Posted by Unknown on Selasa, April 14, 2015 in Islami | No comments
Sering diantara kita (kaum wanita,akhwat) masih kesulitan maupun bingung
membedakan antara darah haidh dan darah istihadhah. Agar bertambah
keilmuwan kita tentang masalah istihadhah ini maka ada baiknya kita
membaca artikel istihadhah yang dibahas secara tuntas dan jelas pada
kajian haidh kali ini. Nah, selamat membaca ukhti-ukhti semua…
TA’RIF/PENGERTIAN ISTIHADHAH
Di kalangan wanita ada yang mengeluarkan darah dari farji-nya di luar
kebiasaan bulanan dan bukan karena sebab kelahiran. Darah ini
diistilahkan darah istihadlah. Al Imam An Nawawi rahimahullah dalam
Syarah-nya terhadap Shahih Muslim mengatakan : “Istihadlah adalah darah
yang mengalir dari kemaluan wanita bukan pada waktunya dan keluarnya
dari urat.” (Shahih Muslim bi Syarhin Nawawi 4/17. Lihat pula Fathul
Bari 1/511)
Al Imam Al Qurthubi rahimahullah mensifatkannya dengan darah segar yang
di luar kebiasaan seorang wanita disebabkan urat yang terputus (Lihat
Jami’ li Ahkamil Qur’an 3/57)
As Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah memberikan
definisi istihadlah dengan darah yang terus menerus keluar dari seorang
wanita dan tidak terputus selama-lamanya atau terputus sehari dua hari
dalam sebulan. Dalil keadaan yang pertama (darahnya tidak terputus
selama-lamanya) dibawakan Al Imam Al Bukhari dalam Shahihnya dari hadits
Aisyah radhiallahu ‘anha, ia berkata :
“Berkata Fathimah bintu Abi Hubaisy kepada Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wa Sallam : ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku tidak pernah
suci… .’ “ (HR. Bukhari no. 306, 328, dan Muslim 4/16-17) Dalam riwayat
lain : ‘Aku istihadlah tidak pernah suci… .’
Adapun dalil keadaan kedua adalah hadits Hamnah bintu Jahsyin
radhiallahu ‘anha ketika dia datang kepada Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wa Sallam dan mengadukan keadaan dirinya :
“Aku pernah ditimpa istihadlah (darah yang keluar) sangat banyak dan
deras… .” (HR. Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi dan dishahihkannya. Dinukilkan
dari Al Imam Ahmad akan penshahihan beliau terhadap hadits ini dan dari
Al Imam Al Bukhari penghasanannya)
(Lihat Kitab Asy Syaikh Al Utsaimin rahimahullah : Risalah fid Dima’ith Thabi’iyyah Lin Nisa’ halaman 40)
PERBEDAAN ANTARA DARAH HAID DAN DARAH ISTIHADLAH
Ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam diadukan oleh Hamnah
radhiallahu ‘anha tentang istihadlah yang menimpanya, beliau berkata :
“Yang demikian hanyalah satu gangguan/dorongan dari setan.”
Atau dalam riwayat Shahihain dari hadits Fathimah bintu Abi Hubaisy, beliau mengatakan tentang istihadlah :
“Yang demikian itu hanyalah darah dari urat bukan haid.”
Hal ini menunjukkan bahwa istihadlah tidak sama dengan haid yang
sifatnya alami, artinya mesti dialami oleh setiap wanita yang normal
sebagai salah satu tanda baligh. Namun istihadlah adalah satu penyakit
yang menimpa kaum hawa dari perbuatannya syaithan yang berjalan di tubuh
anak Adam seperti jalanny` darah. Syaithan ingin memberikan keraguan
terhadap anak Adam dalam pelaksanaan ibadahnya dengan segala cara. Kata
Al Imam As Shan’ani dalam Subulus Salam (1/159) : “Makna sabda Nabi :
(‘Yang demikian hanyalah satu dorongan/gangguan dari syaithan’) adalah
syaithan mendapatkan jalan untuk membuat kerancuan terhadapnya dalam
perkara agamanya, masa sucinya dan shalatnya hingga syaithan
menjadikannya lupa terhadap kebiasaan haidnya.”
