Rabu, 22 April 2015

Mengambil Setiap Kemudahan dalam Islam?

Posted by Unknown on Rabu, April 22, 2015 in | No comments
Mengambil setiap kemudahan Islam - Rokok 

Barangkali ada sebagian muslim yang mengatakan musik boleh-boleh saja karena Ibnu Hazm membolehkan musik!
Wanita nikah tanpa wali hukumnya boleh karena mengikuti madzhab Hanafiyah!
Binatang buas tidak haram karena madzhab Malikiyah tidak mengharamkannya!
Melafadzkan niat boleh karena mengikuti madzhab Hanabilah dan Syafi’iyyah!


Apakah kita bebas mengambil setiap pendapat yang ringan karena Islam itu agama yang mudah? Berikut pembahasannya.
عن ابن عمر قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم إن الله يحب أن تؤتى رخصه كما يكره أن تؤتى معصيته
Dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah suka jika rukhshah (keringanan)Nya diamanfaatkan sebagaimana Allah tidak suka jika kemaksiatan dilaksanakan.” (HR Ahmad no 5866, shahih)
Rukhshah dalam bahasa Arab bermakna kelembutan, kelapangan dan kemudahan. Sementara itu dalam bahasa para ulama, rukhshah atau keringanan memiliki dua pengertian:
Pertama: Keringanan hukum yang diberikan oleh syariat. Inilah pengertian rukhshah yang dimaksudkan dalam hadits di atas.
Al-Kafawi dalam al-Kulliyat 2/379 berkata bahwa rukhshah secara syariat adalah ketentuan syariat yang diubah dari ketentuan aslinya menjadi lebih mudah dan lebih ringan karena suatu sebab.
Ada juga yang mendefinisikan dengan “dibolehkannya suatu hal yang terlarang padahal sebenarnya ada unsur terlarang di dalamnya” atau “ketentuan hukum yang menyelisihi dalam syariat karena adanya suatu faktor yang mengharuskan adanya perubahan ketentuan hukum”.
Dalam Mudzakkiroh fi Ilmi al-Ushul hlm 50 Syaikh Syinqithi rahimahullah menjelaskan, “Contohnya adalah dibolehkannya mengkonsumsi bangkai untuk orang yang dalam kondisi terpaksa. dalam hal ini ada hal terlarang yang diperbolehkan yaitu memakan bangkai padahal ada unsur terlarang di dalamnya yaitu buruknya bangkai yang merupakan sebab diharamkannya bangkai. Di samping itu hukum ini menyelisihi dalil syar’i yang mengharamkan bangkai karena adanya faktor yang mengharuskan adanya perubahan hukum yaitu berbagai dalil syariat yang membolehkan makan bangkai bagi orang yang terpaksa.”
Kedua: Rukhshah dalam pengertian hukum yang ringan dan mudah yang difatwakan oleh sebagian ulama fiqih dan hukum tersebut jelas bertentangan dengan ijma atau dalil tegas dari al-Qur’an dan Sunnah.
Rukhshah dalam pengertian semacam ini disebut juga zallah ‘alim (ketergelinciran ulama) dan qaul syadz (pendapat yang nyeleneh).
Rukhshah dalam pengertian kedua ini tidaklah dimaksudkan dalam hadits di atas.
Adapun azimah dalam bahasa Arab bermakna tekad yang membaja. Dalam syariat azimah adalah hukum baku dalam suatu permasalahan semisal thaharah (bersuci) dengan wudhu dan mandi bukan dengan tayamum, mengqashar shalat ketika bepergian, terlarangnya memakan bangkai dan seterusnya.

