Posted by Unknown on Jumat, April 10, 2015 in Islami | No comments
Pertama: Orang sakit ketika sulit berpuasa.
Yang dimaksudkan sakit adalah seseorang yang mengidap penyakit yang
membuatnya tidak lagi dikatakan sehat. Para ulama telah sepakat mengenai
bolehnya orang sakit untuk tidak berpuasa secara umum. Nanti ketika
sembuh, dia diharuskan mengqodho’ puasanya (menggantinya di hari lain).
Dalil mengenai hal ini adalah firman Allah Ta’ala,
وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
“Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka),
maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya
itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah: 185)
Untuk orang sakit ada tiga kondisi:[1]
Kondisi pertama adalah apabila sakitnya ringan dan tidak berpengaruh
apa-apa jika tetap berpuasa. Contohnya adalah pilek, pusing atau sakit
kepala yang ringan, dan perut keroncongan. Untuk kondisi pertama ini
tetap diharuskan untuk berpuasa.
Kondisi kedua adalah apabila sakitnya bisa bertambah parah atau akan
menjadi lama sembuhnya dan menjadi berat jika berpuasa, namun hal ini
tidak membahayakan. Untuk kondisi ini dianjurkan untuk tidak berpuasa
dan dimakruhkan jika tetap ingin berpuasa.
Kondisi ketiga adalah apabila tetap berpuasa akan menyusahkan dirinya
bahkan bisa mengantarkan pada kematian. Untuk kondisi ini diharamkan
untuk berpuasa. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,
وَلا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ
“Dan janganlah kamu membunuh dirimu.” (QS. An Nisa’: 29)
Apakah orang yang dalam kondisi sehat boleh tidak berpuasa karena jika berpuasa dia ditakutkan sakit?
Boleh untuk tidak berpuasa bagi orang yang dalam kondisi sehat yang
ditakutkan akan menderita sakit jika dia berpuasa. Karena orang ini
dianggap seperti orang sakit yang jika berpuasa sakitnya akan bertambah
parah atau akan bertambah lama sembuhnya. Allah Ta’ala berfirman,
وَلا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ
“Dan janganlah kamu membunuh dirimu.” (QS. An Nisa’: 29)
يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (QS. Al Baqarah: 185)
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
“Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.” (QS. Al Hajj: 78)
وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Jika aku memerintahkan kalian untuk melakukan suatu perkara, maka lakukanlah semampu kalian.”[2]
Kedua: Orang yang bersafar ketika sulit berpuasa.
Musafir yang melakukan perjalanan jauh sehingga mendapatkan keringanan untuk mengqoshor shalat dibolehkan untuk tidak berpuasa.
Dalil dari hal ini adalah firman Allah Ta’ala,
وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
“Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka),
maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya
itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah: 185)
Apakah jika seorang musafir berpuasa, puasanya dianggap sah?
Mayoritas sahabat, tabi’in dan empat imam madzhab berpendapat bahwa berpuasa ketika safar itu sah.
Ada riwayat dari Abu Hurairah, Ibnu ‘Abbas dan Ibnu ‘Umar yang
menyatakan bahwa berpuasa ketika safar tidaklah sah dan tetap wajib
mengqodho’. Ada yang mengatakan bahwa seperti ini dimakruhkan.
Namun pendapat mayoritas ulama lebih kuat sebagaimana dapat dilihat dari dalil-dalil yang nanti akan kami sampaikan.
Manakah yang lebih utama bagi orang yang bersafar, berpuasa ataukah tidak?
Para ulama dalam hal ini berselisih pendapat. Setelah meneliti lebih
jauh dan menggabungkan berbagai macam dalil, dapat kita katakan bahwa
musafir ada tiga kondisi.
Kondisi pertama adalah jika berat untuk berpuasa atau sulit melakukan
hal-hal yang baik ketika itu, maka lebih utama untuk tidak berpuasa.
Dalil dari hal ini dapat kita lihat dalam hadits Jabir bin ‘Abdillah.
Jabir mengatakan,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فِى سَفَرٍ ، فَرَأَى
زِحَامًا ، وَرَجُلاً قَدْ ظُلِّلَ عَلَيْهِ ، فَقَالَ « مَا هَذَا » .