Al Imam As Shan’ani melanjutkan : “Hal ini tidak menafikkan sabda Nabi
yang mengatakan bahwa darah istihadlah dari urat yang dinamakan ‘aadzil
karena dimungkinkan syaithan mendorong urat tersebut hingga terpancar
darah darinya.” (Subulus Salam 1/159)
Keberadaan darah istihadlah bersama darah haid merupakan suatu masalah
yang rumit, kata Ibnu Taimiyyah, hingga harus dibedakan antara keduanya.
Caranya bisa dengan ‘adat (kebiasaan haid) atau dengan tamyiz
(membedakan sifat darah).
Perbedaan antara darah istihadlah dengan darah haid adalah darah haid
merupakan darah alami, biasa dialami wanita normal dan keluarnya dari
rahim sedangkan darah istihadlah keluar karena pecahnya urat, sifatnya
tidak alami (tidak mesti dialami setiap wanita) dan keluarnya dari urat
yang ada di sisi rahim. Ada perbedaan lain dari sifat darah haid bila
dibandingkan dengan darah istihadlah :
- Perbedaan warna. Darah haid umumnya hitam sedangkan darah istihadlah umumnya merah segar.
- Kelunakan dan kerasnya. Darah haid sifatnya keras sedangkan istihadlah lunak.
- Kekentalannya. Darah istihadlah mengental sedangkan darah haid sebaliknya.
- Aromanya. Darah haid beraroma tidak sedap/busuk.
KEADAAN WANITA YANG ISTIHADLAH
Wanita yang istihadlah ada beberapa keadaan :
Pertama : Dia memiliki kebiasaan haid yang tertentu sebelum ia ditimpa
istihadlah. Hingga tatkala keluar darah dari kemaluannya untuk
membedakan apakah darah tersebut darah haid atau darah istihadlah, ia
kembali kepada kebiasaan haidnya yang tertentu. Dia meninggalkan shalat
dan puasa di hari-hari kebiasaan haidnya dan berlaku padanya hukum-hukum
wanita haid, adapun di luar kebiasaan haidnya bila keluar darah maka
darah tersebut adalah darah istihadlah dan berlaku padanya hukum-hukum
wanita yang suci.
Misalnya : Seorang wanita haidnya datang selama enam hari di tiap awal
bulan. Kemudian dia ditimpa istihadlah dimana darahnya keluar
terus-menerus. Maka cara dia menetapkan apakah haid dan istihadlah
adalah enam hari yang awal di tiap bulannya adalah darah haid sedangkan
selebihnya adalah darah istihadlah. Hal ini berdasarkan hadits Aisyah
radhiallahu ‘anha yang mengabarkan kedatangan Fathimah bintu Abi Hubaisy
guna mengadu kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam :
“Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku tidak suci maka apakah aku harus
meninggalkan shalat?” Nabi menjawab : “(Tidak, engkau tetap mengerjakan
shalat). Itu hanyalah darah karena terputusnya urat. Apabila datang saat
haidmu tinggalkanlah shalat dan bila telah berlalu hari-hari yang
engkau biasa haid, cucilah darahmu dan setelah itu shalatlah.”
Dalam Shahih Muslim disebutkan bahwasannya Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam berkata kepada Ummu Habibah bintu Jahsyin :
“Diamlah engkau (tinggalkan shalat) sekadar hari-hari haidmu kemudian mandilah dan setelah itu shalatlah.” (HR. Muslim 4/25-26)
Dengan demikian, wanita yang keadaannya seperti ini dia meninggalkan
shalat di hari-hari kebiasaan haidnya kemudian dia mandi, setelah itu ia
boleh mengerjakan shalat dan tidak usah mempedulikan darah yang keluar
setelah itu karena darah tersebut adalah darah istihadlah dan dia
hukumnya sama dengan wanita yang suci.
