Posted by Unknown on Minggu, April 12, 2015 in Islami | No comments
Mungkin kisah ini terasa sangat
aneh bagi mereka yang belum pernah bertemu dengan orangnya atau langsung
melihat dan mendengar penuturannya. Kisah yang mungkin hanya terjadi
dalam cerita fiktif, namun menjadi kenyataan. Hal itu tergambar dengan
kata-kata yang diucapkan oleh si pemilik kisah yang sedang duduk di
hadapanku mengisahkan tentang dirinya. Untuk mengetahui kisahnya lebih
lanjut dan mengetahui kejadian-kejadian yang menarik secara komplit,
biarkan aku menemanimu untuk bersama-sama menatap ke arah Johannesburg,
kota bintang emas nan kaya di negara Afrika Selatan di mana aku pernah
bertugas sebagai pimpinan cabang kantor Rabithah al-’Alam al-Islami di sana.
Pada tahun 1996, di sebuah negara
yang sedang mengalami musim dingin, di siang hari yang mendung,
diiringi hembusan angin dingin yang menusuk tulang, aku menunggu
seseorang yang berjanji akan menemuiku. Istriku sudah mempersiapkan
santapan siang untuk menjamu sang tamu yang terhormat. Orang yang aku
tunggu dulunya adalah seorang yang mempunyai hubungan erat dengan
Presiden Afrika Selatan Nelson Mandela. Ia seorang misionaris penyebar
dan pendakwah agama Nasrani. Ia seorang pendeta, namanya ‘Sily.’ Aku
dapat bertemu dengannya melalui perantaraan sekretaris kantor Rabithah
yang bernama Abdul Khaliq Matir, di mana ia mengabarkan kepada-ku bahwa
seorang pendeta ingin datang ke kantor Rabithah hendak membicarakan
perkara penting.
Tepat pada waktu yang telah
dijanjikan, pendeta tersebut datang bersama temannya yang bernama
Sulaiman. Sulaiman adalah salah seorang anggota sebuah sasana tinju
setelah ia memeluk Islam, selepas bertanding dengan seorang petinju
muslim terkenal, Muhammad Ali. Aku menyambut keda-tangan mereka di
kantorku dengan perasaan yang sangat gembira. Sily seorang yang
berpostur tubuh pendek, berkulit sangat hitam dan mudah tersenyum. Ia
duduk di depanku dan berbicara denganku dengan lemah lembut. Aku
katakan, “Saudara Sily bolehkah kami mendengar kisah keislamanmu?” ia
tersenyum dan berkata, “Ya, tentu saja boleh.”
Pembaca yang mulia, dengar dan perhatikan apa yang telah ia ceritakan kepadaku, kemudian setelah itu, silahkan beri penilaian.!
Sily berkata, “Dulu aku seorang
pendeta yang sangat militan. Aku berkhidmat untuk gereja dengan segala
kesungguhan. Tidak hanya sampai di situ, aku juga salah seorang aktifis
kristenisasi senior di Afrika Selatan. Karena aktifitasku yang besar
maka Vatikan memilihku untuk menjalankan program kristenisasi yang
mereka subsidi. Aku mengambil dana Vatikan yang sampai kepadaku untuk
menjalankan program tersebut. Aku mempergunakan segala cara untuk
mencapai targetku. Aku melakukan berbagai kunjungan rutin ke
madrasah-madrasah, sekolah-sekolah yang terletak di kampung dan di
daerah pedalaman. Aku memberikan dana tersebut dalam bentuk sumbangan,
pemberian, sedekah dan hadiah agar dapat mencapai targetku yaitu
memasukkan masyarakat ke dalam agama Kristen. Gereja melimpahkan dana
tersebut kepadaku sehingga aku menjadi seorang hartawan, mempunyai rumah
mewah, mobil dan gaji yang tinggi. Posisiku melejit di antara
pendeta-pendeta lainnya.
Pada suatu hari, aku pergi ke pusat pasar di kotaku untuk membeli beberapa hadiah. Di tempat itulah bermula sebuah perubahan!