فَقَالُوا صَائِمٌ . فَقَالَ « لَيْسَ مِنَ الْبِرِّ الصَّوْمُ فِى
السَّفَرِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika bersafar melihat
orang yang berdesak-desakan. Lalu ada seseorang yang diberi naungan.
Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Siapa ini?”
Orang-orang pun mengatakan, “Ini adalah orang yang sedang berpuasa.”
Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bukanlah suatu
yang baik jika seseorang berpuasa ketika dia bersafar”.[3] Di sini dikatakan tidak baik berpuasa ketika safar karena ketika itu adalah kondisi yang menyulitkan.
Kondisi kedua adalah jika tidak memberatkan untuk berpuasa dan tidak
menyulitkan untuk melakukan berbagai hal kebaikan, maka pada saat ini
lebih utama untuk berpuasa. Hal ini sebagaimana dicontohkan oleh Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, di mana beliau masih tetap berpuasa
ketika safar.
Dari Abu Darda’, beliau berkata,
خَرَجْنَا مَعَ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – فِى بَعْضِ أَسْفَارِهِ
فِى يَوْمٍ حَارٍّ حَتَّى يَضَعَ الرَّجُلُ يَدَهُ عَلَى رَأْسِهِ مِنْ
شِدَّةِ الْحَرِّ ، وَمَا فِينَا صَائِمٌ إِلاَّ مَا كَانَ مِنَ النَّبِىِّ
– صلى الله عليه وسلم – وَابْنِ رَوَاحَةَ
“Kami pernah keluar bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di
beberapa safarnya pada hari yang cukup terik. Sehingga ketika itu
orang-orang meletakkan tangannya di kepalanya karena cuaca yang begitu
panas. Di antara kami tidak ada yang berpuasa. Hanya Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam saja dan Ibnu Rowahah yang berpuasa ketika itu.”[4]
Apabila tidak terlalu menyulitkan ketika safar, maka puasa itu lebih
baik karena lebih cepat terlepasnya kewajiban. Begitu pula hal ini lebih
mudah dilakukan karena berpuasa dengan orang banyak itu lebih
menyenangkan daripada mengqodho’ puasa sendiri sedangkan orang-orang
tidak berpuasa.
Kondisi ketiga adalah jika berpuasa akan mendapati kesulitan yang berat
bahkan dapat mengantarkan pada kematian, maka pada saat ini wajib tidak
berpuasa dan diharamkan untuk berpuasa. Dari Jabir bin ‘Abdillah, beliau
berkata,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- خَرَجَ عَامَ الْفَتْحِ إِلَى
مَكَّةَ فِى رَمَضَانَ فَصَامَ حَتَّى بَلَغَ كُرَاعَ الْغَمِيمِ فَصَامَ
النَّاسُ ثُمَّ دَعَا بِقَدَحٍ مِنْ مَاءٍ فَرَفَعَهُ حَتَّى نَظَرَ
النَّاسُ إِلَيْهِ ثُمَّ شَرِبَ فَقِيلَ لَهُ بَعْدَ ذَلِكَ إِنَّ بَعْضَ
النَّاسِ قَدْ صَامَ فَقَالَ « أُولَئِكَ الْعُصَاةُ أُولَئِكَ الْعُصَاةُ
“Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar pada
tahun Fathul Makkah (8 H) menuju Makkah di bulan Ramadhan. Beliau ketika
itu berpuasa. Kemudian ketika sampai di Kuroo’ Al Ghomim (suatu lembah
antara Mekkah dan Madinah), orang-0rang ketika itu masih berpuasa.
Kemudian beliau meminta diambilkan segelas air. Lalu beliau
mengangkatnya dan orang-orang pun memperhatikan beliau. Lantas beliau
pun meminum air tersebut. Setelah beliau melakukan hal tadi, ada yang
mengatakan, “Sesungguhnya sebagian orang ada yang tetap berpuasa.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengatakan, “Mereka itu
adalah orang yang durhaka. Mereka itu adalah orang yang durhaka”.”[5] Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mencela keras seperti ini karena berpuasa dalam kondisi sangat-sangat sulit seperti ini adalah sesuatu yang tercela.
Kapan waktu diperbolehkan tidak berpuasa bagi musafir?