Keadaan kedua : Wanita itu tidak memiliki kebiasaan haid yang tertentu
sebelum ia ditimpa istihadlah namun ia bisa membedakan darah. Maka untuk
membedakan antara darah haid dan darah istihadlah ialah memakai cara
tamyiz (membedakan darah). Darah haid dikenal dengan warnanya yang hitam
dan beraroma tidak sedap, bila dia dapatkan demikian maka berlaku
padanya hukum-hukum haid sedangkan di luar dari itu berarti dia
istihadlah.
Misalnya seorang wanita melihat darah keluar dari kemaluannya
terus-menerus, akan tetapi sepuluh hari yang awal dia melihat darahnya
hitam sedangkan selebihnya berwarna merah, atau sepuluh hari awal berbau
darah haid selebihnya tidak berbau, berarti sepuluh hari yang awal itu
dia haid, selebihnya istihadlah, berdasarkan ucapan Nabi Shallallahu
‘Alaihi Wa Sallam kepada Fathimah bintu Abi Hubaisy :
“Apabila darah itu darah haid maka dia berwarna hitam yang dikenal.
Apabila demikian berhentilah dari shalat. Namun bila bukan demikian
keadaannya berwudlulah dan shalatlah.” (HR. Abu Daud, An Nasa’i, dan
lain-lain. Dishahihkan oleh As Syaikh Al Albani rahimahullah, lihat
keterangannya dalam shahih Abu Daud 283, 284)
MASALAH
Bila seorang wanita yang istihadlah punya ‘adat haid dan bisa membedakan
sifat darah (tamyiz), manakah yang harus dia dahulukan, ‘adat atau
tamyiz? Dalam hal ini ada perbedaan pendapat di kalangan ahli ilmu. Ada
yang berpendapat tamyiz yang didahulukan sebagaimana pendapatnya Imam
Malik, Ahmad, dan Syafi’i. Ada pula yang berpendapat ‘adat didahulukan
sebagaimana pendapatnya Abu Hanifah dan pendapat ini yang dikuatkan Ibnu
Taimiyyah dan juga Syaikh Ibnu Utsaimin dari kalangan mutaakhirin.
Dengan demikian bila ada seorang wanita memiliki ‘adat (kebiasaan haid) 5
hari, pada hari keempat dari ‘adat-nya keluar darah berwarna merah
(sebagaimana darah istihadlah) namun pada hari kelima darah yang keluar
kembali berwarna hitam maka ia berpegang dengan ‘adat-nya yang lima
hari, sehingga hari keempat (yang keluar darinya darah berwarna merah)
tetap terhitung dalam hari haidnya. Wallahu A’lam.
Keadaan ketiga : Wanita itu tidak memiliki kebiasaan haid (‘adat) dan
tidak pula dapat membedakan darahnya (tamyiz) di mana darah keluar
terus-menerus sejak awal dia melihat darah keluar dari kemaluannya dan
sifatnya satu atau sifat darah itu tidak jelas maka untuk membedakan
haid dan istihadlahnya adalah dia melihat kebiasaan kebanyakan wanita
yaitu dia menganggap dirinya haid selama enam atau tujuh hari pada
setiap bulannya dan dimulai sejak awal dia melihat keluarnya darah,
adapun selebihnya berarti istihadlah.
Misalnya seorang wanita melihat darah pertama kalinya pada hari Kamis
bulan Ramadhan dan darah itu terus keluar tanpa dapat dibedakan apakah
haid ataukah selainnya maka dia menganggap dirinya haid selama enam atau
tujuh hari, dimulai dari hari Kamis. Hal ini berdasarkan hadits Hamnah
bintu Jahsyin radhiallahu ‘anha, ia berkata :
“Aku istihadlah banyak dan deras sekali. Maka aku mendatangi Nabi
Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam untuk meminta fatwanya. Beliau bersabda :
‘Yang demikian itu hanyalah satu gangguan dari syaithan maka berhaidlah
engkau selama enam atau tujuh hari, kemudian setelah lewat dari itu
mandilah, hingga engkau lihat dirimu telah suci maka shalatlah selama 24
atau 23 siang malam, puasalah dan shalatlah. Maka hal tersebut
mencukupimu. Demikianlah, lakukan hal ini setiap bulannya sebagaimana
para wanita berhaid.’ ”
Kata Al Imam As Shan’ani : “Dalam hadits ini (untuk menentukan haid
dengan yang selainnya) Nabi mengembalikan kepada kebiasaan umumnya para
wanita.” (Subulus Salam 1/159)
Wanita yang keadaannya seperti ini ia menganggap dirinya suci selama 24
hari bila haidnya terhitung enam hari atau ia menganggap dirinya suci
selama 23 hari bila haidnya selama tujuh hari.
