Posted by Unknown on Selasa, April 14, 2015 in Islami | No comments
Dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda, “Tidak beriman salah seorang dari kalian hingga dia mencintai bagi saudaranya apa yang dia cintai bagi dirinya sendiri.” (HR. Bukhari no. 13 dan Muslim no. 45)
1. Perasaan Senasib Sepenanggungan
Imam Ibnu Daqiq al-’Ied rahimahullah berkata, “Sebagian
ulama mengatakan: Di dalam hadits ini terdapat kandungan fikih/ilmu
bahwasanya seorang mukmin dengan orang mukmin yang lain laksana satu
jiwa, maka semestinya dia mencintai baginya apa yang dicintainya bagi
dirinya karena pada dasarnya mereka berdua adalah satu jiwa yang sama.
Hal itu sebagaimana disebutkan dalam hadits yang lain, “Orang-orang yang
beriman itu seperti satu tubuh. Apabila salah satu anggota tubuh
mengeluh kesakitan, maka seluruh anggota tubuh yang lain ikut merasakan
sakitnya dengan demam dan tidak bisa tidur.” (HR. Bukhari no. 6011 dan Muslim no. 2586).” (lihat ad-Durrah as-Salafiyah Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah, hal. 119)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Hanya saja orang-orang beriman itulah yang bersaudara.” (QS. al-Hujurat: 10). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Orang-orang beriman lelaki maupun perempuan, sebagian dari mereka adalah penolong bagi sebagian yang lain.” (QS. at-Taubah: 31)
2. Mencintai Kebaikan Untuk Semua
Syaikh Yahya al-Hajuri hafizhahullah berkata, “Sesungguhnya
tidak sempurna keimanan salah seorang kaum muslimin sampai dia
mencintai kebaikan dunia dan akhirat bagi saudaranya sesama muslim
sebagaimana halnya dia menyukai hal itu bagi dirinya. Dan kebaikan di
sini lebih luas daripada sekedar kebaikan dunia dan akhirat. Sebab orang
yang menyimpan perasaan hasad/dengki terhadap orang lain atas
kenikmatan yang Allah berikan kepadanya maka itu artinya keimanan orang
itu lemah berdasarkan dalil hadits ini, “Tidak beriman salah seorang
diantara kalian.” Artinya tidak sempurna keimanannya.” (lihat Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah, hal. 103)
Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Yang
lebih tepat ialah menafsirkan persaudaraan di dalam hadits ini dengan
persaudaraan yang bersifat umum, sehingga ia mencakup saudara yang kafir
maupun yang muslim. Maka dia mencintai bagi saudaranya yang kafir apa
yang dicintainya bagi dirinya sendiri yaitu supaya dia masuk ke dalam
Islam. Sebagaimana dia juga mencintai bagi saudaranya yang muslim untuk
tetap istiqomah di atas Islam. Oleh sebab itu mendoakan hidayah bagi
orang kafir adalah sesuatu yang dianjurkan. Penafian iman di dalam hadits ini
maksudnya adalah penafian iman yang sempurna dari orang yang tidak
mencintai bagi saudaranya apa yang dia cintai bagi dirinya.” (lihat ad-Durrah as-Salafiyah Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah, hal. 118)
3. Dakwah Sebagai Bukti Kecintaan
Syaikh Yahya al-Hajuri hafizhahullah berkata, “Ini
artinya, menyampaikan kebaikan kepada umat manusia adalah termasuk
keimanan. Janganlah ada yang mengira bahwasanya apa yang dilakukan oleh
seseorang dengan mendakwahi orang menuju Allah atau mengajarkan ilmu -apabila
dia jujur dengan amalnya untuk Allah- bahwasanya hal itu akan lenyap
begitu saja sia-sia, bahkan meskipun tidak ada seorang pun yang menerima
dakwahmu. Sebab kamu tetap akan mendapatkan pahala. Allah ta’ala
berfirman (yang artinya), “Apa pun yang kalian kerjakan berupa kebaikan
maka Allah mengetahuinya.” (QS. al-Baqarah: 197). Sebagian para nabi
‘alaihimus salam sebagaimana diceritakan di dalam Shahihain dari hadits Ibnu
