Posted by Unknown on Jumat, April 10, 2015 in Islami | No comments
Tarawih dalam bahasa Arab adalah bentuk jama’ dari
تَرْوِيْحَةٌ yang berarti waktu sesaat untuk istirahat. (Lisanul ‘Arab, 2/462 dan Fathul Bari, 4/294)
Dan تَرْوِيْحَةٌ pada
bulan Ramadhan dinamakan demikian karena para jamaah beristirahat
setelah melaksanakan shalat tiap-tiap 4 rakaat. (Lisanul ‘Arab, 2/462)
“Tidaklah
(Rasulullah shallallahu`alaihi wasallam) melebihkan (jumlah rakaat)
pada bulan Ramadhan dan tidak pula pada selain bulan Ramadhan dari 11
rakaat.” (HR. Al-Imam Al-Bukhari)‘Aisyah radhiyallahu ‘anha dalam hadits
di atas mengisahkan tentang jumlah rakaat shalat malam Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam yang telah beliau saksikan sendiri yaitu 11
rakaat, baik di bulan Ramadhan atau bulan lainnya. “Beliaulah yang
paling mengetahui tentang keadaan Nabi shallallahu alaihi wasallam di
malam hari dari lainnya.” (Fathul Bari, 4/299)Asy-Syaikh Nashiruddin
Al-Albani rahimahullah berkata: “(Jumlah) rakaat (shalat tarawih) adalah
11 rakaat, dan kami memilih tidak lebih dari (11 rakaat) karena
mengikuti Rasulullah Shallallahu `alaihi wasallam , maka sesungguhnya
beliau shallallahu alaihi wasallam tidak melebihi 11 rakaat sampai
beliau shallallahu alaihi wasallam wafat.” (Qiyamu Ramadhan, hal. 22)
Shalat
yang dilaksanakan secara berjamaah pada malam-malam bulan Ramadhan
dinamakan tarawih. (Syarh Shahih Muslim, 6/39 dan Fathul Bari, 4/294).
Karena para jamaah yang pertama kali bekumpul untuk shalat tarawih
beristirahat setelah dua kali salam (yaitu setelah melaksanakan 2 rakaat
ditutup dengan salam kemudian mengerjakan 2 rakaat lagi lalu ditutup
dengan salam). (Lisanul ‘Arab, 2/462 dan Fathul Bari, 4/294)
Hukum Shalat Tarawih
Hukum shalat tarawih adalah
mustahab (sunnah), sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Imam An-Nawawi
rahimahullah ketika menjelaskan tentang sabda Nabi shallallahu alaihi
wasallam yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:
مَنْ قَامَ رَمَصَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa menegakkan Ramadhan
dalam keadaan beriman dan mengharap balasan dari Allah ta’ala , niscaya
diampuni dosa yang telah lalu.” (Muttafaqun ‘alaih)
“Yang dimaksud dengan qiyamu
Ramadhan adalah shalat tarawih dan ulama telah bersepakat bahwa shalat
tarawih hukumnya mustahab (sunnah).” (Syarh Shahih Muslim, 6/282). Dan
beliau menyatakan pula tentang kesepakatan para ulama tentang sunnahnya
hukum shalat tarawih ini dalam Syarh Shahih Muslim (5/140) dan Al-Majmu’
(3/526).
Ketika Al-Imam An-Nawawi
rahimahullah menafsirkan qiyamu Ramadhan dengan shalat tarawih maka
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah memperjelas kembali tentang hal
tersebut: “Maksudnya bahwa qiyamu Ramadhan dapat diperoleh dengan
melaksanakan shalat tarawih dan bukanlah yang dimaksud dengan qiyamu
Ramadhan hanya diperoleh dengan melaksanakan shalat tarawih saja (dan
meniadakan amalan lainnya).” (Fathul Bari, 4/295)
Mana yang lebih utama dilaksanakan secara berjamaah di masjid atau sendiri-sendiri di rumah?
Dalam masalah ini terdapat dua pendapat:
Pendapat pertama, yang utama adalah dilaksanakan secara berjamaah.
Ini adalah pendapat Al-Imam
Asy-Syafi’i dan sebagian besar sahabatnya, juga pendapat Abu Hanifah dan
Al-Imam Ahmad (Masaailul Imami Ahmad, hal. 90) dan disebutkan pula oleh
Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni (2/605) dan Al-Mirdawi dalam Al-Inshaf
(2/181) serta sebagian pengikut Al-Imam Malik dan lainnya, sebagaimana
yang telah disebutkan Al-Imam An-Nawawi rahimahullah dalam Syarh Shahih
Muslim (6/282).
