Posted by Unknown on Senin, April 13, 2015 in Islami | No comments
Awal dan Akhir Waktu Shalat Maghrib
Awal waktu maghrib adalah ketika
matahari tenggelam. Yang teranggap dalam tenggelamnya matahari adalah
hilangnya bulatannya, dan ini jelas sekali di daerah gurun. Adapun di
tempat yang memiliki bangunan dan di puncak-puncak gunung, yang
teranggap adalah tidak terlihat sedikitpun cahaya matahari di atas ujung
dinding dan puncak-puncak gunung serta telah datang gelap dari arah
timur. Adapun akhir waktu maghrib adalah saat hilangnya syafaq.1
(Al-Majmu’ 3/33, Asy-Syarhul Kabir lil Rafi’i 1/370, Raudhatu
Ath-Thalibin 1/208).
Hal ini ditunjukkan dalam hadits Abdullah bin ‘Amr ibnul ‘Ash c:
وَوَقْتُ صَلاَةِ الْمَغْرِبِ إِذَا غَابَتِ الشَّمْسُ مَا لَمْ يَسْقُطِ الشَّفَقُ
“Waktu shalat maghrib adalah bila matahari telah tenggelam selama belum jatuh/hilang syafaq.” (HR. Muslim no. 1388)
Demikian pula dalam hadits Abu Hurairah z:
وَإِنَّ أَوَّلَ وَقْتِ الْمَغْرِبِ حِيْنَ تَغْرُبُ الشَّمْسُ وَإِنَّ آخِرَ وَقْتِهَا حِيْنَ يَغِيْبُ الْأُفُقُ
“Awal waktu shalat maghrib adalah
ketika matahari tenggelam dan akhir waktunya ketika tenggelam ufuk.”
(HR. At-Tirmidzi no. 151 dan selainnya. Al-Imam Al-Albani berkata:
“Sanadnya shahih menurut syarat Al-Bukhari dan Muslim”, Ats-Tsamarul
Mustathab 1/56 dan Ash-Shahihah no. 1696)
Salamah ibnul Akwa’ z berkata:
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ n كَانَ يُصَلِّي الْمَغْرِبَ إِذَا غَرَبَتِ الشَّمْسُ وَتَوَارَتْ بِالْحِجَابِ
“Rasulullah n mengerjakan shalat
maghrib ketika matahari tenggelam dan tersembunyi/tertutup dari
pandangan.” (HR. Al-Bukhari no. 561 dan Muslim no. 1438)
Dalam permasalahan awal waktu ini
terjadi kesepakatan di kalangan ulama. Namun untuk akhir waktu maghrib,
ada perbedaan pendapat.
Sebagian ahlul ilmi berpendapat
bahwa maghrib hanya memiliki satu waktu, dengan dalil hadits Jibril yang
mengimami Rasulullah n dalam dua hari. Dalam dua hari tersebut Jibril
mengerjakan shalat maghrib hanya di satu waktu (hari kedua sama waktunya
dengan hari pertama) yaitu ketika matahari tenggelam, saat orang yang
berpuasa berbuka dari puasanya. Ini merupakan pendapat Ibnul Mubarak,
Malik, Al-Auza’i, dan Asy-Syafi’i. (Al-Majmu’ 3/33, At-Tahdzib lil
Baghawi 2/10, Asy-Syarhul Kabir lil Rafi’i 1/370, Al-Mughni Kitab
Ash-Shalah, Mas`alah Wa Idza Ghabatisy Syamsu Wajabatil Maghrib…,
Al-Mabsuth 1/134, Nailul Authar 1/447 ).
Namun hadits-hadits yang shahih
menunjukkan bahwa waktu shalat maghrib dipanjangkan sampai hilangnya
syafaq. Ini adalah pendapat lama (qadim) dari Al-Imam Asy-Syafi’i t.
