Posted by Unknown on Kamis, April 16, 2015 in Islami | No comments
Umur bumi sudah sangat tua, banyak sudah cerita yang tercipta, dan zaman
menjadi saksi bisu perputaran waktu. Tapi kita tidak layak untuk
membisu, kita harus bisa mengambil hikmah dari semua kejadian yang telah
terjadi. Ada kisah para anbiya, ada kisah para shohabah yang penuh
mahabbah, ada kisah tentang kaum yang Allah selamatkan, ada pula kisah
tentang kaum yang Allah binasakan. Semua kisah itu bisa kita temukan di
lembaran-lembaran Al-Qur’an dan As sunnah.
Dan pagi hari ini Allah telah menggerakkan bapak saya untuk bercerita
sebuah kisah yang tidak ada di dalam Al-Qur’an dan As sunnah. Karena
yang bapak ceritakan adalah kisah nyata yang terjadi di zaman yang penuh
fitnah. Seperti sekarang wahai ikhwah… L
Entah dari mana saya harus menceritakannya. Karena saya memang bukan
penulis ulung. Untuk berbicara pun biasanya belepotan. Namun saya tidak
bersedih. Karena kepandaian berpidato, kefasihan lidah, dan kelancaran
berbicara bukanlah syarat mutlak dalam berdakwah di jalan Allah.
Kalimurrahman, Musa AS ialah seorang nabi yang merasakan kakunya lidah
dalam memberikan penjelasan, dan beliau memohon kepada Allah dengan
ucapannya; wahlul ‘uqdatan min lisaaniy. Jadi, yang terpenting, gairah
tebar dakwah dan hikmah selalu merekah.
Oke, kembali ke topik.
Bermula saat tadi pagi saya sarapan berdua dengan bapak. Momen santai
seperti ini memang menjadi waktu paling pas, enak, dan cocok untuk
‘transfer’. Transfer kumpulan huruf, transfer kumpulan kata, transfer
kumpulan kalimat, dan jadilah seporsi wejangan yang nikmat…
Tapi, dalam kesempatan ini saya urungkan niat untuk bercerita secara detail. Mungkin, intisarinya saja.
Tadi bapak menceritakan seorang wanita yang bapak kenal dan saya juga
mengenalnya. Wanita itu berhijab. Bajunya longgar dan jilbabnya lebar.
Kostum itu ia kenakan sudah lama, sejak duduk di bangku kuliah. Sekarang
umurnya sudah kepala tiga. Dan wanita itu juga termasuk aktivis. Sampai
sekarang pun masih aktif duduk di halaqah. Wanita itu sudah menikah,
dengan seorang pria. Sudah lama. Mungkin kurang lebih 8 tahun silam.
Nah, saya ingin bercerita tentang malam-malam pertama pasutri tersebut.
Singkat cerita, kurang lebih 1 minggu setelah menikah. Si suami komplain
sama istrinya (wanita berhijab yang diceritakan bapak). Suaminya
komplain, karena menemukan sesuatu yang harusnya tidak ia temukan. (apa
ya sesuatu itu???).
Namun si wanita tidak mau menjawab, ia hanya menyuruh suaminya untuk
bertanya pada kakak iparnya (suami kakak perempuan si wanita). Dan
meluncurlah si suami ke rumah kakak ipar istrinya. Sesampainya di sana,
ia langsung menceritakan tentang sesuatu yang harusnya tidak ia temukan
di malam-malam pertama pernikahan.
Si suami bercerita bahwa ia dapati istrinya sudah tidak perawan lagi! Kewanitaannya bersih tanpa selaput.
Maka sang kakak ipar menjelaskan. Ternyata, dahulu ketika si wanita
masih duduk di bangku SMA, ia mengidap penyakit keputihan. Sudah parah.
Dan kakak iparnya itulah yang mengantar untuk berobat. Dokter pertama
berkata bahwa penyakit keputihan separah ini tidak mungkin menimpa
kecuali kepada wanita yang sudah beberapa kali melakukan hubungan
seksual. Untuk yang sudah bersuami, minimal 3 bulan setelah menikah.
Ketika itu, si wanita tidak puas dengan jawaban sang dokter dan minta
berobat ke dokter lain. Sampai 3 dokter dikunjungi, semua mengutarakan
jawaban yang tidak jauh berbeda…
Ternyata, pesan yang ingin bapak sampaikan adalah; “wanita shalihah
otomatis akan berbaju longgar dan berjilbab lebar. Karena itu salah satu
cirinya. Tapi hati-hati, jangan sampai tertipu oleh baju longgar dan
jilbab lebar, karena itu bukan jaminan… meskipun ianya sudah bertaubat,
tapi kamu inginnya yang ‘fresh’ kan?”
Sampai di sini mungkin ada yang nyeletuk, “ah santai aja, kalau kita baik pasti dapetnya yang baik juga kok. Kan ada tuh di Al-Qur’an. Surat an-nur ayat 26, Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji dan laki-laki yang keji adalah untuk wanita-wanita yang keji (pula).”
