Posted by Unknown on Senin, April 13, 2015 in Islami | No comments
Pembahasan tentang akidah hulûl dan wahdah al-wujûd tidak
dapat dilepaskan dari kajian tasawuf. Karena segala aspek yang terkait
dengan dua akidah tersebut biasanya timbul dalam wilayah tasawuf. Di
dalam tasawuf, kaum sufi itu sendiri pada dasarnya terbagi kepada dua
bagian; kaum sufi sejati (ash-Shûfiyyah al-Muhaqqiqûn) dan kaum sufi gadungan (Ghair al-Muhaqqiqîn).
Pembagian semacam ini umumnya juga berlaku pada disiplin keilmuan atau
komunitas lainnya. Realitas inilah yang mendorong salah seorang sufi
besar di masanya, yaitu al-Hâfizh Abu Nu’aim menuliskan sebuah karya besar tentang biografi kaum sufi sejati dengan ajaran-ajarannya yang berjudul Hilyah al-Auliyâ’ Fî Thabaqât al-Ashfiyâ’.
Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh beliau sendiri di permulaan kitab
tersebut bahwa yang mendorongnya menuliskan kitab ini adalah untuk
membedakan antara kaum sufi sejati dan kaum sufi gadungan.
Bahkan Ungkapan-ungkapan al-Hâfizh Abu
Nu’aim dalam menyerang kaum sufi gadungan cukup keras. Beliau menamakan
mereka sebagai orang-orang pemalas, karena tidak sedikit dari mereka
adalah orang-orang mulhid berakidah hulûl, ittihâd atau kaum Ibâhiyyah (kaum
yang menghalalkan segala sesuatu). Beliau juga mengatakan bahwa
menyebutkan kesesatan-kesesatan kaum sufi gadungan dan menghindarkan
diri dari mereka adalah kewajiban yang telah dibebankan oleh syari’at
atas setiap orang muslim. Karena hanya dengan demikian kemurnian ajaran
Islam dapat terjaga. Juga hanya dengan cara ini, orang-orang yang saleh
dari para wali Allah dapat diposisikan secara proporsional dengan tidak
mencapuradukan antara mereka dengan kaum sufi gadungan yang notabene
orang-orang sesat [Abu Nu’aim, Hilyah al-Auliyâ’, j. 1, h. 3-5.].
Demikian pula Imam al-Qusyairi dengan kitab tasawuf fenomenalnya, ar-Risâlah al-Qusyairiyyah,
beliau mengatakan bahwa yang mendorongnya menuliskan kitab tersebut
adalah untuk membedakan antara sifat-sifat kaum sufi sejati dari kaum
sufi gadungan. Pada pembukaan kitabnya ini Imam al-Qusyairi menulis
sebuah sub judul; “Dawâfi’ Ta’lîf Hâdzihi ar-Risâlah (Sebab-sebab yang mendorong dituliskan risalah ini)”, bahwa salah satunya untuk tujuan tersebut [Lihat al-Qusyairi, ar-Risâlah al-Qusyairiyyah, h. 27-28].
Bahkan sebelum datang Imam al-Qusyairi, Imam Abu Nashr as-Sarraj dalam karya besarnya, al-Luma’ telah
menjelaskan bahwa keberadaan sufi gadungan di masa beliau hidup sudah
mulai merebak di kalangan orang-orang Islam. Tentang kondisi ini, dalam
kitab al-Luma’ Imam as-Sarraj berkata:
Tasawuf
yang didefinisikan sebagai ajaran yang mementingkan kehidupan akhirat
dari pada kehidupan dunia, penamaannya belum dikenal pada abad
permulaan. Tasawuf baru dikenal sebagai sebuah nama atau sebagai
disiplin yang melembaga pada sekitar abad ke dua hijriah [Lihat Ibn
al-Jauzi, Talbîs…, h.
169. ]. Namun demikian secara faktual nilai-nilai tasawuf itu sendiri
adalah sesuatu yang diajarkan oleh Rasulullah kepada para sahabatnya.