Abbas radhiyallahu’anhu; ada diantara mereka yang dakwahnya diterima
oleh orang-orang, dan sebagian mereka tidak ada yang menerima dakwahnya
kecuali satu orang saja, bahkan sebagian lagi tidak ada seorang pun yang
menerima dakwahnya.” (lihat Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah, hal. 105)
4. Rendah Hati dan Tidak Hasad
Imam Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Hadits
ini menunjukkan bahwasanya seorang mukmin akan merasa susah dengan apa
yang membuat susah saudara mukmin yang lain dan dia menginginkan
kebaikan bagi saudaranya yang beriman itu sebagaimana apa yang dia
inginkan bagi dirinya. Ini semua hanya bisa terlahir dari hati yang
bersih dari sifat curang, perasaan dengki, dan hasad. Karena sifat hasad
itu akan membuat orang yang hasad tidak senang apabila ada orang lain
yang melampaui dirinya dalam kebaikan atau menyamai dirinya dalam hal
itu. Karena dia lebih suka menonjolkan dirinya sendiri di tengah-tengah
manusia dengan keutamaan-keutamaannya dan memiliki itu semuanya seorang
diri. Padahal, keimanan menuntut sesuatu yang bertentangan dengan sikap
semacam itu. Orang yang imannya benar pasti akan menyukai apabila semua
orang beriman juga ikut serta merasakan kebaikan yang dianugerahkan
Allah kepada dirinya tanpa sedikit pun mengurangi apa yang ada padanya.” (lihat Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal. 163)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Itulah
negeri akherat yang Kami peruntukkan bagi orang-orang yang tidak
menginginkan ketinggian di muka bumi (kesombongan) dan tidak pula
menghendaki kerusakan (kemaksiatan).” (QS. al-Qashash: 83)
Imam Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Sebagian
ulama salaf berkata: Tawadhu’/sifat rendah hati itu adalah engkau
menerima kebenaran dari siapa pun yang datang membawanya, meskipun dia
adalah anak kecil. Barangsiapa yang menerima kebenaran dari siapa pun
yang membawanya entah itu anak kecil atau orang tua, entah itu orang
yang dia cintai atau tidak dia cintai, maka dia adalah orang yang
tawadhu’. Dan barangsiapa yang enggan menerima kebenaran karena merasa
dirinya lebih besar/lebih hebat daripada pembawanya maka dia adalah
orang yang menyombongkan diri.” (lihatJami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal. 164)
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Para
ulama berbeda pandangan mengenai definisi hasad. Sebagian mengatakan
bahwa hasad adalah berangan-angan agar suatu nikmat yang ada pada orang
lain menjadi hilang. Sebagian yang lain berpendapat bahwa hasad adalah
membenci kenikmatan yang diberikan Allah kepada orang lain. Inilah yang
dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah. Beliau
mengatakan: Apabila seorang hamba membenci nikmat yang Allah berikan
kepada orang lain maka dia telah hasad kepadanya, meskipun dia tidak
mengangankan nikmat itu lenyap.” (lihat Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah, hal. 164)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Apakah mereka menyimpan perasaan dengki terhadap orang-orang atas apa yang Allah berikan kepada mereka dari keutamaan-Nya?” (QS. an-Nisaa’: 54). Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Apakah
mereka yang membagi-bagi rahmat Rabbmu? Kami lah yang membagi-bagi
diantara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia.” (QS. az-Zukhruf: 32). Allah ta’alaberfirman (yang artinya), “Allah lah yang mengutamakan sebagian kalian di atas sebagian yang lain dalam hal rizki.” (QS. an-Nahl: 71)
Wallahul muwaffiq.
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan Komentar Disini