Untuk menentukan enam atau tujuh hari bukan dengan seenaknya memilih
namun si wanita melihat kepada wanita lain yang paling dekat
kekerabatannya dengannya dan berdekatan umur dengannya dan dia
sesuaikan. Al Imam As Shan’ani mengatakan : “Ucapan Nabi dalam hadits :1 ini
bukanlah syak (keraguan) dari rawi (yakni rawi ragu apakah Nabi
mengatakan enam atau tujuh, pent.) dan bukan pula takhyir (disuruh
memilih antara enam atau tujuh, pent.). Nabi mengatakan demikian untuk
mengumumkan bahwasannya bagi wanita ada salah satu dari dua ‘adat (enam
atau tujuh), di antara mereka ada yang berhaid enam hari dan ada yang
tujuh hari. Maka seorang wanita itu mengembalikan kebiasaannya kepada
wanita yang sama usia dengannya dan memiliki keserupaan dengannya.”
(Subulus Salam halaman 160)
Berkata para ahli fiqih : “Apabila wanita yang istihadlah memiliki ‘adat
yang tetap dan pasti maka ia berhenti shalat dan puasa pada hari-hari
‘adat-nya tersebut (bila ia melihat darah) karena ‘adat lebih kuat dari
selainnya. Apabila ia tidak mengetahui ‘adat-nya maka ia melakukan
tamyiz (membedakan darah). Apabila ia tidak mampu membedakan darah maka
ia melihat kebiasaan umumnya wanita.” (Bulughul Maram dengan catatan
kaki yang berisi pembahasan As Syaikh Al Albani. Penjelasan Abdullah Al
Bassam dan beberapa ulama Salaf halaman 54)
Bagaimana cara menentukan antara haid dan istihadlah bagi wanita yang
baru pertama kali keluar darah dari kemaluannya dan darah tersebut
keluar terus-menerus? Maka bila ia mampu melakukan tamyiz perkaranya
mudah. Kalau ia tidak dapat membedakan antara darah haid dengan darah
istihadlah maka ia melihat keadaan umumnya wanita yang ada di sekitarnya
yakni ia berhaid selama enam atau tujuh hari setelah itu ia mandi
walaupun darah masih terus mengalir.
Adapun wanita yang lupa waktu dan bilangan hari haidnya dan tidak dapat
membedakannya sementara darah terus–menerus keluar, maka berselisih
ulama dalam urusannya. Ada yang berkata hukumnya sama dengan wanita baru
haid yang tidak dapat membedakan darahnya. Ada yang berkata : Untuk
kehati-hatian dia anggap dirinya haid hingga tidak halal bagi suaminya
untuk menggaulinya dan di sisi lain dia anggap dirinya suci hingga ia
terus shalat dan puasa. Ada yang mengatakan dia menetapkan hari-hari
haidnya setiap awal bulan dan jumlah harinya sama dengan wanita di
sekitarnya. Yang lain mengatakan dia harus berusaha sungguh-sungguh
untuk membedakan darahnya semampu dia dan berusaha mengingat keadaan
haidnya. (Lhhat Al Majmu’ Syarhil Muhadzdzab 2/396 dan seterusnya)
BERAPA KALI HAID SEHINGGA BISA DIANGGAP SEBAGAI ‘ADAT
Tidak ada dalil yang jelas dalam hal ini. Adapun As Syaikh Ibnu Utsaimin
berpendapat minimal tiga kali haid baru teranggap ‘adat. Jadi misalnya
seorang wanita memiliki ‘adat 5 hari. Di bulan Sya’ban ia haid sesuai
‘adat-nya yaitu 5 hari. Namun di bulan Ramadhan keluar darahnya selama
tujuh hari maka hari ke-6 dan ke-7 dia tetap puasa karena darah yang
keluar tersebut teranggap darah penyakit. Pada bulan Syawal keluar lagi
darahnya selama tujuh hari namun ia menganggap dirinya telah suci pada
hari ke-5 sesuai ‘adat-nya. Pada bulan berikutnya (Dzulqa’dah) ia haid
lagi selama tujuh hari maka sekarang tahulah dia bahwa
kebiasaan/’adat-nya telah berubah menjadi tujuh hari. Adapun puasanya di
bulan Ramadhan (pada hari ke-6 dan ke-7 di atas) tidaklah sah dan harus
diqadla. Wallahu a’lam.