Oleh karena itu dalam pandangan as-Sarraj, penyebutan istilah tasawuf
sebenarnya sudah dikenal di kalangan sahabat Rasulullah. as-Sarraj
membantah pendapat yang menyebutkan bahwa istilah tasawuf pertama kali
dimunculkan oleh para ulama Baghdad. Beliau mengatakan bahwa fenomena
perjumpaan para sahabat Rasulullah dengan Rasulullah sendiri serta
keimanan mereka kepada Rasulullah adalah tingkatan tertinggi dalam
derajat al-Ahwâl.
Argumen kuat bagi hal ini, menurut as-Sarraj, adalah perkataan Imam
al-Hasan al-Bashri, –seorang tabi’in yang pernah belajar langsung kepada
sahabat Ali ibn Abi Thalib dan beberapa sahabat lainnya–, bahwa beliau
berkata: “Aku melihat seorang sufi dari kalangan sahabat sedang
melakukan thawaf” [as-Sarraj, al-Luma’…, h. 42].
As-Sarraj
juga mengutip ucapan Imam Sufyan ats-Tsauri, bahwa ia berkata: “Kalau
bukan karena Abu Hasyim ash-Shufi maka aku tidak akan pernah mengenal
makna riya’ secara detail”. Imam Sufyan ats-Tsauri dalam perkataannya
ini menamakan Abu Hasyim dengan “ash-Shûfi”,
artinya seorang ahli tasawuf. Sementara itu Abu Hasyim adalah seorang
yang seringkali belajar atau mengutip riwayat dari sahabat Muhammad ibn
Ishaq ibn Yasar. Dan sahabat Rasulullah yang terakhir disebut ini adalah
di antara sahabat yang paling banyak menceritakan kaum sufi di kalangan
sahabat Rasulullah sendiri [Ibid, h. 42-43].
Tentang
sejarah timbul nama tasawuf, ada berbagai pendapat membicarakan hal
tersebut. Satu pendapat mengatakan bahwa asal penamaan tasawuf
disandarkan kepada Ahl ash-Shuffah;
yaitu sebuah komunitas sahabat Rasulullah dari kaum Muhajirin yang
selalu berdiam diri di masjid Nabawi. Sifat-sifat para sahabat dari Ahl ash-Shuffah ini
sangat khas, seperti sifat zuhud, mementingkan orang lain, tidak banyak
bergaul dengan khlayak, tidak terkait dengan kesenangan duniawi, dan
hanya mementingkan akhirat [Lihat al-Qusyairi, ar-Risâlah, h. 279].
Pendapat
lain mengatakan bahwa penamaan tasawuf timbul dari sebuah hadits.
Diriwayatkan bahwa suatu hari Rasulullah keluar rumah dengan warna muka
yang lain dari biasanya, tiba-tiba beliau bersabda:
ذَهَبَ صَفْوُ الدّنيَا وَبَقِيَ الكَدَرُ، فَالْمَوْتُ اليَوْمَ تُحْفَةٌ لِكُلّ مُسْلِمٍ (رَوَاهُ الدّارَقُطْنيّ)
“Kemurnian
dunia telah pergi, dan hanya tersisa kekeruhan, maka kematian hari ini
adalah harapan berharga bagi seorang muslim” (HR. ad-Daraquthni)
Dalam hadits ini disebutkan kata “shafw ad-dunyâ”. Kata “shafw” dimungkinkan
sebagai akar dari kata “tasawuf”. Oleh karenanya di kemudian hari, di
antara landasan pokok dalam ajaran tasawuf adalah nilai-nilai yang
terkandung dalam hadits ini, yaitu dari sabda Rasulullah bahwa kematian
adalah “pembendaharaan” yang ditunggu-tunggu dan paling berharga bagi
seorang muslim. Dari pemahaman hadits ini kemudian dikenal istilah
tasawuf . Namun pendapat ini juga dinilai al-Qusyairi tidak benar, sebab
dalam tinjauan kaedah bahasa penisbatan tasawuf, sufi, atau shufiyyah
kepada kata “shafw” yang ada dalam hadits tersebut tidak benar, baik dari segi qiyâs maupun isytiqâq.