Dalam hal ini, kita mesti melihat beberapa keadaan:
Pertama, jika safar dimulai sebelum terbit fajar atau ketika fajar
sedang terbit dan dalam keadaan bersafar, lalu diniatkan untuk tidak
berpuasa pada hari itu; untuk kondisi semacam ini diperbolehkan untuk
tidak berpuasa berdasarkan kesepakatan para ulama. Alasannya, pada
kondisi semacam ini sudah disebut musafir karena sudah adanya sebab yang
memperbolehkan untuk tidak berpuasa.
Kedua, jika safar dilakukan setelah fajar (atau sudah di waktu siang),
maka menurut pendapat Imam Ahmad yang lain, juga pendapat Ishaq dan Al
Hasan Al Bashri, dan pendapat ini juga dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah, boleh berbuka (tidak berpuasa) di hari itu. Inilah pendapat
yang lebih kuat.
Dalil dari pendapat terakhir ini adalah keumuman firman Allah Ta’ala,
وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
“Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka
(wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu,
pada hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah: 185)
Dan juga hadits Jabir sebagaimana telah disebutkan di atas: “Sesungguhnya
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar pada tahun Fathul
Makkah (8 H) menuju Makkah di bulan Ramadhan. Beliau ketika itu
berpuasa. Kemudian ketika sampai di Kuroo’ Al Ghomim (suatu lembah
antara Mekkah dan Madinah), orang-0rang ketika itu masih berpuasa.
Kemudian beliau meminta diambilkan segelas air. Lalu beliau
mengangkatnya dan orang-orang pun memperhatikan beliau. Lantas beliau
pun meminum air tersebut. …
Begitu pula yang menguatkan hal ini adalah dari Muhammad bin Ka’ab. Dia mengatakan,
أَتَيْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ فِى رَمَضَانَ وَهُوَ يُرِيدُ سَفَرًا وَقَدْ
رُحِلَتْ لَهُ رَاحِلَتُهُ وَلَبِسَ ثِيَابَ السَّفَرِ فَدَعَا بِطَعَامٍ
فَأَكَلَ فَقُلْتُ لَهُ سُنَّةٌ قَالَ سُنَّةٌ. ثُمَّ رَكِبَ.
“Aku pernah mendatangi Anas bin Malik di bulan Ramadhan. Saat ini
itu Anas juga ingin melakukan safar. Dia pun sudah mempersiapkan
kendaraan dan sudah mengenakan pakaian untuk bersafar. Kemudian beliau
meminta makanan, lantas beliau pun memakannya. Kemudian aku mengatakan
pada Annas, “Apakah ini termasuk sunnah (ajaran Nabi)?” Beliau
mengatakan, “Ini termasuk sunnah.” Lantas beliau pun berangkat dengan
kendaraannya.”[6] Hadits ini merupakan dalil bahwa musafir boleh berbuka sebelum dia pergi bersafar.
Ketiga, jika berniat puasa padahal sedang bersafar, kemudian karena
suatu sebab di tengah perjalanan berbuka, maka hal ini diperbolehkan.
Alasannya adalah dalil yang telah kami sebutkan pada kondisi kedua dari
hadits Abu Darda: “Kami pernah keluar bersama Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam di beberapa safarnya pada hari yang cukup terik.
Sehingga ketika itu orang-orang meletakkan tangannya di kepalanya karena
cuaca yang begitu panas. Di antara kami tidak ada yang berpuasa. Hanya
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saja dan Ibnu Rowahah yang berpuasa
ketika itu.”[7]
Kapan berakhirnya keringanan untuk tidak berpuasa bagi musafir?
Berakhirnya keringanan (rukhsoh) bagi musafir untuk tidak berpuasa
adalah dalam dua keadaan: (1) ketika berniat untuk bermukim, dan (2)
jika telah kembali ke negerinya.
Jika orang yang bersafar tersebut kembali ke negerinya pada malam hari,
maka keesokan harinya dia wajib berpuasa tanpa ada perselisihan ulama
dalam hal ini.
Sedangkan apabila dia kembali pada siang hari, sedangkan sebelumnya
tidak berpuasa, apakah ketika dia sampai di negerinya, dia jadi ikut
berpuasa hingga berbuka?