AnNur ayat 26
”Wanita-wanita yang keji adalah
untuk laki-laki yang keji dan laki-laki yang keji adalah untuk
wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk
laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita
yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang
dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). Bagi mereka ampunan dan rizki
yang mulia (surga).”
Berangkat dari pemahaman di atas, tentu saja kita bertanya-tanya apakah
yang dimaksud baik di sini? Atau keji? Apakah kita dapat menentukan
sesuatu itu baik atau tidak baik? Kalau kita cermati, ayat di atas
merupakan satu paket ayat yang bersambung ,tidak hanya putus pada
kalimat “untuk wanita yang baik” tetapi masih berlanjut dengan bahasan
tuduhan , juga ampunan. Artinya ayat ini sebenarnya diturunkan dalam
konteks tertentu. Coba kita lihat konteks ayat ini turun (asbabun
nuzul);
“Ayat ini diturunkan untuk menunjukkan kesucian ‘Aisyah RA dan Shafwan
bin al-Mu’attal RA dari segala tuduhan yang ditujukan kepada mereka.
Pernah suatu ketika dalam suatu perjalanan kembali dari ekspedisi
penaklukan Bani Musthaliq, ‘Aisyah terpisah tanpa sengaja dari rombongan
karena mencari kalungnya yang hilang dan kemudian diantarkan pulang
oleh Shafwan yang juga tertinggal dari rombongan karena ada suatu
keperluan. Kemudian ‘Aisyah naik ke untanya dan dikawal oleh Shafwan
menyusul rombongan Rasulullah SAW dan para sahabat, akan tetapi
rombongan tidak tersusul dan akhirnya mereka sampai di Madinah.
Peristiwa ini akhirnya menjadi fitnah di kalangan umat muslim kala itu
karena terhasut oleh isu dari golongan Yahudi dan munafik jika telah
terjadi apa-apa antara ‘Aisyah dan Shafwan.
Masalah menjadi sangat pelik karena sempat terjadi perpecahan di antara
kaum muslimin yang pro dan kontra atas isu tersebut. Sikap Nabi juga
berubah terhadap ‘Aisyah, beliau menyuruh ‘Aisyah untuk segera
bertaubat. Sementara ‘Aisyah tidak mau bertaubat karena tidak pernah
melakukan dosa yang dituduhkan kepadanya, ia hanya menangis dan berdoa
kepada Allah agar menunjukkan yang sebenarnya terjadi. Kemudian Allah
menurunkan ayat ini yang juga satu paket annur 11-26.”
Penjelasan An Nur 26 menurut para ulama
Jika dilihat dari konteks ayat ini, ada dua penafsiran para ulama
terhadap ayat ini yaitu tentang arti kata “wanita yang baik” dan juga
“ucapan yang baik” Sehingga dapat juga diartikan seperti ini;
“Perkara-perkara (ucapan) yang kotor adalah dari orang-orang yang kotor,
dan orang-orang yang kotor adalah untuk perkara-perkara yang kotor.
Sedang perkara (ucapan) yang baik adalah dari orang baik-baik, dan orang
baik-baik menimbulkan perkara yang baik pula. Mereka (yang dituduh) itu
bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). Bagi
mereka ampunan dan rizki yang mulia (surga).”
Kata khabiitsat biasa dipakai untuk makna ucapan yang kotor (keji), juga
kata thayyibaat dalam Quran diartikan sebagai kalimat yang baik.
Hakam Ibnu Utaibah yang menceritakan, bahwa ketika orang-orang
mempergunjingkan perihal Aisyah RA Rasulullah saw menyuruh seseorang
mendatangi Siti Aisyah RA Utusan itu mengatakan, “Hai Aisyah! Apakah
yang sedang dibicarakan oleh orang-orang itu?” Aisyah RA menjawab, “Aku
tidak akan mengemukakan suatu alasan pun hingga turun alasanku dari
langit”. Maka Allah menurunkan firman-Nya sebanyak lima belas ayat di
dalam surah An Nur mengenai diri Siti Aisyah RA. Selanjutnya Hakam Ibnu
Utaiban membacakannya hingga sampai dengan firman-Nya, “Ucapan-ucapan
yang keji adalah dari orang-orang yang keji…” (Q.S. An Nur, 26). Hadits
ini berpredikat Mursal dan sanadnya shahih.
Ayat 26 inilah penutup dari ayat wahyu yang membersihkan istri Nabi,
Aisyah dari tuduhan keji itu. Di dalam ayat ini diberikan pedoman hidup
bagi setiap orang yang beriman. Tuduhan keji adalah perbuatan yang amat
keji hanya akan timbul daripada orang yang keji pula. Memang orang-orang
yang kotorlah yang menimbulkan perbuatan kotor. Adapun ucapan-ucapan
yang baik adalah keluar dari orang-orang yang baik pula, dan memanglah
orang baik yang sanggup menciptakan perkara baik. Orang kotor tidak
menghasilkan yang bersih, dan orang baik tidaklah akan menghasilkan yang
kotor, dan ini berlaku secara umum
Di akhir ayat 26 Tuhan menutup perkara tuduhan ini dengan ucapan bersih
dari yang dituduhkan yaitu bahwa sekalian orang yang difitnah itu adalah
bersih belaka dari segala tuduhan, mereka tidak bersalah sama sekali.
