Posted by Unknown on Senin, April 13, 2015 in Islami | No comments
Pemilik Manhaj Fiqih Yang Memadukan Antara Dua Madzhab Pendahulunya
Nama Dan Nasabnya
Beliau
adalah Muhammad bin Idris bin al-‘Abbas bin Utsman bin Syafi’ bin
as-Saib bin ‘Ubaid bin ‘Abdu Yazid bin Hasyim bin Murrah bin
al-Muththalib bin ‘Abdi Manaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka’b
bin Lu`ay bin Ghalib Abu ‘Abdillah al-Qurasyi asy-Syafi’i al-Makki,
keluarga dekat Rasulullah SAW dan putera pamannya.
Al-Muththalib
adalah saudara Hasyim yang merupakan ayah dari ‘Abdul Muththalib, kakek
Rasulullah SAW. Jadi, Imam asy-Syafi’i berkumpul (bertemu nasabnya)
dengan Rasulullah pada ‘Abdi Manaf bin Qushay, kakek Rasulullah yang
ketiga.
Sebutan
“asy-Syafi’i” dinisbatkan kepada kakeknya yang bernama Syafi’ bin
as-Saib, seorang shahabat junior yang sempat bertemu dengan Raasulullah
SAW ketika masih muda.
Sedangkan
as-Saib adalah seorang yang mirip dengan Rasulullah SAW sebagaimana
diriwayatkan bahwa ketika suatu hari Nabi SAW berada di sebuah tempat
yang bernama Fushthath, datanglah as-Saib bin ‘’Ubaid beserta puteranya, yaitu Syafi’ bin as-Saib, maka Rasulullah SAW memandangnya dan berkata, “Adalah suatu kebahagiaan bila seseorang mirip dengan ayahnya.”
Sementara ibunya berasal dari suku Azd, Yaman.
Gelarnya
Ia digelari sebagai Naashir al-Hadits (pembela
hadits) atau Nasshir as-Sunnah, gelar ini diberikan karena pembelaannya
terhadap hadits Rasulullah SAW dan komitmennya untuk mengikuti as-
Sunnah.
Kelahiran Dan Pertumbuhannya
Para
sejarawan sepakat, ia lahir pada tahun 150 H, yang merupakan -menurut
pendapat yang kuat- tahun wafatnya Imam Abu Hanifah RAH tetapi mengenai
tanggalnya, para ulama tidak ada yang memastikannya.
Tempat Kelahirannya
Ada
banyak riwayat tentang tempat kelahiran Imam asy-Syafi’i. Yang paling
populer adalah bahwa beliau dilahirkan di kota Ghazzah (Ghaza). Pendapat
lain mengatakan, di kota ‘Asqalan bahkan ada yang mengatakan di Yaman.
Imam
al-Baihaqi mengkonfirmasikan semua riwayat-riwayat tersebut dengan
mengatakan bahwa yang shahih beliau dilahirkan di Ghaza bukan di Yaman.
Sedangkan penyebutan ‘Yaman’ barangkali maksudnya adalah tempat yang
dihuni oleh sebagian keturunan Yaman di kota Ghaza. Beliau kemudian
lebih mendetail lagi dengan mengatakan, “Seluruh riwayat menunjukkan
bahwa Imam asy-Syafi’i dilahirkan di kota Ghaza, lalu dibawa ke
‘Asqalan, lalu dibawa ke Mekkah.”
Ibn
Hajar mengkonfirmasikan secara lebih spesifik lagi dengan mengatakan
tidak ada pertentangan antar riwayat-riwayat tersebut (yang mengatakan
Ghaza atau ‘Asqalan), karena ketika asy-Syafi’i mengatakan ia lahir di
‘Asqalan, maka maksudnya adalah kotanya sedangkan Ghaza adalah
kampungnya. Ketika memasuki usia 2 tahun, ibunya membawanya ke negeri
Hijaz dan berbaur dengan penduduk negeri itu yang terdiri dari
orang-orang Yaman, karena ibunya berasal dari suku Azd. Ketika berumur
10 tahun, ia dibawa ibunya ke Mekkah karena ibunya khawatir nasabnya
yang mulia itu lenyap dan terlupakan.