Untuk kasus yang satu ini ada dua pendapat. Pendapat yang lebih tepat
adalah dia tidak perlu menahan diri dari makan dan minum. Jadi boleh
tidak berpuasa hingga waktu berbuka. Inilah pendapat Imam Asy Syafi’i
dan Imam Malik. Terdapat perkataan yang shohih dari Ibnu Mas’ud,
مَنْ أَكَلَ أَوَّلَ النَّهَارِ فَلْيَأْكُلْ آخِرَهُ
“Barangsiapa yang makan di awal siang, maka makanlah pula di akhir siang.”[8] Jadi, jika di pagi harinya tidak berpuasa, maka di siang atau sore harinya pun tidak perlu berpuasa.[9]
Ketiga: Orang yang sudah tua rentah dan dalam keadaan lemah, juga orang sakit yang tidak kunjung sembuh.
Para ulama sepakat bahwa orang tua yang tidak mampu berpuasa, boleh
baginya untuk tidak berpuasa dan tidak ada qodho baginya. Menurut
mayoritas ulama, cukup bagi mereka untuk memberi fidyah yaitu memberi
makan kepada orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan. Pendapat
mayoritas ulama inilah yang lebih kuat. Hal ini berdasarkan firman
Allah Ta’ala,
وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ
“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka
tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin.” (QS. Al Baqarah: 184)
Begitu pula orang sakit yang tidak kunjung sembuh, dia disamakan dengan
orang tua rentah yang tidak mampu melakukan puasa sehingga dia
diharuskan mengeluarkan fidyah (memberi makan kepada orang miskin bagi
setiap hari yang ditinggalkan).
Ibnu Qudamah mengatakan, “Orang sakit yang tidak diharapkan lagi
kesembuhannya, maka dia boleh tidak berpuasa dan diganti dengan memberi
makan kepada orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan. Karena
orang seperti ini disamakan dengan orang yang sudah tua.”[10]
Keempat: Wanita hamil dan menyusui.
Di antara kemudahan dalam syar’at Islam adalah memberi keringanan kepada
wanita hamil dan menyusui untuk tidak berpuasa. Jika wanita hamil takut
terhadap janin yang berada dalam kandungannya dan wanita menyusui takut
terhadap bayi yang dia sapih –misalnya takut kurangnya susu- karena
sebab keduanya berpuasa, maka boleh baginya untuk tidak berpuasa, dan
hal ini tidak ada perselisihan di antara para ulama. Dalil yang
menunjukkan hal ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ وَضَعَ عَنِ الْمُسَافِرِ شَطْرَ الصَّلاَةِ
وَعَنِ الْمُسَافِرِ وَالْحَامِلِ وَالْمُرْضِعِ الصَّوْمَ أَوِ الصِّيَامَ
“Sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla meringankan setengah shalat untuk
musafir dan meringankan puasa bagi musafir, wanita hamil dan menyusui.”[11]
Namun apa kewajiban wanita hamil dan menyusui jika tidak berpuasa,
apakah ada qodho’ ataukah mesti menunaikan fidyah? Inilah yang
diperselisihkan oleh para ulama.
Al Jashshosh rahimahullah mengatakan, “Para ulama salaf telah
berselisih pendapat dalam masalah ini menjadi tiga pendapat. ‘Ali
berpendapat bahwa wanita hamil dan menyusui wajib qodho’ jika keduanya
tidak berpuasa dan tidak ada fidyah ketika itu. Pendapat ini juga
menjadi pendapat Ibrahim, Al Hasan dan ‘Atho’. Ibnu ‘Abbas berpendapat
cukup keduanya membayar fidyah saja, tanpa ada qodho’. Sedangkan Ibnu
‘Umar dan Mujahid berpendapat bahwa keduanya harus menunaikan fidyah
sekaligus qodho’.”[12]
Pendapat terkuat adalah pendapat yang menyatakan cukup mengqodho’ saja. Ada dua alasan yang bisa diberikan,
Alasan pertama: dari hadits Anas bin Malik, ia berkata,
إِنَّ اللَّهَ وَضَعَ عَنْ الْمُسَافِرِ نِصْفَ الصَّلَاةِ وَالصَّوْمَ وَعَنْ الْحُبْلَى وَالْمُرْضِعِ
“Sesungguhnya Allah meringankan separuh shalat dari musafir, juga puasa dari wanita hamil dan menyusui.”[13]
Al Jashshosh rahimahullah menjelaskan, “Keringanan separuh
shalat tentu saja khusus bagi musafir. Para ulama tidak ada beda
pendapat mengenai wanita hamil dan menyusui bahwa mereka tidak
dibolehkan mengqoshor shalat. … Keringanan puasa bagi wanita hamil dan
menyusui sama halnya dengan keringanan puasa bagi musafir. … Dan telah
diketahui bahwa keringanan puasa bagi musafir yang tidak berpuasa adalah
mengqodhonya, tanpa adanya fidyah. Maka berlaku pula yang demikian pada
wanita hamil dan menyusui. Dari sini juga menunjukkan bahwa tidak ada
perbedaan antara wanita hamil dan menyusui jika keduanya khawatir
membahayakan dirinya atau anaknya (ketika mereka berpuasa) karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri tidak merinci hal ini.”[14]
Perkataan Al Jashshosh ini sebagai sanggahan terhadap pendapat yang
menyatakan wajib mengqodho’ bagi yang hamil sedangkan bagi wanita
menyusui adalah dengan mengqodho’ dan memberi makan kepada orang miskin
bagi setiap hari yang ditinggalkan.