HUKUM-HUKUM ISTIHADLAH
Hukum wanita yang istihadlah sebagaimana hukum wanita yang suci, tidak ada bedanya kecuali pada hal berikut ini :
Pertama : Wanita istihadlah bila ingin wudlu maka ia mencuci bekas darah
dari kemaluannya dan menahan darahnya dengan kain berdasarkan sabda
Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam kepada Hamnah.
Kedua : Dalam hal senggama dengan istri yang sedang istihadlah, ulama
telah berselisih tentang kebolehannya, namun tidak dinukilkan dari
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam adanya larangan, padahal banyak
wanita yang ditimpa istihadlah pada masa beliau. Dan juga Allah Ta’ala
berfirman :
“Maka jauhilah (jangan menyetubuhi) para istri ketika mereka sedang haid.” (Al Baqarah : 222)
Dalam ayat di atas, Allah Ta’ala hanya menyebutkan haid, yang berarti
selain haid tidak diperintahkan untuk menjauhi istri. (Risalah fid
Dimaa’ halaman 50)
APAKAH WAJIB MANDI SETIAP AKAN SHALAT ?
Aisyah radhiallahu ‘anha mengatakan bahwa Ummu Habibah istihadlah selama
7 tahun dan ia menanyakan perkaranya kepada Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wa Sallam. Maka beliau memerintahkan kepada Ummu Habibah untuk
mandi dan beliau mengatakan : “Darah itu dari urat.” Adalah Ummu Habibah
mandi setiap akan shalat. (HR. Bukhari dalam Shahih-nya nomor 317 dan
Muslim halaman 23)
Al Imam Muslim meriwayatkan hadits ini dari jalan Al Laits bin Sa’ad
dari Ibnu Syihab dari Urwah dari Aisyah. Dan pada akhir hadits, Al Laits
berkata : “Ibnu Syihab tidak menyebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wa Sallam memerintahkan Ummu Habibah bintu Jahsyin untuk mandi
setiap akan shalat, akan tetapi hal itu dilakukan atas kehendak Ummu
Habibah sendiri. Dengan demikian Al Laits berpendapat mandi setiap akan
shalat bagi wanita istihadlah bukanlah dari perintah Nabi Shallallahu
‘Alaihi Wa Sallam. Dan apa yang dipandang oleh Al Laits ini juga
merupakan pendapatnya Jumhur Ulama sebagaimana dinukilkan dari mereka
oleh Al Imam An Nawawi dalam Syarhu Muslim (4/19) dan Al Hafidh Ibnu
Hajar dalam Fathul Bari 1/533. Al Imam An Nawawi berkata : “Ketahuilah
tidak wajib bagi wanita istihadlah untuk mandi ketika akan mengerjakan
shalat, tidak pula wajib mandi dari satu waktu yang ada kecuali sekali
saja setiap berhentinya haid. Dengan ini berpendapat Jumhur Ulama dari
kalangan Salaf
dan Khalaf.” (4/19-20)
dan Khalaf.” (4/19-20)
Adapun hadits yang ada tambahan lafadh :
“Nabi memerintahkannya (Ummu Habibah) untuk mandi setiap akan shalat.”