Pendapat ini merupakan pendapat
jumhur ulama (Al-Fath, 4/297) dan pendapat ini pula yang dipegang
Asy-Syaikh Nashiruddin Al-Albani rahimahullah, beliau berkata:
“Disyariatkan shalat berjamaah pada qiyam bulan Ramadhan, bahkan dia
(shalat tarawih dengan berjamaah) lebih utama daripada (dilaksanakan)
sendirian…” (Qiyamu Ramadhan, hal.19-20).
Pendapat kedua, yang utama adalah dilaksanakan sendiri-sendiri.
Pendapat kedua ini adalah
pendapat Al-Imam Malik dan Abu Yusuf serta sebagian pengikut Al-Imam
Asy-Syafi’i. Hal ini sebutkan pula oleh Al-Imam An-Nawawi (Syarh Shahih
Muslim, 6/282).
Adapun dasar masing-masing pendapat tersebut adalah sebagai berikut:
Dasar pendapat pertama:
1. Hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha beliau berkata:
أَنَّ رَسُوْلَ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ لَيْلَةٍ فِي الْمَسْجِدِ
فَصَلَّى بِصَلاَتِهِ نَاسٌ، ثُمَّ صَلَّى مِنَ الْقَابِلَةِ فَكَثُرَ
النَّاسُ، ثُمَّ اجْتَمَعُوا مِنَ اللَّيْلَةِ الثَّالِثَةِِ أَوِ
الرَّابِعَةِ فَلَمْ يَخْرُجْ إِلَيْهِمْ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. فَلَمَّا أَصْبَحَ قَالَ: قَدْ رَأَيْتُ الَّذِي
صَنَعْتُمْ، وَلَمْ يَمْنَعْنِي مِنَ الْخُرُوْجِ إِلَيْكُمْ إِلاَّ أَنِّي
خَشِيْتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ. وَذَلِكَ فِيْ رَمَضَانَ
“Sesungguhnya Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam pada suatu malam shalat di masjid lalu para
shahabat mengikuti shalat beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, kemudian
pada malam berikutnya (malam kedua) beliau shalat maka manusia semakin
banyak (yang mengikuti shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam),
kemudian mereka berkumpul pada malam ketiga atau malam keempat. Maka
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tidak keluar pada mereka, lalu
ketika pagi harinya beliau shallallahu alaihi wasallam bersabda:
‘Sungguh aku telah melihat apa yang telah kalian lakukan, dan tidaklah
ada yang mencegahku keluar kepada kalian kecuali sesungguhnya aku
khawatir akan diwajibkan pada kalian,’ dan (peristiwa) itu terjadi di
bulan Ramadhan.” (Muttafaqun ‘alaih)
• Al-Imam An-Nawawi rahimahullah
berkata: “Dalam hadits ini terkandung bolehnya shalat nafilah (sunnah)
secara berjamaah akan tetapi yang utama adalah shalat sendiri-sendiri
kecuali pada shalat-shalat sunnah yang khusus seperti shalat ‘Ied dan
shalat gerhana serta shalat istisqa’, dan demikian pula shalat tarawih
menurut jumhur ulama.” (Syarh Shahih Muslim, 6/284 dan lihat pula
Al-Majmu’, 3/499;528)
• Tidak adanya pengingkaran Nabi
shallallahu alaihi wasallam terhadap para shahabat yang shalat
bersamanya (secara berjamaah) pada beberapa malam bulan Ramadhan.
(Al-Fath, 4/297 dan Al-Iqtidha’, 1/592)
2. Hadits Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu beliau berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
إِنَّ الرَّجُلَ إِذَا صَلَّى مَعَ اْلإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ حُسِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةٍ
“Sesungguhnya seseorang apabila
shalat bersama imam sampai selesai maka terhitung baginya (makmum) qiyam
satu malam penuh.” (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasai dan Ibnu
Majah)
Hadits ini dishahihkan oleh
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Shahih Sunan Abi Dawud (1/380).
Berkenaan dengan hadits di atas, Al-Imam Ibnu Qudamah mengatakan: “Dan
hadits ini adalah khusus pada qiyamu Ramadhan (tarawih).” (Al-Mughni,
2/606)
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah
berkata: “Apabila permasalahan seputar antara shalat (tarawih) yang
dilaksanakan pada permulaan malam secara berjamaah dengan shalat (yang
dilaksanakan) pada akhir malam secara sendiri-sendiri maka shalat
(tarawih) dengan berjamaah lebih utama karena terhitung baginya qiyamul
lail yang sempurna.” (Qiyamu Ramadhan, hal. 26)
3. Perbuatan ‘Umar bin
Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu dan para shahabat lainnya radiyallahu
‘anhum ‘ajma’in (Syarh Shahih Muslim, 6/282), ketika ‘Umar bin
Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu melihat manusia shalat di masjid pada
malam bulan Ramadhan, maka sebagian mereka ada yang shalat sendirian dan
ada pula yang shalat secara berjamaah kemudian beliau mengumpulkan
manusia dalam satu jamaah dan dipilihlah Ubai bin Ka’b radhiyallahu
‘anhu sebagai imam (lihat Shahih Al-Bukhari pada kitab Shalat Tarawih).