Pertumbuhan Dan Kegiatannya Dalam Mencari Ilmu
Imam
asy-Syafi’i tumbuh di kota Ghaza sebagai seorang yatim, di samping itu
juga hidup dalam kesulitan dan kefakiran serta terasing dari keluarga.
Kondisi ini tidak menyurutkan tekadnya untuk hidup lebih baik. Rupanya
atas taufiq Allah, ibunya membawanyanya ke tanah Hijaz, Mekkah. Maka
dari situ, mulailah imam asy-Syafi’i kecil menghafal al-Qur’an dan
berhasil menamatkannya dalam usia 7 tahun.
Menurut
pengakuan asy-Syafi’i, bahwa ketika masa belajar dan mencari guru
untuknya, ibunya tidak mampu membayar gaji gurunya, namun gurunya rela
dan senang karena dia bisa menggantikannya pula. Lalu ia banyak
menghadiri pengajian dan bertemu dengan para ulama untuk mempelajari
beberapa masalah agama. Ia menulis semua apa yang didengarnya ke
tulang-tulang yang bila sudah penuh dan banyak, maka ia masukkan ke
dalam karung.
Ia
juga bercerita bahwa ketika tiba di Mekkah dan saat itu masih berusia
sekitar 10 tahun, salah seorang sanak saudaranya menasehati agar ia
bersungguh-sungguh untuk hal yang bermanfa’at baginya. Lalu ia pun
merasakan lezatnya menuntut ilmu dan karena kondisi ekonominya yang
memprihatinkan, untuk menuntut ilmu ia harus pergi ke perpustakaan dan
menggunakan bagian luar dari kulit yang dijumpainya untuk mencatat.
Hasilnya,
dalam usia 7 tahun ia sudah hafal al-Qur’an 30 juz, pada usia 10 tahun
(menurut riwayat lain, 13 tahun) ia hafal kitab al-Muwaththa` karya
Imam Malik dan pada usia 15 tahun (menurut riwayat lain, 18 tahun) ia
sudah dipercayakan untuk berfatwa oleh gurunya Muslim bin Khalid
az-Zanji.
Semula
beliau begitu gandrung dengan sya’ir dan bahasa di mana ia hafal
sya’ir-sya’ir suku Hudzail. Bahkan, ia sempat berinteraksi dengan mereka
selama 10 atau 20 tahun. Ia belajar ilmu bahasa dan balaghah. Dalam
ilmu hadits, ia belajar dengan imam Malik dengan membaca langsung kitab al-Muwaththa` dari hafalannya sehingga membuat sang imam terkagum-kagum.
Di samping itu, ia juga belajar berbagai disiplin ilmu sehingga gurunya banyak.
Pengembaraannya Dalam Menuntut Ilmu
Imam
asy-Syafi’i amat senang dengan syair dan ilmu bahasa, terlebih lagi
ketika ia mengambilnya dari suku Hudzail yang dikenal sebagai suku Arab
paling fasih. Banyak bait-bait syair yang dihafalnya dari orang-orang
Hudzail selama interaksinya bersama mereka. Di samping syair, beliau
juga menggemari sejarah dan peperangan bangsa Arab serta sastra.
Kapasitas
keilmuannya dalam bahasa ‘Arab tidak dapat diragukan lagi, bahkan
seorang imam bahasa ‘Arab, al-Ashmu’i mengakui kapasitasnya dan
mentashhih sya’ir-sya’ir Hudzail kepadanya.