Adalah tambahan yang syadz karena Ibnu Ishaq –seorang perawi hadits ini–
salah dalam membawakan riwayat sementara para perawi lainnya yang lebih
kuat, meriwayatkan hadits ini dari Ibnu Syihab dengan lafadh : “Adalah
Ummu Habibah mandi setiap akan shalat.” Dan perbedaan antara kedua
lafadh ini jelas sekali. Bahkan Laits bin Sa’ad dan Sufyan Ibnu ‘Uyainah
–dua dari perawi yang kuat– jelas-jelas mengatakan dalam riwayat Abu
Daud bahwasannya Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam tidak memerintah
Ummu Habibah untuk mandi. (Lihat Jami’ Ahkamin Nisa’ 1/220-221)
As Syaikh Shiddiq berkata dalam Syarah Ar Raudlah : “Tidak datang dalam
satu hadits pun (yang shahih) adanya kewajiban mandi untuk setiap shalat
(bagi wanita istihadlah), tidak pula mandi setiap dua kali shalat dan
tidak pula setiap hari. Tapi yang shahih adalah kewajiban mandi ketika
selesai dari waktu haid yang biasanya (menurut ‘adat) atau selesainya
waktu haid dengan tamyiz sebagaimana datang dalam hadits Aisyah dalam
Shahihain dan selainnya dengan lafadh : “Maka apabila datang haidmu,
tinggalkanlah shalat dan bila berlalu cucilah darah darimu dan
shalatlah.” Adapun dalam Shahih Muslim disebutkan Ummu Habibah mandi
setiap akan shalat maka ini bukanlah hujjah karena hal itu dilakukan
atas kehendaknya sendiri dan bukan diperintahkan oleh Nabi Shallallahu
‘Alaihi Wa Sallam, bahkan yang ada, Nabi mengatakan kepadanya : “Diamlah
engkau (tinggalkan shalat) sekadar hari haidmu kemudian (bila telah
suci) mandilah.” (Lihat Bulughul Maram halaman 53 dengan catatan kaki
pembahasan As Syaikh
Al Albani dan lain-lain)
Al Albani dan lain-lain)
Mandi setiap akan shalat bagi wanita istihadlah merupakan suatu
kesulitan sementara kita tahu bahwa syariat ini mudah. Allah Ta’ala
berfirman :
“Allah tidak menjadikan bagi kalian dalam agama ini suatu kesulitan.” (Al Hajj : 78)
Ibnu Taimiyyah berpendapat sebagaimana dinukil dalam kitab Bulughul
Maram (halaman 53 dengan catatan kaki) bahwasannya mandi setiap shalat
ini hanyalah sunnah tidak wajib menurut pendapat imam yang empat, bahkan
yang wajib bagi wanita istihadlah adalah wudlu setiap shalat lima waktu
menurut pendapat jumhur, di antaranya Abu Hanifah, Malik, dan Ahmad.
APAKAH WAJIB WUDLU SETIAP AKAN SHALAT ?
Al Imam Al Bukhari meriwayatkan dengan sanadnya sampai kepada Aisyah
radhiallahu ‘anha bahwasannya Fathimah bintu Abi Hubaisy datang kepada
Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan mengadukan istihadlah yang
menimpanya dan ia bertanya : “ ‘Apakah aku harus meninggalkan shalat?’
Maka Nabi mengatakan :
‘Tidak itu hanyalah urat bukan haid, maka apabila datang haidmu
tinggalkanlah shalat dan jika berlalu maka cucilah darah haidmu kemudian
shalatlah.’ “ (HR. Bukhari : 228)
Hadits di atas dalam riwayat Nasa’i dari jalan Hammad bin Zaid ada tambahan lafadh :
“Berwudlulah”
Setelah lafadh :
“Cucilah darah haidmu”
Sehingga dalam riwayat Nasa’i, lafadh hadits di atas adalah :
“Cucilah darah haidmu, wudlulah, dan shalatlah.” (HR. Nasa’i 1/185)
Al Imam Muslim ketika meriwayatkan hadits ini dalam Shahih-nya (4/21)
tanpa tambahan di atas sebagaimana Al Imam Al Bukhari membawakan tanpa
tambahan dan Al Imam Muslim memberikan isyarat lemahnya tambahan
tersebut dengan ucapannya : “Dalam hadits Hammad bin Zaid ada tambahan
yang kami tinggalkan penyebutannya.”