4. Karena shalat tarawih termasuk dari syi’ar Islam yang tampak maka serupa dengan shalat ‘Ied. (Syarh Shahih Muslim, 6/282)
5. Karena shalat berjamaah yang
dipimpin seorang imam lebih bersemangat bagi keumuman orang-orang yang
shalat. (Fathul Bari, 4/297)
Dalil pendapat kedua:
Hadits dari shahabat Zaid bin
Tsabit radhiyallahu `anhu, sesungguhnya Nabi shallallahu alaihi wasallam
bersabda: “Wahai manusia, shalatlah di rumah kalian! Sesungguhnya
shalat yang paling utama adalah shalatnya seseorang yang dikerjakan di
rumahnya kecuali shalat yang diwajibkan.” (Muttafaqun ‘alaih)
Dengan hadits inilah mereka
mengambil dasar akan keutamaan shalat tarawih yang dilaksanakan di rumah
dengan sendiri-sendiri dan tidak dikerjakan secara berjamaah. (Nashbur
Rayah, 2/156 dan Syarh Shahih Muslim, 6/282)
Pendapat yang rajih (kuat) dalam
masalah ini adalah pendapat pertama karena hujjah-hujjah yang telah
tersebut di atas. Adapun jawaban pemegang pendapat pertama terhadap
dasar yang digunakan oleh pemegang pendapat kedua adalah:
• Bahwasanya Nabi shallallahu
alaihi wasallam memerintahkan para shahabat untuk mengerjakan shalat
malam pada bulan Ramadhan di rumah mereka (setelah para shahabat sempat
beberapa malam mengikuti shalat malam secara berjamaah bersama Nabi
shallallahu ‘alaihi wassallam), karena kekhawatiran beliau shallallahu
alaihi wasallam akan diwajibkannya shalat malam secara berjamaah (Fathul
Bari, 3/18) dan kalau tidak karena kekhawatiran ini niscaya beliau akan
keluar menjumpai para shahabat (untuk shalat tarawih secara berjamaah)
(Al-Iqtidha’, 1/594). Dan sebab ini (kekhawatiran beliau shallallahu
alaihi wasallam akan menjadi wajib) sudah tidak ada dengan wafatnya Nabi
n. (Al-‘Aun, 4/248 dan Al-Iqtidha’, 1/595), karena dengan wafatnya
beliau shallallahu alaihi wasallam maka tidak ada kewajiban yang baru
dalam agama ini.
Dengan demikian maka pemegang
pendapat pertama telah menjawab terhadap dalil yang digunakan pemegang
pendapat kedua. Wallahu a’lam.
Waktu Shalat Tarawih
Waktu shalat tarawih adalah antara shalat ‘Isya hingga terbit fajar sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassallam:
إِنَّ اللهَ زَادَكُمْ صَلاَةً وَهِيَ الْوِتْرُ فَصَلُّوْهَا فِيْمَا بَيْنَ صَلاَةِ الْعِشَاءِ إِلَى صَلاَةِ الْفَجْرِ
“Sesungguhnya Allah telah
menambah shalat pada kalian dan dia adalah shalat witir. Maka lakukanlah
shalat witir itu antara shalat ‘Isya hingga shalat fajar.” (HR. Ahmad,
Asy-Syaikh Nashiruddin Al-Albani rahimahullah berkata: “(Hadits) ini
sanadnya shahih”, sebagaimana dalam Ash-Shahihah, 1/221 no.108)
Jumlah Rakaat dalam Shalat Tarawih
Kemudian untuk jumlah rakaat dalam shalat tarawih adalah 11 rakaat berdasarkan:
1. Hadits yang diriwayatkan dari
Abu Salamah bin ‘Abdurrahman, beliau bertanya pada ‘Aisyah radhiyallahu
‘anha tentang sifat shalat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pada
bulan Ramadhan, beliau menjawab:
مَا كَانَ يَزِيْدُ فِيْ رَمَضَانَ وَلاَ فِيْ غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً
…2. Dari Saaib bin Yazid beliau berkata:
أَمَرَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ أُبَيَّ بْنَ كَعْبٍ وَتَمِيْمًا الدَّارِيَّ أَنْ يَقُوْمَا لِلنَّاسِ بِإِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً
“’Umar bin Al-Khaththab
radhiyallahu ‘anhu memerintahkan pada Ubai bin Ka’b dan Tamim Ad-Dari