Di pasar itu aku bertemu dengan
seseorang yang memakai kopiah. Ia pedagang berbagai hadiah. Waktu itu
aku mengenakan pakaian jubah pendeta berwarna putih yang merupakan ciri
khas kami. Aku mulai menawar harga yang disebutkan si penjual. Dari sini
aku mengetahui bahwa ia seorang muslim. Kami menyebutkan agama Islam
yang ada di Afrika selatan dengan sebutan ‘agama orang Arab.’ Kami tidak
menyebutnya dengan sebutan Islam. Aku pun membeli berbagai hadiah yang
aku inginkan. Sulit bagi kami menjerat orang-orang yang lurus dan mereka
yang konsiten dengan agamanya, sebagaimana yang telah berhasil kami
tipu dan kami kristenkan dari kalangan orang-orang Islam yang miskin di
Afrika Selatan.
Si penjual muslim itu bertanya
kepadaku, “Bukankah anda seorang pendeta?” Aku jawab, “Benar.” Lantas ia
bertanya kepadaku, “Siapa Tuhanmu?” Aku katakan, “Al-Masih.” Ia kembali
berkata, “Aku menantangmu, coba datangkan satu ayat di dalam Injil yang
menyebutkan bahwa al-Masih AS berkata, ‘Aku adalah Allah atau aku anak
Allah. Maka sembahlah aku’.” Ucapan muslim tersebut bagaikan petir yang
menyambar kepalaku. Aku tidak dapat menjawab pertanyaan tersebut. Aku
berusaha membuka-buka kembali catatanku dan mencarinya di dalam
kitab-kitab Injil dan kitab Kristen lainnya untuk menemukan jawaban yang
jelas terhadap pertanyaan lelaki tersebut. Namun aku tidak
menemukannya. Tidak ada satu ayat pun yang men-ceritakan bahwa al-Masih
berkata bahwa ia adalah Allah atau anak Allah. Lelaki itu telah
menjatuhkan mentalku dan menyulitkanku. Aku ditimpa sebuah bencana yang
membuat dadaku sempit. Bagaimana mungkin pertanyaan seperti ini tidak
pernah terlintas olehku? Lalu aku tinggalkan lelaki itu sambil
menundukkan wajah. Ketika itu aku sadar bahwa aku telah berjalan jauh
tanpa arah. Aku terus berusaha mencari ayat-ayat seperti ini, walau
bagaimanapun rumitnya. Namun aku tetap tidak mampu, aku telah kalah.
Aku pergi ke Dewan Gereja dan
meminta kepada para anggota dewan agar berkumpul. Mereka menyepakatinya.
Pada pertemuan tersebut aku mengabarkan kepada mereka tentang apa yang
telah aku dengar. Tetapi mereka malah menyerangku dengan ucapan, “Kamu
telah ditipu orang Arab. Ia hanya ingin meyesatkanmu dan memasukkan kamu
ke dalam agama orang Arab.” Aku katakan, “Kalau begitu, coba beri
jawabannya!” Mereka membantah pertanyaan seperti itu namun tak seorang
pun yang mampu memberikan jawaban.
Pada hari minggu, aku harus
memberikan pidato dan pelajaranku di gereja. Aku berdiri di depan orang
banyak untuk memberikan wejangan. Namun aku tidak sanggup melakukannya.
Sementara para hadirin merasa aneh, karena aku berdiri di hadapan mereka
tanpa mengucapkan sepatah katapun. Aku kembali masuk ke dalam gereja
dan meminta kepada temanku agar ia menggantikan tempatku. Aku katakan
bahwa aku sedang sakit. Padahal jiwaku hancur luluh.
Aku pulang ke rumah dalam keadaan
bingung dan cemas. Lalu aku masuk dan duduk di sebuah ruangan kecil.
Sambil menangis aku menengadahkan pandanganku ke langit seraya berdoa.