Maka makna ayat di atas juga sangat tepat bahwa orang yang baik tidak
akan menyebarkan fitnah, fitnah hanya keluar dari orang–orang yang
berhati dengki, kotor, tidak bersih. Orang yang baik, dia akan tetap
bersih, karena kebersihan hatinya.
Yang Baik Hanya Untuk yang baik?
Pembahasan kedua yaitu tentang maksud ayat di atas yaitu “wanita yang
baik” dan “wanita yang keji”. Dalam hal ini terjemahan Depag menggunakan
arti wanita yang baik dan pemahaman ini berangkat dari para ulama yang
menyatakan bahwa Aisyah merupakan wanita yang baik-baik, karena konteks
ayat tersebut turun satu paket, yaitu ayat 11-26 dengan ayat sebelumnya
tentang seseorang menuduh wanita yang baik-baik berzina. Maka jika
diartikan begitu sesuai dengan pertanyaan di atas
”Wanita-wanita yang keji adalah
untuk laki-laki yang keji dan laki-laki yang keji adalah untuk
wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk
laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita
yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang
dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). Bagi mereka ampunan dan rizki
yang mulia (surga).”
Ayat ini bersifat umum, bahwa wanita-wanita yang keji adalah untuk
laki-laki yang keji, begitu juga sebaliknya. Namun yang perlu dipahami
adalah ayat ini sebuah kondisi atau memang anjuran, sebab para ulama
banyak mengemukakan pendapat tentang hal ini. Syaikh Muhammad Mutawalli
as-Sya’rawi, ulama Mesir pernah berkata: ada dua macam kalam (kalimat
sempurna) dalam bahasa Arab. Pertama; Kalam yang mengabarkan kondisi
atau suasana yang ada.
Kedua Kalam yang bermaksud ingin menciptakan kondisi dan suasana. Kalam
seperti ini bisa ditemukan dalam Quran. Seperti firman Allah QS.
Ali-Imran: 97: Barang siapa yang memasukinya (Baitullah itu) menjadi
amanlah dia. Ayat itu kalau dipahami, bahwa Allah sedang mengabarkan
kondisi dan suasana kota Mekah sesuai kenyataan yang ada, maka tentu
tidak akan terjadi hal-hal yang bertolak belakang dengan kondisi itu.
Akan tetapi, kalau ayat itu dipahami, sebagai bentuk pengkondisian
suasana, maka Allah sesungguhnya tengah menyuruh manusia, untuk
menciptakan kondisi aman di kota Mekah. Kalaupun kenyataan banyak
terjadi, bahwa kota Mekah kadang tidak aman, maka hal itu artinya,
manusia tidak mengejewantahkan perintah Allah.
Pemahaman yang sama juga bisa ditelaah pada ayat ini; Wanita-wanita yang
keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah
buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah
untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik adalah untuk
wanita-wanita yang baik (pula). (QS. An-Nur: 26). Pada kenyataan yang
terjadi, ternyata, ada laki-laki yang baik mendapat istri yang keji,
begitu pula sebaliknya. Maka memahami ayat tersebut sebagai sebuah
perintah, untuk menciptakan kondisi yang baik-baik untuk yang baik-baik,
adalah sebuah keharusan. Kalau tidak, maka kondisi terbalik malah yang
akan terjadi.
Kalau kita bandingkan dengan Annur ayat 3 yang mana kalimat digunakan untuk umum
“laki-laki yang berzina tidak
mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik;
dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang
berzina atau laki-laki musyrik” (QS. An Nur ayat 3)
Di ayat ini lebih tegas mengandung “unsur perintah” untuk mencari
pasangan yang sepadan. Sehingga ayat 26 bisa dimengerti sebagai sebuah
motivasi atau anjuran untuk mengondisikan dan bukan sebagai ketetapan
bahwa yang baik “otomatis” akan mendapatkan pasangan yang baik. Hal ini
tentu memerlukan usaha untuk memperbaiki diri lebih baik.
Ayat tersebut bukanlah
merupakan janji Allah kepada manusia yang baik akan ditakdirkan dengan
pasangan yang baik. Sebaliknya ayat tersebut merupakan peringatan agar
umat Islam memilih manusia yang baik untuk dijadikan pasangan hidup. Oleh
karena itu nabi bersabda tentang anjuran memilih pasangan yaitu
lazimnya dengan 4 pertimbangan, dan terserah yang mana saja, namun yang
agamanya baik tentu sangat dianjurkan.
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan Komentar Disini