Pendapat lain mengatakan bahwa nama tasawuf diambil dari akar kata “ash-Shûf”
yang berarti kain wol yang kasar. Penamaan ini diambil dari kebiasaan
kaum sufi yang selalu memakai kain wol kasar karena sikap zuhud mereka.
Dalam tinjauan bahasa penisbatan tasawuf kepada ash-Shûf dapat diterima. Dalam bahasa Arab bila dikatakan “Tashawwafa ar-Rajul” artinya “Labisa ash-Shûf”, seperti bila dikatakan “Taqammasha ar-Rajul” artinya “Labisa al-Qamîsh”. Hanya saja menurut al-Qusyairi tidak semua kaum sufi benar-benar memakai kain wol yang kasar.
Pendapat lain mengatakan tasawuf di ambil dari akar kata “Shafâ”
yang berarti suci murni. Pendapat ini mirip dengan pendapat yang
didasarkan kepada hadits nabi di atas, keduanya diambil dari akar kata
yang sama, hanya saja pendapat ini dengan tanpa didasarkan kepada hadits
tersebut. Pendapat ini dalam tinjauan bahasa juga tidak dapat
dibenarkan, seperti halnya pendapat yang didasarkan kepada hadits di
atas.
Pendapat lainnya mengatakan berasal dari akar akar kata “ash-Shaff”
yang berarti barisan. Pendapat terakhir ini secara filosofis untuk
mengungkapkan bahwa komunitas sufi seakan berada di barisan terdepan di
antara orang-orang Islam dalam kesucian hati dan dalam melakukan segala
perintah Allah dan Rasul-Nya. Al-Qusyairi berpendapat bahwa hal ini
dalam tinjauan bahasa juga tidak dapat diterima, walaupun menurut
al-Kalabadzi secara maknawi dapat diterima. Lihat al-Kalabadzi, at-Ta’arruf…, h. 31.
Al-Hâfizh Abu Nu’aim dalam kitab Hilayah al-Auliyâ’ mengatakan
bahwa kemungkinan pengambilan nama tasawuf secara bahasa setidaknya
berasal dari salah satu dari empat perkara. Walau demikian empat perkara
ini tidak hanya sebagai pengertian bahasa semata, namun juga secara
hekekat merupakan kandungan dari nilai-nilai tasawuf itu sendiri.
Artinya bahwa empat perkara ini termasuk di antara sifat-sifat yang
dipegang teguh oleh kaum sufi, ialah sebagai berikut:
Pertama; kata tasawuf dapat berasal dari ash-Shûfânah yang berati tanaman rerumputan atau semacam sayuran-sayuran. Secara hakekat pengambilan nama tasawuf dari ash-Shûfânah ini
adalah benar. Ini kerena kaum sufi sedikitpun tidak pernah berharap
kepada sesama makhluk. Mereka telah merasa cukup dan puas dengan apapun
dan seberapapun rizki yang dikaruniakan oleh Allah kepada mereka. Di
antara yang membenarkan pendapat ini adalah pernyataan sahabat Sa’ad ibn
Abi Waqqash, bahwa ia berkata: “Demi Allah sesungguhnya saya adalah
orang Arab yang pertama kali berperang dengan panah di jalan Allah. Dan
kami telah berkali-kali berperang bersama Rasulullah. Saat itu kami
tidak memiliki makanan yang dapat kami makan, kecuali berasal dari
dedaunan. Dalam keadaan itu kami tidak ubahnya seperti kambing-kambing”.