Namun kepada siapa aku berdoa. Kemudian aku berdoa kepada Dzat yang aku
yakini bahwa Dia adalah Allah Sang Maha Pencipta, “Ya Tuhanku… Wahai
Dzat yang telah men-ciptakanku… sungguh telah tertutup semua pintu di
hadapanku kecuali pintuMu… Janganlah Engkau halangi aku mengetahui
kebenaran… manakah yang hak dan di manakah kebenaran? Ya Tuhanku… jangan
Engkau biarkan aku dalam kebimbangan… tunjukkan kepadaku jalan yang hak
dan bimbing aku ke jalan yang benar…” lantas akupun tertidur.
Di dalam tidur, aku melihat
diriku sedang berada di sebuah ruangan yang sangat luas. Tidak ada
seorang pun di dalamnya kecuali diriku. Tiba-tiba di tengah ruangan
tersebut muncul seorang lelaki. Wajah orang itu tidak begitu jelas
karena kilauan cahaya yang terpancar darinya dan dari sekelilingnya.
Namun aku yakin bahwa cahaya tersebut muncul dari orang tersebut. Lelaki
itu memberi isyarat kepadaku dan memanggil, “Wahai Ibrahim!” Aku
menoleh ingin mengetahui siapa Ibrahim, namun aku tidak menjumpai siapa
pun di ruangan itu. Lelaki itu berkata, “Kamu Ibrahim… kamulah yang
bernama Ibrahim. Bukankah engkau yang memohon petunjuk kepada Allah?”
Aku jawab, “Benar.” Ia berkata, “Lihat ke sebelah kananmu!” Maka akupun
menoleh ke kanan dan ternyata di sana ada sekelompok orang yang sedang
memanggul barang-barang mereka dengan mengenakan pakaian putih dan
bersorban putih. Ikutilah mereka agar engkau mengetahui kebenaran!”
Lanjut lelaki itu.
Kemudian aku terbangun dari
tidurku. Aku merasakan sebuah kegembiraan menyelimutiku. Namun aku belum
juga memperoleh ketenangan ketika muncul pertanyaan, di mana gerangan
kelompok yang aku lihat di dalam mimipiku itu berada.
Aku bertekad untuk melanjutkannya
dengan berkelana mencari sebuah kebenaran, sebagaimana ciri-ciri yang
telah diisyaratkan dalam mimpiku. Aku yakin ini semua merupakan petunjuk
dari Allah SWT. Kemudian aku minta cuti kerja dan mulai melakukan
perjalanan panjang yang memaksaku untuk berkeliling di beberapa kota
mencari dan bertanya di mana orang-orang yang memakai pakaian dan sorban
putih berada. Telah panjang perjalanan dan pencarianku. Setiap aku
menjumpai kaum muslimin, mereka hanya memakai celana panjang dan kopiah.
Hingga akhirnya aku sampai di kota Johannesburg.
Di sana aku mendatangi kantor
penerima tamu milik Lembaga Muslim Afrika. Di rumah itu aku bertanya
kepada pegawai penerima tamu tentang jamaah tersebut. Namun ia mengira
bahwa aku seorang peminta-minta dan memberikan sejumlah uang. Aku
katakan, “Bukan ini yang aku minta. Bukankah kalian mempunyai tempat
ibadah yang dekat dari sini? Tolong tunjukkan masjid yang terdekat.”
Lalu aku mengikuti arahannya dan aku terkejut ketika melihat seorang
lelaki berpakaian dan bersorban putih sedang berdiri di depan pintu.
Aku sangat girang, karena
ciri-cirinya sama seperti yang aku lihat dalam mimpi. Dengan hati yang
berbunga-bunga, aku mendekati orang tersebut. Sebelum aku mengatakan
sepatah kata, ia terlebih dahulu berkata, “Selamat datang ya Ibrahim!”