Pendapat inilah yang dishahihkan oleh sekelompok Syafi’iyyah dan dipilih
serta dibela oleh An-Nawawi t dalam Al-Majmu’. Ini juga merupakan
pendapat Ats-Tsauri, Abu Hanifah, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur, dan ashabur
ra`yi. Sementara hadits Jibril hanyalah menunjukkan waktu utama
dikerjakannya shalat maghrib dan sebagai pengabaran. (Al-Majmu’ 3/34,
At-Tahdzib lil Baghawi 2/10, Raudhatu Ath-Thalibin 1/209, Al-Mughni
Kitab Ash-Shalah, Mas`alah Wa Idza Ghabatisy Syamsu Wajabatil Maghrib…,
Ats-Tsamarul Mustathab 1/60)
Ibnu Hazm t mengomentari pendapat
yang mengatakan maghrib hanya satu waktunya dengan mengatakan, “Ini
merupakan pendapat yang jelas/tampak sekali kontradiksinya, tanpa ada
burhan (dalil).” Ibnu Hazm juga mengatakan bahwa pendapat ini batal dari
beberapa sisi. (Al-Muhalla, 2/200,203)
Bersegera Mengerjakan Shalat Maghrib
Rafi’ ibnu Khadij z mengabarkan:
كُنَّا نُصَلِّي الْمَغْرِبَ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ n فَيَنْصَرِفُ أَحَدُنَا وَإِنَّهُ لَيُبْصِرُ مَوَاقِعَ نَبْلِهِ
“Kami shalat maghrib bersama
Rasulullah n, lalu salah seorang dari kami berlalu (setelah mengerjakan
shalat maghrib) dan ia masih bisa melihat tempat jatuhnya anak
panahnya.” (HR. Al-Bukhari no. 559 dan Muslim no. 1439)
Kata Al-Imam An-Nawawi t, “Makna
hadits ini adalah Rasulullah n menyegerakan shalat maghrib di awal
waktunya dengan semata-mata tenggelamnya matahari, hingga kami selesai
dari shalat dan salah seorang dari kami melempar anak panahnya dari
busurnya, maka ia masih dapat melihat tempat jatuhnya anak panah
tersebut, karena masih adanya cahaya/belum gelap gulita.” (Al-Minhaj,
5/138)
Disenangi bersegera melaksanakan shalat maghrib ini sebelum munculnya bintang-bintang. Nabi n bersabda:
لاَ تَزَالُ أُمَّتِي بِخَيْرٍ– أَوْ عَلَى الْفِطْرَةِ- مَا لَمْ يُؤَخِّرُوا الْمَغْرِبَ حَتَّى تَشْتَبِكَ النُّجُوْمُ
“Terus menerus umatku dalam
kebaikan –atau: di atas fithrah– selama mereka tidak mengakhirkan shalat
maghrib hingga munculnya bintang-bintang.” (HR. Ahmad 4/147, Abu Dawud
no. 418. Al-Imam Al-Albani berkata, “Hadits ini shahih dari banyak
jalan.” Lihat Ats-Tsamarul Mustathab 1/61)
Adapun kelompok sesat Rafidhah
justru menyelisihi hadits di atas. Mereka menganggap mustahab
mengakhirkan shalat maghrib sampai munculnya bintang-bintang. (Al-Hawil
Kabir 2/19, Nailul Authar 1/448)
Namun penyegeraan ini tidaklah
berarti bahwa setelah adzan maghrib langsung iqamah dan tidak boleh
mengerjakan shalat dua rakaat sebelumnya. Karena justru Nabi n pernah
bersabda:
بَيْنَ كُلِّ أَذَانَيْنِ صَلاَةٌ، بَيْنَ كُلِّ أَذَانَيْنِ صَلاَةٌ، لِمَنْ شَاءَ
“Di antara dua adzan2 ada shalat,
di antara dua adzan ada shalat, bagi siapa yang mau mengerjakannya.”
(HR. Al-Bukhari no. 624 dan Muslim no. 1937)
Dalam satu riwayat disebutkan Rasulullah n bersabda:
صَلُّوْا قَبْلَ الْمَغْرِبِ رَكْعَتَيْنِ، صَلُّوْا قَبْلَ الْمَغْرِبِ رَكْعَتَيْنِ، لِمَنْ شَاءَ
“Shalatlah sebelum maghrib dua
rakaat, shalatlah sebelum maghrib dua rakaat, bagi siapa yang mau
mengerjakannya.” (HR. Al-Bukhari no. 1183)
Rasulullah n mengatakan: “Bagi
siapa yang mau mengerjakannya”, karena beliau tidak suka orang-orang
menjadikannya sebagai suatu sunnah yang ditetapkan.
Tidak Boleh Menamakan Shalat Maghrib dengan Nama Isya
Tidak disukai menamakan maghrib
dengan isya3 sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang A’rab (badui).
(Al-Majmu’ 3/39, Nailul Authar 1/455)
Karena Rasulullah n bersabda:
لاَ تَغْلِبَنَّكُمُ الْأَعْرَابُ عَلَى اسْمِ صَلاَتِكُمُ الْمَغْرِبِ. قال: وَتَقُوْلُ الْأَعْرَابُ: هِيَ الْعِشَاءُ
“Jangan sekali-kali orang-orang
A’rab mengalahkan kalian dalam penamaan shalat maghrib kalian ini.”
Beliau mengatakan, “Orang-orang A’rab menamakan shalat maghrib dengan
shalat isya.” (HR. Al-Bukhari no. 563)
As-Sindi berkata, “Seakan-akan
yang diinginkan dalam hadits ini dan yang semisalnya adalah larangan
dari memperbanyak penggunaan bahasa A’rabi (bahasa orang badui). Di mana
bahasa A’rab ini sampai mengalahkan nama yang syar’i, sehingga menjadi
sedikit penggunaan nama syar’i di tengah manusia dan nama dari A’rab
malah banyak tersebar.” (Hasyiyatus Sindi li Shahihil Al-Bukhari 1/107)
Wallahu a’lam bish-shawab.
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan Komentar Disini