[HR. Abu Nu’aim, Hilyah…, j. 1, h. 18]
Ke dua; kata tasawuf dapat berasal dari ash-Shûfah yang
berarti kabilah. Pengambilan nama tasawuf dari kata ini juga memiliki
dasar yang cukup kuat. Karena kaum sufi adalah sebagai kaum yang
memiliki identitas tersendiri yang khas di antara berbagai komunitas
lainnya. Di antara ciri khasnya ialah bahwa seluruh waktu yang mereka
miliki dipergunakan hanya untuk ibadah kepada Allah, setiap tenaga yang
mereka miliki hanya dijadikan dalam usaha mendekatkan diri kepada Allah,
dan bahwa segala konsentrasi hanya tercurahkan kepada-Nya saja. Sifat
kaum sufi semacam ini seperti tersirat dalam sebuah hadits ketika
Rasulullah berkata kepada sahabat Ali ibn Abi Thalib:
يَا
عَلِيّ إذَا تَقَرَّبَ النّاسُ إلَى خَالِقِهِمْ فِي أبْوَابِ البِرّ
فَتَقَرَّبْ إلَيْهِ بأنْوَاعِ العَقْلِ تَسْبِقهُمْ بالدّرَجَاتِ
وَالزّلفَى عِنْدَ النّاسِ فِي الدّنيَا وَعِنْدَ اللهِ فِي الآخِرَةِ
(رواه الحافظ أبو نعيم)
“Wahai
Ali jika orang-orang mendekatkan diri kepada Pencipta mereka dengan
berbagai kebaikan, maka mendekatkan dirilah engkau kepada-Nya dengan
mempergunakan akal (berfikir). Dengan begitu engkau akan mendahului
mereka dalam meraih derajat dan “kedekatan” (kemuliaan) di antara sesama
manusia di dunia dan kepada Allah di akhirat”. (HR. Abu Nu’aim).
Termasuk yang dijadikan rujukan oleh al-Hâfizh Abu
Nu’aim selain hadits ini adalah hadits lainnya, dari sahabat Abu Dzarr
bahwa ia berkata: “Wahai Rasulullah apakah yang terdapat dalam
lembaran-lembaran (shuhuf) Ibrahim?”
Rasulullah menjawab: “Seluruhnya adalah pelajaran dan nasehat. Di
antaranya: Hendaklah seorang yang berakal itu, –selama akalnya masih
dalam keadaan sehat–, untuk membagi waktu dalam empat bagian.
Seperempatnya ia jadikan untuk munajat kepada Tuhannya. Sepertempat
lainya ia jadikan untuk melakukan muhasabah atas dirinya. Seperempat
lainnya ia jadikan untuk berfikir tentang ciptaan-ciptaan Allah. Dan
seperempat terakhir ia jadikan untuk mencari makan dan minumnya”
Ke tiga; kata tasawuf dapat diambil dari Shûf al-Qafâ,
yang secara bahasa berarti bulu atau rambut bagian belakang kepala.
Secara filosifis hal ini berarti menggambarkan bahwa kaum sufi adalah
orang-orang yang hanya berserah diri kepada Allah. Ketundukan,
kepasrahan, dan keyakinan mereka kepada Allah tidak dapat tergoyahkan
oleh situasi dan kondisi apapun. Di antara hal yang melandasi kebenaran
ajaran ini adalah hadits Rasulullah yang menceritakan tentang Nabi
Ibrahim. Diriwayatkan bahwa ketika Nabi Ibrahim hendak dilemparkan oleh
Namrud ke dalam api, maka seluruh makhluk Allah menjadi gelisah.