untuk memimpin shalat berjamaah sebanyak 11 rakaat.” (HR. Al-Imam Malik,
lihat Al-Muwaththa Ma’a Syarh Az-Zarqani, 1/361 no. 249)
Asy-Syaikh Nashiruddin Al-Albani
rahimahullah berkata dalam Al-Irwa (2/192) tentang hadits ini: “(Hadits)
ini isnadnya sangat shahih.” Asy-Syaikh Muhammad Al-‘Utsaimin
rahimahullah berkata: “Dan (hadits) ini merupakan nash yang jelas dan
perintah dari ‘Umar radhiyallahu ‘anhu, dan (perintah itu) sesuai
dengannya radhiyallahu ‘anhu karena beliau termasuk manusia yang paling
bersemangat dalam berpegang teguh dengan As Sunnah, apabila Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam tidak melebihkan dari 11 rakaat maka
sesungguhnya kami berkeyakinan bahwa ‘Umar radhiyallahu ‘anhu akan
berpegang teguh dengan jumlah ini (yaitu 11 rakaat).” (Asy-Syarhul
Mumti’)
Adapun pendapat yang menyatakan
bahwa shalat tarawih itu jumlahnya 23 rakaat adalah pendapat yang lemah
karena dasar yang digunakan oleh pemegang pendapat ini hadits-hadits
yang lemah. Di antara hadits-hadits tersebut:
1. Dari Yazid bin Ruman beliau berkata:
كَانَ النَّاسُ يَقُوْمُوْنَ فِيْ زَمَانِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فِيْ رَمَضَانَ بِثَلاَثٍ وَعِشْرِيْنَ رَكْعَةً
“Manusia menegakkan (shalat
tarawih) di bulan Ramadhan pada masa ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu
‘anhu 23 rakaat.” (HR. Al-Imam Malik, lihat Al-Muwaththa Ma’a Syarh
Az-Zarqaani, 1/362 no. 250)
Al-Imam Al-Baihaqi rahimahullah
berkata: “Yazid bin Ruman tidak menemui masa ‘Umar radiyallahu ‘anhu”.
(Nukilan dari kitab Nashbur Rayah, 2/154) (maka sanadnya
munqothi/terputus, red).
Asy-Syaikh Nashiruddin Al-Albani rahimahullah men-dha’if-kan hadits ini sebagaimana dalam Al-Irwa (2/192 no. 446).
2. Dari Abu Syaibah Ibrahim bin ‘Utsman dari Hakam dari Miqsam dari Ibnu ‘Abbas radiyallahu ‘anhu :
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُصَلِّى فِيْ رَمَضَانَ عِشْرِيْنَ رَكَعَةَ وَالْوِتْرَ
“Sesungguhnya Nabi shallallahu
alaihi wasallam shalat di bulan Ramadhan 20 rakaat dan witir.” (HR.
Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jamul Awsath, 5/324 no. 5440 dan 1/243 no. 798,
dan dalam Al-Mu’jamul Kabir, 11/311 no. 12102)
Al-Imam Ath-Thabrani rahimahullah
berkata: “Tidak ada yang meriwayatkan hadits ini dari Hakam kecuali Abu
Syaibah dan tidaklah diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas kecuali dengan sanad
ini saja.” (Al-Mu’jamul Ausath, 1/244)
Dalam kitab Nashbur Rayah (2/153)
dijelaskan: “Abu Syaibah Ibrahim bin ‘Utsman adalah perawi yang lemah
menurut kesepakatan, dan dia telah menyelisihi hadits yang shahih
riwayat Abu Salamah, sesungguhnya beliau bertanya pada ‘Aisyah
radhiyallahu ‘anha : “Bagaimana shalat Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam di bulan Ramadhan? (yaitu dalil pertama dari pendapat yang
pertama).” Asy-Syaikh Nashiruddin Al-Albani rahimahullah menyatakan
bahwa hadits ini maudhu’ (palsu). (Adh-Dha’ifah, 2/35 no. 560 dan
Al-Irwa, 2/191 no. 445)
Sebagai penutup kami mengingatkan
tentang kesalahan yang terjadi pada pelaksanaan shalat tarawih yaitu
dengan membaca dzikir-dzikir atau doa-doa tertentu yang dibaca secara
berjamaah pada tiap-tiap dua rakaat setelah salam. Amalan ini adalah
amalan yang bid’ah (tidak diajarkan oleh nabi shallallahu ‘alaihi
wassallam).
Wallahu a’lam
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan Komentar Disini