Di samping itu, imam asy-Syafi’i juga seorang yang bacaan al-Qur’annya amat merdu sehingga membuat orang yang mendengarnya menangis bahkan pingsan. Hal ini diceritakan oleh Ibn Nashr yang berkata, “Bila kami ingin menangis, masing-masing kami berkata kepada yang lainnya, ‘bangkitlah menuju pemuda al-Muththaliby yang sedang membaca al-Qur’an,” dan bila kami sudah mendatanginya sedang shalat di al-Haram seraya memulai bacaan al-Qur’an, orang-orang merintih dan menangis tersedu-sedu saking merdu suaranya. Bila melihat kondisi orang-orang seperti itu, ia berhenti membacanya.
Di samping itu, imam asy-Syafi’i juga seorang yang bacaan al-Qur’annya amat merdu sehingga membuat orang yang mendengarnya menangis bahkan pingsan. Hal ini diceritakan oleh Ibn Nashr yang berkata, “Bila kami ingin menangis, masing-masing kami berkata kepada yang lainnya, ‘bangkitlah menuju pemuda al-Muththaliby yang sedang membaca al-Qur’an,” dan bila kami sudah mendatanginya sedang shalat di al-Haram seraya memulai bacaan al-Qur’an, orang-orang merintih dan menangis tersedu-sedu saking merdu suaranya. Bila melihat kondisi orang-orang seperti itu, ia berhenti membacanya.
Di
Mekkah, setelah dinasehati agar memperdalam fiqih, ia berguru kepada
Muslim bin Khalid az-Zanji, seorang mufti Mekkah. Setelah itu, ia dibawa
ibunya ke Madinah untuk menimba ilmu dari Imam Malik. Di sana, beliau
berguru dengan Imam Malik selama 16 tahun hingga sang guru ini wafat
(tahun 179 H). Pada saat yang sama, ia belajar pada Ibrahim bin Sa’d
al-Anshary, Muhammad bin Sa’id bin Fudaik dan ulama-ulama selain mereka.
Sepeninggal
Imam Malik, asy-Syafi’i merantau ke wilayah Najran sebagai Wali
(penguasa) di sana. Namun betapa pun keadilan yang ditampakkannya, ada
saja sebagian orang yang iri dan menjelek-jelekkannya serta
mengadukannya kepada khalifah Harun ar-Rasyid. Lalu ia pun dipanggil ke
Dar al-Khilafah pada tahun 184 H. Akan tetapi beliau berhasil membela
dirinya di hadapan khalifah dengan hujjah yang amat meyakinkan sehingga
tampaklah bagi khalifah bahwa tuduhan yang diarahkan kepadanya tidak
beralasan dan ia tidak bersalah, lalu khalifah menjatuhkan vonis ‘bebas’
atasnya.
Beliau
kemudian merantau ke Baghdad dan di sana bertemu dengan Muhammad bin
al-Hasan asy-Syaibany, murid Imam Abu Hanifah. Beliau membaca
kitab-kitabnya dan mengenal ilmu Ahli Ra`yi (kaum Rasional),
kemudian kembali lagi ke Mekkah dan tinggal di sana selama kurang lebih 9
tahun untuk menyebarkan madzhabnya melaluihalaqah-halaqah ilmu
yang disesaki para penuntut ilmu di Haram, Mekkah, demikian juga melalui
pertemuannya dengan para ulama saat berlangsung musim haji. Pada masa
ini, Imam Ahmad belajar dengannya.
Kemudian
beliau kembali lagi ke Baghdad tahun 195 H. Kebetulan di sana sudah ada
majlisnya yang dihadiri oleh para ulama dan disesaki para penuntut ilmu
yang datang dari berbagai penjuru. Beliau tinggal di sana selama 2
tahun yang dipergunakannya untuk mengarang kitab ar-Risalah. Dalam buku
ini, beliau memaparkan madzhab lamanya (Qaul Qadim). Dalam masa
ini, ada empat orang sahabat seniornya yang ‘nyantri’ dengannya, yaitu
Ahmad bin Hanbal, Abu Tsaur, az-Za’farany dan al-Karaabiisy.