Kemudian setiap makhluk tersebut, dari mulai langit, bumi, angin, awan,
hujan, gunung-gunung, matahari, bulan, arsy, kursi, para malaikat, dan
lain sebagainya meminta kepada Allah agar diperkenankan menolong Nabi
Ibrahim. Namun setiap permohonan mereka dijawab oleh Allah: “Ibrahim
adalah hamba-Ku, jika ia minta pertolongan kepadamu maka tolonglah ia,
namun jika ia tidak memintanya maka tinggalkanlah ia”. Bahkan saat Nabi
Ibrahim sudah diletakkan di atas manjanik (semacam ketepel berbentuk
besar) handak dilemparkan, malaikat Jibril datang kepadanya. Setelah
mengucapkan salam, jibril berkata: “Wahai Nabi Allah, saya adalah
Jibril, adakah engkau membutuhkan pertolonganku?”. Nabi Ibrahim dengan
tawakkal dan keyakinan yang kuat berkata: “Darimu aku tidak membutuhkan
apapun, aku hanya membutuhkan Allah”. Akhirnya, ketika Nabi Ibrahim
hendak jatuh ke dalam api maka datang perintah dari Allah kepada api
untuk menjadi dingin yang memberi keselamatan kepada Nabi Ibrahim. Maka
di saat itu pula api di seluruh pelosok dunia menjadi dingin, tidak ada
sedikitpun makanan yang dapat dimasak oleh api. Allah memerintahkan
kepada api tersebut untuk menjadi dingin yang memberikan keselamatan,
karena bila tidak demikian maka Nabi Ibrahim akan sangat kedinginan di
dalam api dan dapat membahayakannya. Dalam satu riwayat disebutkan bahwa
Nabi Ibrahim berkata: “Ketika aku berada di dalam api selama empat
puluh hari lebih, tidak ada waktu malam dan dan tidak ada siang yang
pernah aku rasakan di dunia ini yang lebih baik dari ketika aku berada
dalam api tersebut, bahkan aku berharap seandainya seluruh hidupku
berada di dalam api tersebut”.
Ke empat; Diambil dari kata ash-Shûf dalam
pengertian bulu domba. Hal ini karena umumnya kaum sufi memakai pakaian
wol kasar yang berasal dari bulu domba. Keadaan ini menunjukkan sikap
zuhud mereka. Karena kain wol yang berasal dari bulu domba semacam yang
mereka pakai ini tidak membutuhkan biaya. Di samping itu bahwa kain
semacam itu menjadikan penggunanya sebagai orang yang memiliki sifat
merendahan diri, menghinakan diri, tawadlu, qana’ah dan sifat-sifat khas
lainnya. Sahabat Abu Musa al-Asy’ari berkata bahwa Rasulullah sering
kali memakai pakaian yang berasal dari kain wol, menaiki keledai, dan
datang kepada orang-orang lemah dan para fakir miskin. Kemudian al-Hasan
al-Bashri berkata: “Saya bertemu dengan tujuh puluh orang sahabat Nabi
yang telah ikut dalam perang Badar, dan saya tidak melihat pakaian
mereka kecuali berasal dari kain wol”[al-Kalabadzi, at-Ta’arruf…, h. 31].
Imam Ahmad ar-Rifa’i al-Kabir dalam karyanya, al-Burhân al-Mu-ayyad menyebutkan
bahwa asal penamaan tasawuf ini cukup unik, banyak orang yang tidak
mengetahuinya, bahkan oleh kaum sufi sendiri. Ialah terdapat sekelompok
orang dari kaum Mudlar, yang disebut dengan Banî ash-Sûfah (keturunan-keturunan
ash-Sufah), dan ash-Sufah ini adalah seorang yang nama aslinya
al-Ghauts ibn Murr ibn Ad ibn Thabikhah ar-Rabith. Disebutkan bahwa
ibunda dari al-Ghauts tidak pernah punya anak laki-laki yang hidup.
Kemudian ia bernadzar bila melahirkan anak laki-laki dan hidup hingga
dewasa maka ia akan selalu mengikatkan kain wol (shûfah)
pada kepala anak tersebut. Kemudian lahirlah kemudian al-Ghauts, dan
dari al-Ghauts inilah kemudian lahir keturunan-keturunan yang yang
dikenal Banî ash-Shûfah.
Hingga kemudian setelah datang agama Islam maka mereka masuk ke dalam
Islam dan menjadi orang-orang saleh ahli ibadah. Beberapa diantaranya
adalah sahabat-sahabat Rasulullah yang telah meriwayatkan hadits. Dari
sini kemudian dikenal penamaan bagi orang-orang yang dekat dengan
sahabat nabi dari Banî ash-Shûfah
tersebut, atau bergaul dengan mereka, atau yang mengambil hadits dari
mereka, atau bahkan yang hanya berpakaian dan ahli ibadah seperti
mereka, bahwa mereka sebagai orang-orang sufi. Adapun definisi tasawuf
yang beragam dan banyak diungkapkan oleh kaum sufi sendiri, menurut Imam
Ahmad ar-Rifa’i, lebih didasarkan kepada jalan atau media yang dipakai
dalam menjalani tasawuf itu sendiri. Karena itu, ada pendapat yang
mengatakan bahwa tasawuf berasal dari kata “Shafâ”, ada pula yang mengatakan dari kata “Mushâfât”,
dan berbagai definisi lainnya. Namun demikian, dengan melihat kepada
nilai-nilai yang ada di dalam tasawuf itu sendiri semua definisi
tersebut adalah benar [al-Burhân al-Muayyad, h. 21].
