Posted by Unknown on Selasa, April 14, 2015 in Islami | No comments
”Wanita-wanita
yang keji adalah untuk laki-laki yang keji dan laki-laki yang keji
adalah untuk wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik
adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk
wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari
apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). Bagi mereka ampunan
dan rizki yang mulia (surga).”
Ayat ini diturunkan untuk
menunjukkan kesucian ‘Aisyah r.a. dan Shafwan bin al-Mu’attal r.a. dari
segala tuduhan yang ditujukan kepada mereka. Pernah suatu ketika dalam
suatu perjalanan kembali dari ekspedisi penaklukan Bani Musthaliq,
‘Aisyah terpisah tanpa sengaja dari rombongan karena mencari kalungnya
yang hilang dan kemudian diantarkan pulang oleh Shafwan yang juga
tertinggal dari rombongan karena ada suatu keperluan. Kemudian ‘Aisyah
naik ke untanya dan dikawal oleh Shafwan menyusul rombongan Rasullullah
SAW. dan para shahabat, akan tetapi rombongan tidak tersusul dan
akhirnya mereka sampai di Madinah. Peristiwa ini akhirnya menjadi fitnah
dikalangan umat muslim kala itu karena terhasut oleh isu dari golongan
Yahudi dan munafik; jika telah terjadi apa-apa antara ‘Aisyah dan
Shafwan. Masalah menjadi sangat pelik karena sempat terjadi perpecahan
diantara kaum muslimin yang pro dan kontra atas isu tersebut. Sikap Nabi
juga berubah terhadap ‘Aisyah, beliau menyuruh ‘Aisyah untuk segera
bertaubat. Sementara ‘Aisyah tidak mau bertaubat karena tidak pernah
melakukan dosa yang dituduhkan kepadanya, ia hanya menangis dan berdoa
kepada Allah agar menunjukkan yang sebenarnya terjadi. Kemudian Allah
menurunkan ayat yang menunjukkan kepada kaum muslimin bahwa Rasulullah
adalah orang yang paling baik maka pastilah wanita yang baik pula yang
menjadi istri beliau, yaitu ‘Aisyah r.a.
Jika kita hubungkan dengan
kehidupan kita saat ini, ayat ini menunjukkan bahwa sebenarnya setiap
orang pasti ada pasangannya (jodohnya) masing-masing, yaitu yang sesuai
dengan tingkatannya (kufu’nya). Sesuai dengan tingkatan yang saya maksud
adalah setara jumlah kebaikannya, jumlah kekurangannya, setara ilmunya
(kealimannya), setara dosa-dosanya baik yang telah dilakukan maupun yang
akan dilakukan (Allah Maha Tahu apa yang akan terjadi). Jadi, seorang
laki-laki ahli maksiyat sebaiknya tidak perlu memimpikan seorang santri
putri yang suci, atau seorang wanita nakal tidak perlu memimpikan
seorang ustad yang baik.
Namun, jika kenyataannya tidak
selalu demikian dalam pandangan kita, wallahu a‘lam. Allah lebih tahu
apa yang sebaiknya terjadi, apa yang baik buat hamba-Nya. Meski
kadang-kadang kita tidak bisa menalarnya, karena yang kita ketahui cuma
sedikit.
Berkenaan dengan masalah jodoh
ini, saya ingin menyarankan kepada teman-teman yang masih lajang
(termasuk saya sendiri, hehehe.. )
untuk mendambakan seorang yang tingkatannya lebih baik dari kita. Hal
ini akan memotivasi kita untuk memperbaiki diri dan berusaha mencapai
tingkatan yang sama dengan dambaan kita tadi agar Allah merestui dan
kemudian menjodohkan kita dengannya, amin
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan Komentar Disini