Posted by Unknown on Kamis, April 16, 2015 in Islami | No comments
Dijawab oleh: Al-Ustadz Abu Abdillah As Sarbini Al- Makassari
Permasalahan
onani/masturbasi (istimna’) adalah permasalahan yang telah dibahas oleh
para ulama. Onani adalah upaya mengeluarkan mani dengan menggunakan
tangan atau yang lainnya. Hukum permasalahan ini ada rinciannya sebagai
berikut:
1. Onani yang
dilakukan dengan bantuan tangan/anggota tubuh lainnya dari istri atau
budak wanita yang dimiliki. Jenis ini hukumnya halal, karena termasuk
dalam keumuman bersenang-senang dengan istri atau budak wanita yang
dihalalkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.1 Demikian pula hukumnya bagi
wanita dengan tangan suami atau tuannya (jika ia berstatus sebagai
budak, red.). Karena tidak ada perbedaan hukum antara laki-laki dan
perempuan hingga tegak dalil yang membedakannya. Wallahu a’lam.
2. Onani yang
dilakukan dengan tangan sendiri atau semacamnya. Jenis ini hukumnya
haram bagi pria maupun wanita, serta merupakan perbuatan hina yang
bertentangan dengan kemuliaan dan keutamaan. Pendapat ini adalah madzhab
jumhur (mayoritas ulama), Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu, dan
pendapat terkuat dalam madzhab Al-Imam Ahmad rahimahullahu. Pendapat ini
yang difatwakan oleh Al-Lajnah Ad-Da’imah (yang diketuai oleh
Asy-Syaikh Ibnu Baz), Al-Albani, Al-’Utsaimin, serta Muqbil Al-Wadi’i
rahimahumullah. Dalilnya adalah keumuman firman Allah Subhanahu wa
Ta’ala:
وَالَّذِينَ
هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ. إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أوْ مَا
مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ. فَمَنِ ابْتَغَى
وَرَاءَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْعَادُونَ
“Dan orang-orang
yang menjaga kemaluan-kemaluan mereka (dari hal-hal yang haram), kecuali
terhadap istri-istri mereka atau budak-budak wanita yang mereka miliki,
maka sesungguhnya mereka tidak tercela. Barangsiapa mencari kenikmatan
selain itu, maka merekalah orang-orang yang melampaui batas.” (Al-Mu’minun: 5-7, juga dalam surat Al-Ma’arij: 29-31)
Perbuatan onani
termasuk dalam keumuman mencari kenikmatan syahwat yang sifatnya
melanggar batasan syariat yang dihalalkan, yaitu di luar kenikmatan
suami-istri atau tuan dan budak wanitanya.
Sebagian ulama
termasuk Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu berdalilkan dengan
hadits ‘Abdillah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu:
يَا مَعْشَرَ
الشَّبَابِ، مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ اْلبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ
فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ
يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
“Wahai sekalian
pemuda, barangsiapa di antara kalian yang telah mampu menikah, maka
menikahlah, karena pernikahan membuat pandangan dan kemaluan lebih
terjaga. Barangsiapa belum mampu menikah, hendaklah dia berpuasa, karena
sesungguhnya puasa merupakan obat yang akan meredakan syahwatnya.” (Muttafaq ‘alaih)
Al-’Utsaimin
rahimahullahu berkata: “Sisi pendalilan dari hadits ini adalah perintah
Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam bagi yang tidak mampu menikah untuk
berpuasa. Sebab, seandainya onani merupakan adat (perilaku) yang
diperbolehkan tentulah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan
membimbing yang tidak mampu menikah untuk melakukan onani, karena onani
lebih ringan dan mudah untuk dilakukan ketimbang puasa.”
Apalagi onani sendiri
akan menimbulkan mudharat yang merusak kesehatan pelakunya serta
melemahkan kemampuan berhubungan suami-istri jika sudah berkeluarga,
wallahul musta’an.2
Adapun hadits-hadits
yang diriwayatkan dalam hal ini adalah hadits-hadits yang dha’if
(lemah). Kelemahan hadits-hadits itu telah diterangkan oleh Al-Hafizh
Ibnu Hajar rahimahullahu dalam At-Talkhish Al-Habir (no. 1666) dan
Al-Albani dalam Irwa’ Al-Ghalil (no. 2401) serta As-Silsilah
Adh-Dha’ifah (no. 319). Di antaranya hadits ‘Abdullah bin ‘Amr
radhiyallahu ‘anhuma:
سَبْعَةٌ لاَ
يَنْظُرُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلَيْهِمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلاَ
يُزَكِّيْهِمْ وَيَقُوْلُ: ادْخُلُوْا النَّارَ مَعَ الدَّاخِلِيْنَ: …
وَالنَّاكِحُ يَدَهُ …. الْحَدِيْثَ
“Ada tujuh
golongan yang Allah tidak akan memandang kepada mereka pada hari kiamat,
tidak akan membersihkan mereka (dari dosa-dosa) dan berkata kepada
mereka: ‘Masuklah kalian ke dalam neraka bersama orang-orang yang masuk
ke dalamnya!’ (di antaranya): … dan orang yang menikahi tangannya
(melakukan onani/masturbasi) ….dst.” (HR. Ibnu Bisyran dalam
Al-Amali, dalam sanadnya ada Abdullah bin Lahi’ah dan Abdurrahman bin
Ziyad bin An’um Al-Ifriqi, keduanya dha’if [lemah] hafalannya)
Namun apakah
diperbolehkan pada kondisi darurat, yaitu pada suatu kondisi di mana ia
khawatir terhadap dirinya untuk terjerumus dalam perzinaan atau khawatir
jatuh sakit jika air maninya tidak dikeluarkan? Ada khilaf pendapat
dalam memandang masalah ini.