Dalam pandangan as-Suhrawardi, pengambilan nama tasawuf dari kata ash-Shûf dapat
diterima secara bahasa. Hal ini juga didasarkan kepada kebiasaan kaum
sufi yang selalu berpakaian yang terbuat dari kain wol yang kasar. Hanya
saja yang harus ditekankan disini adalah unsur filosofinya, ialah bahwa
penisbatan kata tasawuf kepada kain wol adalah sebagai ungkapan bahwa
kaum sufi adalah orang-orang fakir yang tidak pernah mementingkan dunia.
Mereka berlaku zuhud dengan memerangi hawa nafsu, bahkan dalam dalam
berpakaian mereka menghindari pakaian-pakaian yang lembut dan
menyenangkan. Dari sinilah seorang pemula yang hendak masuk ke dalam
wilayah tasawuf ia diajarkan untuk berlaku zuhud semacam itu. Zuhud
tidak hanya berlaku dalam kesederhanaan makanan tapi juga dalam
kesederhanaan berpakaian.
Masih menurut as-Suhrawardi, ada pendapat lain yang mengatakan bahwa
penamaan tasawuf tersebut berasal dari akar kata “ash-Sûfah”,
yang berarti secarik kain wol yang tidak berharga. Penamaan ini untuk
menggambarkan bahwa kaum sufi adalah kaum yang mencampakkan diri dalam
wilayah kefakiran, kemiskinan, ketawadluan, kerendahan diri,
keterasingan dan menjauh dari keramaian. Layaknya secarik kain wol yang
usang, mereka adalah orang-orang yang sama sekali tidak dihiraukan oleh
orang kebanyakan. as-Suhrawardi melihat penisbatan kaum sufi kepada kaim
wol (ash-Shûfah)
dengan filosofis semacam ini secara bahasa dapat dibenarkan. Pendapat
ini dapat dibuktikan karena hingga sekarang tidak sedikit dari
orang-orang saleh ahli ibadah dan orang-orang zuhud yang masih tetap
memakai kain wol yang kasar tersebut.
Berikut ini pernyataan ulama-ulama sufi tentang definisi tasawuf dan ajaran-ajarannya.
Imam al-Junaid al-Baghdadi, pimpinan kaum sufi (Sayyid ath-Thâ-ifah ash-Shûfiyyah), berkata: “Tasawuf ialah keluar dari setiap akhlak yang tercela dan masuk kepada setiap akhlak yang mulia” [Lihat as-Subki, Thabaqât…, j. 2, h. 271 dan Ibn al-Jauzi, Talbîs…, h. 169 dengan sanad dari Abu Hatim ath-Thabari dari al-Junaid. Lihat pula Abu Nu’aim, Hilyah al-Auliyâ’ dengan sanad bersambung hingga al-Junaid, j. 1, h.22].
Pada kesempatan lain beliau berkata: “Kita tidak mengambil tasawuf dengan banyak berbicara (al-Qâl Wa al-Qîl).
Kita mengambil tasawuf dengan banyak lapar (puasa), bangun malam, dan
meninggalkan segala kenikmatan-kenikmatan” [al-Qusyairi, ar-Risâlah…, h. 430].