Alasan kedua: Selain alasan di atas, ulama yang berpendapat cukup
mengqodho’ saja (tanpa fidyah) menganggap bahwa wanita hamil dan
menyusui seperti orang sakit. Sebagaimana orang sakit boleh tidak puasa,
ia pun harus mengqodho’ di hari lain. Ini pula yang berlaku pada wanita
hamil dan menyusui. Karena dianggap seperti orang sakit, maka mereka
cukup mengqodho’ sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Ta’ala,
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
“Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam
perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak
hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah: 184)
Pendapat ini didukung pula oleh ulama belakangan semacam Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz rahimahullah. Syaikh Ibnu Baz rahimahullahberkata,
“Hukum wanita hamil dan menyusui jika keduanya merasa berat untuk
berpuasa, maka keduanya boleh berbuka (tidak puasa). Namun mereka punya
kewajiban untuk mengqodho (mengganti puasa) di saat mampu karena mereka
dianggap seperti orang yang sakit. Sebagian ulama berpendapat bahwa
cukup baginya untuk menunaikan fidyah (memberi makan kepada orang
miskin) untuk setiap hari yang ia tidak berpuasa. Namun pendapat ini
adalah pendapat yang lemah. Yang benar, mereka berdua punya kewajiban
qodho’ (mengganti puasa) karena keadaan mereka seperti musafir atau
orang yang sakit (yaitu diharuskan untuk mengqodho’ ketika tidak
berpuasa, -pen). Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala (yang artinya),
“Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam
perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak
hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah: 184)[15]
Kondisi ini berlaku bagi keadaan wanita hamil dan menyusui yang masih mampu menunaikan qodho’[16].
Dalam kondisi ini dia dianggap seperti orang sakit yang diharuskan
untuk mengqodho’ di hari lain ketika ia tidak berpuasa. Namun apabila
mereka tidak mampu untukk mengqodho’ puasa, karena setelah hamil atau
menyusui dalam keadaan lemah dan tidak kuat lagi, maka kondisi mereka
dianggap seperti orang sakit yang tidak kunjung sembuhnya. Pada kondisi
ini, ia bisa pindah pada penggantinya yaitu menunaikan fidyah, dengan
cara memberi makan pada satu orang miskin setiap harinya.[17]
Catatan penting yang perlu diperhatikan bahwa wanita hamil dan menyusui
boleh tidak berpuasa jika memang ia merasa kepayahan, kesulitan, takut
membahayakan dirinya atau anaknya. Al Jashshosh rahimahullah mengatakan,
“Jika wanita hamil dan menyusui berpuasa, lalu dapat membahayakan diri,
anak atau keduanya, maka pada kondisi ini lebih baik bagi keduanya
untuk tidak berpuasa dan terlarang bagi keduanya untuk berpuasa. Akan
tetapi, jika tidak membawa dampak bahaya apa-apa pada diri dan anak,
maka lebih baik ia berpuasa, dan pada kondisi ini tidak boleh ia tidak
berpuasa.”[18]
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan Komentar Disini