Pemahaman yang Salah

Sebagian orang nekad melakukan hal-hal yang hukumnya haram atau meninggalkan sebuah kewajiban dengan adanya ulama yang berfatwa membolehkannya dan tindakan semacam ini dianggap melaksanakan hadits di atas yang memerintahkan untuk memanfaatkan rukhshah padahal orang tersebut sadar adanya dalil tegas syariat yang menyelisihi fatwa sang kyai atau ustadz tersebut.
Penyebab penyimpangan orang semacam ini adalah tidak bisa membedakan dua jenis keringanan di atas dan manakah yang dimaksudkan oleh hadits di atas. Orang semacam ini punya hobi memilih pendapat yang paling mudah dan gampang mereka lakukan tanpa bersandar kepada dalil namun sekedar membebek ketergelinciran ulama yang mereka, para ulama, tersebut andai mengetahui bahwa pendapat yang mereka ambil menyelisihi dalil maka mereka akan meralat pendapatnya tanpa bimbang dan ragu.
Orang dengan tipikal semacam ini jika diingatkan bahwa hal yang dia lakukan itu melanggar syariat maka dia akan beralasan bahwa hukum semacam itu tidaklah berasal dari diri mereka, namun ada ulama yang berfatwa membolehkan hal tersebut. Dia memegang prinsip bahwa orang yang dia ikuti pendapatnya lah yang bertanggung jawab, sedangkan orang yang membebek sang ulama tidaklah bertanggung jawab. Sang ulama lah yang bertanggung jawab atas fatwanya baik fatwa tersebut adalah fatwa yang benar atau pun fatwa yang salah. Dia mengira bahwa adanya fatwa dan pendapat ulama itu bisa menjadi argumen yang menyelamatkannya pada hari kiamat saat dimintai pertanggungjawaban atas semua amal perbuatannya ketika di dunia.
Memilih pendapat ulama yang enak-enak dan yang mudah-mudah saja itu memiliki banyak dampak buruk di antaranya:
  1. Hilangnya wibawa agama karena hukum agama menjadi bahan mainan banyak orang.
  2. Meremehkan kehormatan syariat dan batasannya.
  3. Lepas dari ikatan agama dikarenakan prinsip beragama yang dianut bukan mengikuti dalil namun mengikuti perselisihan ulama.
  4. Menyepelekan agama karena dengan prinsip di atas maka semua orang bisa berbuat sesuka hatinya.
  5. Meninggalkan suatu hal yang diketahui sebagai bagian dari syariat dan memilih suatu yang tidak jelas statusnya dalam syariat.
  6. Menyebabkan terjadinya talfiq (mencampuradukkan pendapat ulama) bukan karena tuntutan dalil syariat.
Orang yang suka mencari-cari pendapat yang lemah, sebenarnya dalam lubuk hatinya yang paling dalam mengetahui bahwa dirinya itu mengikuti keinginan nafsu dan sadar bahwa dirinya melanggar aturan syariat namun dia nekad mencari kedok yang bisa menutupi kemaksiatan yang dia lakukan dan menyelamatkan dirinya dari celaan banyak orang atas kelakuannya. Suatu hal yang patut disadari bahwa seluruh ulama sepakat akan keharaman tindakan suka mencari-cari pendapat ulama yang enak-enak dan melakukan talfiq bukan karena tuntutan dalil syariat. Sulaiman at-Taimi rahimahullah mengatakan, “Jika anda ambil pendapat yang dirasa enak dan gampang yang dimiliki oleh semua ulama, niscaya akan terkumpul dalam diri anda segala kejelekan.”
Perkataan Sulaiman at-Taimi di atas dikomentari oleh Ibnu Abdil Barr al-Maliki dalam al-Jami’ fi bayan al-Ilmi wa Fadhlihi 2/91 dan 92 dengan mengatakan, “Ini adalah kesepakatan ulama. Aku tidak mengetahui adanya perselisihan dalam hal ini.”
***
Dikutip dari Benang Tipis Kemudahan, Ustadz Aris Munandar, Majalah al-Furqon Ed 12 Thn ke-12.
Bahan bacaan lain http://abiubaidah.com/benang-tipis-antara-kemudahan-islam-dan-bermudah-mudahan-dalam-mengamalkan-syariat-islam.html

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan Komentar Disini