Secara lebih definitif tentang tasawuf dengan beberapa pokok ajaran yang terkait dengannya, Imam al-Junaid al-Baghdadi berkata:
Imam al-Qusyairi berkata: “Allah telah menjadikan kaum sufi ini sebagi orang-orang yang suci dari para walinya” [al-Qusyairi, ar-Risâlah…,
h. 36]. Secara lebih definitif tentang seorang sufi Imam al-Qusyairi
berkata bahwa ia adalah seorang yang selalu berusaha membersihkan
kotoran dalam jiwanya hingga kotoran tersebut tidak kembali lagi
kepadanya. Dan apa bila ia telah “bersih” ia jaga kebersihan tersebut
dengan selalu mengingat Allah. Sementara itu perkara apapun yang terjadi
di sekitarnya tidak memberikan pengaruh kepadanya[Ibid, h. 283].
Abu
al-Hasan al-Farghani berkata: Saya bertanya kepada Abu Bakr asy-Syibli:
“Siapakah seorang sufi itu?”, beliau menjawab: “Dia adalah seorang yang
berada di jalan Rasulullah, meletakan dunia di belakang punggungnya,
dan menundukkan hawa nafsunya dengan kegetiran-kegetiran”. Aku katakan
kepadanya: “Ini adalah seorang sufi, lantas apakah yang disebut dengan
tasawuf?” Ia menjawab: “Memurnikan hati hanya bagi Allah Yang mengetahui
segala hal yang gaib”. Aku berkata: “Yang lebih bagus dari itu, apa
definisi tasawuf?” Ia menjawab: “Mengagungkan segala perintah Allah dan
bersikap lemah lembut kepada semua hamba Allah”. Aku berkata: “Lebih
bagus dari definisi tadi siapakah seorang sufi?” Ia menjawab: “Sufi
adalah seorang yang menjauh dari segala kekeruhan, mensucikan diri dari
segala kotoran, memenuhi hati dengan ingat kepada Allah, dan tidak ada
perbedaan baginya antara emas dan debu” [Abu Nu’aim, Hilyah…, j. 1, h. 23].
Imam
Ma’ruf al-Karkhi berkata: “Tasawuf adalah berusaha meraih hakekat dan
meninggalkan segala apa yang berada di tangan para
makhluk”[al-Qusyairi, ar-Risâlah…, h. 280].
Imam
Abu Ali ad-Daqqaq berkata: “Pendapat yang paling baik tentang definisi
tasawuf adalah perkataan mereka yang menyebutkan bahwa tasawuf adalah
sebuah jalan yang tidak dapat dilewati kecuali oleh orang-orang yang
telah dibersihkan ruh mereka oleh Allah dari kotoran-kotoran” [Ibid, h. 283].
Imam
Abu Ali ar-Raudzabari, salah seorang pemuka sufi pada masanya, ketika
ditanya siapakah seorang sufi, beliau berkata: “Dia adalah seorang yang
berpakaian wol dalam kesucian jiwanya, memberikan makanan-makanan pahit
bagi hawa nafsunya, menjadikan dunia di belakang punggungnya, dan
mencontoh Rasulullah dalam segala perbuatannya” [al-Kalabadzi, at-Ta’arruf…, h. 34].
Imam
Abu al-Hasan an-Nauri ketika ditanya tentang definisi tasawuf, dengan
sangat simpel mejawab: “Tasawuf adalah meninggalkan segala keinginan
hawa nafsu”.
Dari
beberapa penjelasan definisi tasawuf di atas dapat ditarik benang merah
bahwa pada dasarnya ajaran-ajaran tasawuf murni berlandaskan al-Qur’an
dan Sunnah. Seorang sufi adalah seorang yang konsisten mengerjakan dan
berpegang teguh dengan syari’at Allah, mengekang hawa nafsunya pada
makan, minum, cara berpakaian, dan hal-hal lainnya. Dalam
perkara-perkara duniawi seorang sufi hanya mengambil kadar tertentu
secukupnya. Ia habiskan setiap waktu dari kehidupannya dalam beribadah
kepada Allah; dengan melaksanakan segala kewajiban-kewajiban, menjauhi
segala larangan-langan-Nya dan memperbanyak perbuatan-perbuatan yang
sunnah.
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan Komentar Disini