Aku terperanjat mendengarnya. Ia mengetahui namaku sebelum aku
memperkenalkannya. Lantas ia melanjutkan ucapan-nya, “Aku melihatmu di
dalam mimpi bahwa engkau sedang mencari-cari kami. Engkau hendak mencari
kebenaran? Kebenaran ada pada agama yang diridhai Allah untuk hamba-Nya
yaitu Islam.” Aku katakan, “Benar. Aku sedang mencari kebenaran yang
telah ditunjukkan oleh lelaki bercahaya dalam mimpiku, agar aku
mengikuti sekelompok orang yang berpakaian seperti busana yang engkau
kenakan. Tahukah kamu siapa lelaki yang aku lihat dalam mimpiku itu?” Ia
menjawab, “Dia adalah Nabi kami Muhammad, Nabi agama Islam yang benar,
Rasulullah SAW.” Sulit bagiku untuk mempercayai apa yang terjadi pada
diriku. Namun langsung saja aku peluk dia dan aku katakan kepadanya,
“Benarkah lelaki itu Rasul dan Nabi kalian yang datang menunjukiku agama
yang benar?” Ia berkata, “Benar.”
Ia lalu menyambut kedatanganku
dan memberikan ucapan selamat karena Allah telah memberiku hidayah
kebenaran. Kemudian datang waktu shalat zhuhur. Ia mempersilahkanku
duduk di tempat paling belakang dalam masjid dan ia pergi untuk
melaksanakan shalat bersama jamaah yang lain. Aku memperhatikan kaum
muslimin banyak memakai pakaian seperti yang dipakainya. Aku melihat
mereka rukuk dan sujud kepada Allah. Aku berkata dalam hati, “Demi
Allah, inilah agama yang benar. Aku telah membaca dalam berbagai kitab
bahwa para nabi dan rasul meletakkan dahinya di atas tanah sujud kepada
Allah.” Setelah mereka shalat, jiwaku mulai merasa tenang dengan
fenomena yang aku lihat. Aku berucap dalam hati, “Demi Allah
sesungguhnya Allah SAW telah menunjukkan kepadaku agama yang benar.”
Seorang muslim memanggilku agar aku mengumumkan keislamanku. Lalu aku
mengucapkan dua kalimat syahadat dan aku menangis sejadi-jadinya karena
gembira telah mendapat hidayah dari Allah SWT.
Kemudian aku tinggal bersamanya
untuk mempelajari Islam dan aku pergi bersama mereka untuk melakukan
safari dakwah dalam waktu beberapa lama. Mereka mengunjungi semua
tempat, mengajak manusia kepada agama Islam. Aku sangat gembira ikut
bersama mereka. Aku dapat belajar shalat, puasa, tahajjud, doa,
kejujuran dan amanah dari mereka. Aku juga belajar dari mereka bahwa
seorang muslim diperintahkan untuk menyampaikan agama Allah dan
bagaimana menjadi seorang muslim yang mengajak kepada jalan Allah serta
berdakwah dengan hikmah, sabar, tenang, rela berkorban dan berwajah
ceria.
Setelah beberapa bulan kemudian,
aku kembali ke kotaku. Ternyata keluarga dan teman-temanku sedang
mencari-cariku. Namun ketika melihat aku kembali memakai pakaian Islami,
mereka mengingkarinya dan Dewan Gereja meminta kepadaku agar diadakan
sidang darurat. Pada pertemuan itu mereka mencelaku karena aku telah
meninggalkan agama keluarga dan nenek moyang kami. Mereka berkata
kepadaku, “Sungguh kamu telah tersesat dan tertipu dengan agama orang
Arab.” Aku katakan, “Tidak ada seorang pun yang telah menipu dan
menyesatkanku. Sesungguhnya Rasulullah Muhammad SAW datang kepadaku
dalam mimpi untuk menunjukkan kebenaran dan agama yang benar yaitu agama
Islam. Bukan agama orang Arab sebagaimana yang kalian katakan. Aku
mengajak kalian kepada jalan yang benar dan memeluk Islam.” Mereka semua
terdiam.
Kemudian mereka mencoba cara
lain, yaitu membujukku dengan memberikan harta, kekuasaan dan pangkat.
Mereka berkata, “Sesungguhnya Vatikan me-mintamu untuk tinggal bersama
mereka selama enam bulan untuk menyerahkan uang panjar pembelian rumah
dan mobil baru untukmu serta memberimu kenaikan gaji dan pangkat
tertinggi di gereja.”