Jumhur ulama
mengharamkan onani secara mutlak dan tidak memberi toleransi untuk
melakukannya dengan alasan apapun. Karena seseorang wajib bersabar dari
sesuatu yang haram. Apalagi ada solusi yang diajarkan oleh Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk meredakan/meredam syahwat seseorang
yang belum mampu menikah, yaitu berpuasa sebagaimana hadits Ibnu Mas’ud
radhiyallahu ‘anhu di atas.
Sedangkan sekelompok
sahabat, tabi’in, dan ulama termasuk Al-Imam Ahmad rahimahullahu memberi
toleransi untuk melakukannya pada kondisi tersebut yang dianggap
sebagai kondisi darurat.3 Namun nampaknya pendapat ini harus diberi
persyaratan seperti kata Al-Albani rahimahullahu dalam Tamamul Minnah
(hal. 420-421): “Kami tidak mengatakan bolehnya onani bagi orang yang
khawatir terjerumus dalam perzinaan, kecuali jika dia telah menempuh
pengobatan Nabawi (yang diperintahkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam), yaitu sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kaum
pemuda dalam hadits yang sudah dikenal yang memerintahkan mereka untuk
menikah dan beliau bersabda:
فَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ، فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
“Maka barangsiapa
belum mampu menikah hendaklah dia berpuasa, karena sesungguhnya puasa
merupakan obat yang akan meredakan syahwatnya.”
Oleh karena itu, kami
mengingkari dengan keras orang-orang yang memfatwakan kepada pemuda
yang khawatir terjerumus dalam perzinaan untuk melakukan onani, tanpa
memerintahkan kepada mereka untuk berpuasa.”
Dengan demikian,
jelaslah kekeliruan pendapat Ibnu Hazm rahimahullahu dalam Al-Muhalla
(no. 2303) dan sebagian fuqaha Hanabilah yang sekadar memakruhkan onani
dengan alasan tidak ada dalil yang mengharamkannya, padahal bertentangan
dengan kemuliaan akhlak dan keutamaan.
Yang lebih
memprihatinkan adalah yang sampai pada tahap menekuninya sebagai
adat/kebiasaan, untuk bernikmat-nikmat atau berfantasi/mengkhayalkan
nikmatnya menggauli wanita. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu
berkata dalam Majmu’ Al-Fatawa (10/574): “Adapun melakukan onani
untuk bernikmat-nikmat dengannya, menekuninya sebagai adat, atau untuk
mengingat-ngingat (nikmatnya menggauli seorang wanita) dengan cara
mengkhayalkan seorang wanita yang sedang digaulinya saat melakukan
onani, maka yang seperti ini seluruhnya haram. Al-Imam Ahmad
rahimahullahu mengharamkannya, demikian pula yang selain beliau.” Wallahu a’lam.
Semoga Allah
Subhanahu wa Ta’ala membimbing para pemuda dan pemudi umat ini untuk
menjaga diri mereka dari hal-hal yang haram dan hina serta merusak
akhlak dan kemuliaan mereka. Amin.
Washallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi washahbihi wasallam, walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.
Apakah pelaku onani/masturbasi mendapat dosa seperti orang yang berzina?
