernah dialami oleh para fisikawan di masa keemasan
Islam.
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan Komentar Disini