Posted by Unknown on Jumat, April 10, 2015 in Islami | No comments
Penulis kitab at Tashil, Badruddin Muhammad bin ‘Ali al Ba’li
mengatakan, “Termasuk najis muntahan dari sesuatu yang dagingnya tidak
halal dimakan”. Beliau menganggap muntahan tersebut najis karena
muntahan kotor dan menjijikkan serta terjadinya perubahan pada bahan
makanan sehingga menjadi busuk dan bau yang menjijikkan. Tekstual
pernyataan beliau menunjukkan bahwa beliau tidak membedakan muntahan
yang masih berbentuk makanan ataupun muntahan yang sudah tidak berbentuk
muntahan. Termasuk ‘sesuatu yang dagingnya tidak halal dimakan’ adalah
manusia. Sehingga menurut beliau muntahan manusia itu najis dengan
beberapa pertimbangan di atas.
Lain halnya dengan Syaukani dalam as Sail al Jarar 1/43, yang
berpandangan bahwa muntahan itu tidak najis. Alasan beliau, hukum asal
segala sesuatu adalah suci. Hukum asal ini tidaklah kita tinggalkan
kecuali jika ada dalil valid yang menunjukkan kenajisannya dan dalil
tersebut tidak berlawanan dengan dalil yang semisal atau dalil yang
lebih unggul.
Pendapat as Syaukani ini sangatlah tepat karena tidak dijumpai dalil
yang menunjukkan bahwa muntahan itu najis padahal kasus terkena muntahan
adalah hal yang sangat familiar terjadi di masa Nabi (‘umum al balwa)
terutama untuk ibu-ibu yang masih punya bayi atau anak kecil.
Akan tetapi muntahan hewan yang najis semisal anjing dan babi atau semisal itu adalah pendapat yang kuat.
Perkataan penulis kitab at Tashil di atas menunjukkan bahwa muntahan hewan yang halal dimakan itu tidak najis.
Makanan atau lainnya yang belum sampai ke lambung lantas keluar tidaklah
disebut muntahan. Oleh karena itu, jelas tidak termasuk najis [Fiqh ad
Dalil karya Abdullah al Fauzan 1/65-66].
Walhasil, muntahan manusia kenajisannya diperselisihkan oleh para ulama.
Pendapat yang lebih kuat muntahan manusia tidak najis sebagaimana yang
dikatakan oleh as Syaukani-rahimahullahu ta’ala-.
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan Komentar Disini