Adi Wicaksono, lewat email
Penetapan kadar dan
sifat dosa yang didapatkan oleh seorang pelaku maksiat, apakah sifatnya
dosa besar atau dosa kecil harus berdasarkan dalil syar’i. Perbuatan
zina merupakan dosa besar yang pelakunya terkena hukum hadd. Nash-nash
tentang hal itu sangat jelas dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Adapun
masturbasi/onani dengan tangan sendiri atau semacamnya (bukan dengan
bantuan tangan/anggota tubuh dari istri atau budak wanita yang
dimiliki), terdapat silang pendapat di kalangan ulama. Yang benar adalah
pendapat yang menyatakan haram. Hal ini berdasarkan keumuman ayat 5-7
dari surat Al-Mu’minun dan ayat 29-31 dari surat Al-Ma’arij. Onani
termasuk dalam keumuman mencari kenikmatan syahwat yang haram, karena
melampaui batas syariat yang dihalalkan, yaitu kenikmatan syahwat antara
suami istri atau tuan dengan budak wanitanya. Adapun hadits-hadits yang
diriwayatkan dalam hal ini yang menunjukkan bahwa onani adalah dosa
besar merupakan hadits-hadits yang dha’if (lemah) dan tidak bisa
dijadikan hujjah. Di antaranya:
سَبْعَةٌ لاَ
يَنْظُرُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلَيْهِمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلاَ
يُزَكِّيْهِمْ وَيَقُوْلُ: ادْخُلُوْا النَّارَ مَعَ الدَّاخِلِيْنَ: …
وَالنَّاكِحُ يَدَهُ …. الْحَدِيْثَ
“Ada tujuh
golongan yang Allah tidak akan memandang kepada mereka pada hari kiamat,
tidak akan membersihkan mereka (dari dosa-dosa) dan berkata kepada
mereka: ‘Masuklah kalian ke dalam neraka bersama orang-orang yang masuk
ke dalamnya!’: … dan orang yang menikahi tangannya (melakukan
onani/masturbasi) ….dst.”4
Sifat onani yang
paling parah dan tidak ada seorang pun yang menghalalkannya adalah
seperti kata Syaikhul Islam dalam Majmu’ Al-Fatawa (10/574): “Adapun
melakukan onani untuk bernikmat-nikmat dengannya, menekuninya sebagai
adat, atau untuk mengingat-ngingat/mengkhayalkan (nikmatnya menggauli
seorang wanita) dengan cara mengkhayalkan seorang wanita yang sedang
digaulinya saat melakukan onani, maka yang seperti ini seluruhnya haram.
Al-Imam Ahmad rahimahullahu mengharamkannya, demikian pula selain
beliau. Bahkan sebagian ulama mengharuskan hukum hadd bagi pelakunya.”
Penetapan hukum hadd
dalam hal ini semata-mata ijtihad sebagian ulama mengqiyaskannya dengan
zina. Namun tentu saja berbeda antara onani dengan zina sehingga tidak
bisa disamakan. Karena zina adalah memasukkan kepala dzakar ke dalam
farji wanita yang tidak halal baginya (selain istri dan budak wanita
yang dimiliki). Oleh karena itu, yang benar dalam hal ini adalah
pelakunya hanya sebatas diberi ta’zir (hukuman) yang setimpal sebagai
pelajaran dan peringatan baginya agar berhenti dari perbuatan maksiat
tersebut. Pendapat ini adalah madzhab Hanabilah, dibenarkan oleh Al-Imam
Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu dalam Asy-Syarhul Mumti’ Kitab Al-Hudud
Bab At-Ta’zir dan difatwakan oleh Al-Lajnah Ad-Da’imah yang diketuai
oleh Al-Imam Ibnu Baz rahimahullahu dalam Fatawa Al-Lajnah (10/259).
Adapun bentuk
hukumannya kembali kepada ijtihad hakim, apakah dicambuk (tidak lebih
dari sepuluh kali), didenda, dihajr (diboikot), didamprat dengan celaan,
atau lainnya, yang dipandang oleh pihak hakim dapat membuatnya jera
dari maksiat itu dan bertaubat.5 Wallahu a’lam.
Kesimpulannya,
masturbasi tidak bisa disetarakan dengan zina, karena tidak ada dalil
yang menunjukkan hal itu. Namun onani adalah maksiat yang wajib untuk
dijauhi. Barangsiapa telah melakukannya hendaklah menjaga aibnya sebagai
rahasia pribadinya dan hendaklah bertaubat serta memohon ampunan Allah
Subhanahu wa Ta’ala. Apabila urusannya terangkat ke mahkamah pengadilan,
maka pihak hakim berwenang untuk memberi ta’zir (hukuman) yang
setimpal, sebagai pelajaran dan peringatan baginya agar jera dari
perbuatan hina tersebut. Wallahu a’lam.
1 Pertama kali kami
mendengar faedah ini dari guru besar kami, Al-Walid Al-Imam Muqbil bin
Hadi Al-Wadi’i rahimahullahu dalam majelis beliau. Silakan lihat pula
Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah (10/259), Al-Iqna’ pada Kitab An-Nikah Bab
‘Isyratin Nisa’. Hal ini merupakan ijma’ (kesepakatan) ulama sebagaimana
dinukilkan oleh Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullahu dalam kitabnya yang
berjudul Bulughul Muna fi Hukmil Istimna’, walhamdulillah –pen.
2 Lihat tafsir surat
Al-Mu’minun dalam Tafsir Ath-Thabari, Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir
Al-Baghawi, Majmu’ Al-Fatawa (10/574, 34/229), Fatawa Al-Lajnah
(10/259), Tamamul Minnah (hal. 420), Majmu’ Ar-Rasa’il (19/234,
235-236), Asy-Syarhul Mumti’ Kitab Al-Hudud Bab At-Ta’zir –pen.
3 Lihat Majmu’ Al-Fatawa (10/574, 34/229-230) –pen.
4 Lihat penjelasan hadits ini dalam Problema Anda: Hukum Onani/Masturbasi.
5 Lihat Asy-Syarhul Mumti’ Kitab Al-Hudud Bab At-Ta’zir –pen.
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan Komentar Disini