Kata Al Imam An Nawawi rahimahullah dalam Syarah Muslim mengutip ucapan
Qadli ‘Iyyadl : “Tambahan yang ditinggalkan penyebutannya oleh Al Imam
Muslim adalah :2.
An Nasa’i dan lainnya menyebutkan tambahan ini, sedangkan Imam Muslim
membuangnya karena Hammad, salah seorang perawi hadits ini, bersendiri
dalam menyebutkan tambahan tersebut (adapun perawi-perawi lain tidak
menyebut tambahan : ‘Berwudlulah’ pent.). An Nasa’i sendiri mengatakan :
“Kami tidak mengetahui adanya seorang pun selain Hammad yang
mengatakan/menyebutkan : ‘Berwudlulah’ “ (Syarah Muslim 4/22)
Demikian pula Imam Tirmidzi, Darimi, Ahmad, dan Nasa’i sendiri dari
jalan Khalid Ibnul Harits dan Malik meriwayatkan tanpa tambahan di atas.
(Lihat Jami’ Ahkamin Nisa’ 1/224, 226)
Dengan demikian jelaslah perintah wudlu bukanlah datang dari Nabi
Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan perintah yang datang dalam masalah ini
adalah lemah sebagaimana dilemahkan oleh Ahli Ilmu. Namun jangan sampai
dipahami bahwa yang wajib adalah mandi setiap shalat dan sudah lewat
penyebutan kami tentang masalah mandi bagi wanita istihadlah ini.
Walhamdulillah.
I’TIKAFNYA WANITA YANG ISTIHADLAH
Al Imam Al Bukhari rahimahullah meriwayatkan dalam Shahih-nya sampai pada Aisyah radhiallahu ‘anha, ia berkata :
“Beberapa istri Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam i’tikaf bersama
beliau, (salah seorang dari mereka) dalam keadaan istihadlah dan ia
melihat keluarnya darah. Biasanya ia meletakkan bejana di bawahnya untuk
menampung darah.” (HR. Bukhari nomor 309)
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa istri Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa
Sallam itu meletakkan bejana di bawahnya untuk menampung darah dalam
keadaan ia shalat. (HR. Bukhari nomor 310)
Al Hafidh Ibnu Hajar dalam Syarah-nya terhadap Shahih Bukhari mengatakan
: “Dalam hadits ini menunjukkan bolehnya wanita istihadlah berdiam di
masjid, sah i’tikaf dan shalatnya dan boleh ia berhadats di masjid
selama tidak mengotori.” (Fathul Bari 1/514)
HUKUM JIMA’ (SENGGAMA) DENGAN ISTRI YANG SEDANG ISTIHADLAH
Dalam hal ini ada perselisihan pendapat. Jumhur memandang boleh,
sementara ada ulama yang berpendapat tidak boleh kecuali bila masa
istihadlahnya panjang. Dan ada yang tidak membolehkannya sama sekali
karena menyamakan istihadlah dengan haid. Namun yang kuat dalam hal ini
adalah pendapat jumhur karena jelas wanita istihadlah beda dengan wanita
haid dengan dalil yang ada dan tidak ada larangan dari Nabi untuk jima’
dengan istri yang istihadlah. Dan juga ada ayat umum :
“Istri-istri kalian adalah ladang bagi kalian.” (Al Baqarah : 223)
Al Imam Al Bukhari membawakan ucapan Ibnu Abbas dalam kitab Shahih-nya
dengan tanpa sanad yang maknanya wanita istihadlah boleh digauli oleh
suaminya sebagaimana ia dibolehkan untuk shalat sementara shalat itu
perkara yang agung. (Shahih Bukhari. Kitabul Haid bab ‘Apabila wanita
haid melihat dirinya suci’)
Dalam Syarah-nya terhadap ucapan Ibnu Abbas di atas, Al Hafidh Ibnu
Hajar berkata : “Yakni bila wanita istihadlah dibolehkan shalat maka
kebolehan jima’ dengannya lebih utama karena perkara shalat lebih agung
dari perkara jima’.” (Fathul Bari 1/535)
Ibnu Qudamah rahimahullah berkata dalam Al Mughni (1/339) :
“Diriwayatkan dari Ahmad bolehnya menggauli istri yang istihadlah secara
mutlak tanpa syarat dan ini merupakan pendapat kebanyakan ahli fiqih.”