Semua tawaran tersebut aku tolak
dan aku katakan kepada mereka, “Apakah kalian akan menyesatkanku setelah
Allah memberiku hidayah? Demi Allah aku takkan pernah melakukannya
walaupun kalian memenggal leherku.” Kemudian aku menasehati mereka dan
kembali mengajak mereka ke agama Islam. Maka masuk Islamlah dua orang
dari kalangan pendeta.
Alhamdulillah, Setelah melihat
tekadku tersebut, mereka menarik semua derajat dan pangkatku. Aku merasa
senang dengan itu semua, bahkan tadinya aku ingin agar penarikan itu
segera dilakukan. Kemudian aku mengembalikan semua harta dan tugasku
kepada mereka dan akupun pergi meninggalkan mereka,” Sily mengakhiri
kisahnya.
Kisah masuk Islam Ibrahim Sily
yang ia ceritakan sendiri kepadaku di kantorku, disaksikan oleh Abdul
Khaliq sekretaris kantor Rabithah Afrika dan dua orang lainnya. Pendeta
sily sekarang dipanggil dengan Da’i Ibrahim Sily berasal dari kabilah
Kuza Afrika Selatan. Aku mengundang pendeta Ibrahim -maaf- Da’i Ibrahim
Sily makan siang di rumahku dan aku laksanakan apa yang diwajibkan dalam
agamaku yaitu memuliakannya, kemudian ia pun pamit. Setelah pertemuan
itu aku pergi ke Makkah al-Mukarramah untuk melaksanakan suatu tugas.
Waktu itu kami sudah mendekati persiapan seminar Ilmu Syar’i I yang akan
diadakan di kota Cape Town. Lalu aku kembali ke Afrika Selatan tepatnya
ke kota Cape Town.
Ketika aku berada di kantor yang
telah disiapkan untuk kami di Ma’had Arqam, Dai Ibrahim Sily
mendatangiku. Aku langsung mengenalnya dan aku ucapkan salam untuknya
dan bertanya, “Apa yang kamu lakukan disini wahai Ibrahim.?” Ia
menjawab, “Aku sedang mengunjungi tempat-tempat di Afrika Selatan untuk
berdakwah kepada Allah. Aku ingin mengeluarkan masyarakat negeriku dari
api neraka, mengeluarkan mereka dari jalan yang gelap ke jalan yang
terang dengan memasukkan mereka ke dalam agama Islam.”
Setelah Ibrahim selesai
mengisahkan kepada kami bahwa perhatiannya sekarang hanya tertumpah
untuk dakwah kepada agama Allah, ia meninggalkan kami menuju suatu
daerah… medan dakwah yang penuh dengan pengorbanan di jalan Allah. Aku
perhatikan wajahnya berubah dan pakaiannya bersinar. Aku heran ia tidak
meminta bantuan dan tidak menjulurkan tangannya meminta sumbangan. Aku
merasakan ada yang mengalir di pipiku yang membangkitkan perasaan aneh.
Perasaan ini seakan-akan berbicara kepadaku, “Kalian manusia yang
mempermainkan dakwah, ti-dakkah kalian perhatikan para mujahid di jalan
Allah!”
Benar wahai sudaraku. Kami telah
tertinggal… kami berjalan lamban… kami telah tertipu dengan kehidupan
dunia, sementara orang-orang yang seperti Da’i Ibrahim Sily, Da’i
berbangsa Spanyol Ahmad Sa’id berkorban, berjihad dan bertempur demi
menyampaikan agama ini. Ya Rabb rahmatilah kami.
(SUMBER: SERIAL KISAH TELADAN
karya Muhammad Shalih al-Qaththani, seperti yang dinukilnya dari tulisan
Dr. Abdul Aziz Ahmad Sarhan, Dekan fakultas Tarbiyah di Makkah
al-Mukarramah, dengan sedikit perubahan.
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan Komentar Disini