Al Imam An Nawawi rahimahullah mengatakan dalam Al Majmu’ Syarhil
Muhadzdzab (2/372) : “Boleh dalam madzhab kami untuk jima’ dengan istri
yang sedang istihadlah pada saat dihukumi sebagai suci, sekalipun darah
(istihadlah) dalam keadaan mengalir. Dan hal ini tidak ada perselisihan
di sisi kami… .”
Al Imam As Shan’ani menyatakan boleh jima’ dengan istrti yang sedang
istihadlah menurut pendapat jumhur ulama karena wanita yang istihadlah
sama dengan wanita yang suci dalam kebolehan shalat, puasa dan selain
keduanya, maka demikian pula dalam perkara jima’. Dan jima’ tidak
diharamkan kecuali ada dalil, sementara tidak ada dalil dalam perkara
ini.” (Subulus Salam 1/157)
Al Imam As Syaukani juga menyebutkan pendapat jumhur ini dalam kitabnya Nailul Authar (1/392)
HUKUM YANG LAIN BAGI WANITA YANG SEDANG ISTIHADLAH
Al Imam An Nawawi dalam Syarah Muslim (4/17) mengatakan bahwa dalam hal
ibadah shalat, puasa, i’tikaf, membaca Al Qur’an, menyentuh mushaf dan
membawanya, sujud tilawah, dan sujud syukur maka wanita yang istihadlah
sama dengan wanita yang suci, yakni boleh baginya untuk melakukannya dan
hal ini merupakan perkara yang disepakati.
Al Imam As Shan’ani mengatakan dengan mengutip ucapan Al Imam An Nawawi
dalam Syarah Muslim : “Wanita istihadlah apabila hendak shalat ia
diperintah untuk berhati-hati dalam menjaga kebersihan dari hadats dan
najis, maka seharusnya ia mencuci kemaluannya sebelum wudlu dan tayammum
dan ia sumpal kemaluannya dengan kapas atau kain untuk mencegah
menyebarnya najis dan mengurangi keluarnya darah. Apabila darah tidak
tertahankan dengan cara tersebut, ia ikat kemaluannya dengan kain dengan
sekuatnya. Hal ini tidaklah wajib baginya namun lebih utama bila ia
lakukan dalam rangka mengurangi najis sesuai kemampuan, setelah itu ia
berwudlu.” (Subulus Salam 1/157)
Demikian masalah istihadlah yang dapat kami kumpulkan. Wallahu a’lam bishawwab.
DAFTAR PUSTAKA
- Shahih Muslim bi Syarhin Nawawi. Al Imam An Nawawi. Penerbit Darur Rayyan lit Turats.
- Fathul Bari. Ibnu Hajar Al Asqalani. Penerbit Darul Hadits.
- Jami’ li Ahkamil Qur’an. Al Imam Al Qurthubi. Penerbit Darul Kutub Ilmiyah.
- Subulus Salam. Al Imam As Shan’ani. Penerbit Maktabah Al Irsyad.
- Bulughul Maram. Ibnu Hajar.
- Al Majmu’ Syarhil Muhadzdzab. Al Imam An Nawawi.
- Risalah fid Dima’ith Thabi’iyyah lin Nisa’. As Syaikh Shalih Al Utsaimin.
- Jami’ Ahkamin Nisa’. Musthafa Al Adawi.
- Authar. Al Imam Asy Syaukani.
dikutip ulang dari : Tulisan Ummu Ishaq Al-Atsariyah {Muslimah Edisi 41/1423 H/2002 M Rubrik Kajian Kita}
- Berhaidlah engkau selama enam atau tujuh hari [↩]
- “watawadl dla’i/berwudlulah” [↩]
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan Komentar Disini