Kemudian
beliau kembali ke Mekkah dan tinggal di sana dalam waktu yang relatif
singkat, setelah itu meninggalkannya menuju Baghdad lagi, tepatnya pada
tahun 198 H. Di Baghdad, beliau juga tinggal sebentar untuk kemudian
meninggalkannya menuju Mesir.
Beliau
tiba di Mesir pada tahun 199 H dan rupanya kesohorannya sudah
mendahuluinya tiba di sana. Dalam perjalanannya ini, beliau didampingi
beberapa orang muridnya, di antaranya ar-Rabi’ bin Sulaiman al-Murady
dan ‘Abdullah bin az-Zubair al-Humaidy. Beliau singgah dulu di Fushthath sebagai
tamu ‘Abdullah bin ‘Abdul Hakam yang merupakan sahabat Imam Malik.
Kemudian beliau mulai mengisi pengajiannya di Jami’ ‘Amr bin al-‘Ash.
Ternyata, kebanyakan dari pengikut dua imam sebelumnya, yaitu pengikut
Imam Abu Hanifah dan Imam Malik lebih condong kepadanya dan terkesima
dengan kefasihan dan ilmunya.
Di
Mesir, beliau tinggal selama 5 tahun di mana selama masa ini
dipergunakannya untuk mengarang, mengajar, berdebat (Munazharah) dan
meng-counter pendapat-pendapat lawan. Di negeri inilah, beliau
meletakkan madzhab barunya (Qaul Jadid), yaitu berupa hukum-hukum
dan fatwa-fatwa yang beliau gali dalilnya selama di Mesir, sebagiannya
berbeda dengan pendapat fiqih yang telah diletakkannya di Iraq. Di Mesir
pula, beliau mengarang buku-buku monumentalnya, yang diriwayatkan oleh
para muridnya.
Kemunculan Sosok Dan Manhaj (Metode) Fiqihnya
Mengenai hal ini, Ahmad Tamam di dalam bukunya asy-Syaafi’iy: Malaamih Wa Aatsaar menyebutkan
bagaimana kemunculan sosok asy-Syafi’i dan manhaj fiqihnya. Sebuah
manhaj yang merupakan paduan antara fiqih Ahli Hijaz dan fiqih Ahli
Iraq, manhaj yang dimatangkan oleh akal yang menyala, kemumpunian dalam
al-Qur’an dan as-Sunnah, kejelian dalam linguistik Arab dan
sastra-sastranya, kepakaran dalam mengetahui kondisi manusia dan
permasalahan-permasalahan mereka serta kekuatan pendapat dan qiyasnya.
Bila
kembali ke abad 2 M, kita mendapati bahwa pada abad ini telah muncul
dua ‘’perguruan’ (Madrasah) utama di dalam fiqih Islam; yaitu perguruan
rasional (Madrasah Ahli Ra`yi) dan perguruan hadits (Madrasah Ahli Hadits).
Perguruan pertama eksis di Iraq dan merupakan kepanjangan tangan dari
fiqih ‘Abdullah bin Mas’ud yang dulu tinggal di sana. Lalu ilmunya
dilanjutkan oleh para sahabatnya dan mereka kemudian menyebarkannya.
Dalam hal ini, Ibn Mas’ud banyak terpengaruh oleh manhaj ‘Umar bin
al-Khaththab di dalam berpegang kepada akal (pendapat) dan menggali
illat-illat hukum manakala tidak terdapat nash baik dari Kitabullah mau
pun dari Sunnah Rasulullah SAW. Di antara murid Ibn Mas’ud yang paling
terkenal adalah ‘Alqamah bin Qais an-Nakha’iy, al-Aswad bin Yazid
an-Nakha’iy, Masruq bin al-Ajda’ al-Hamadaany dan Syuraih al-Qadly.
Mereka itulah para ahli fiqih terdepan pada abad I H. Setelah mereka,
perguruan Ahli Ra`yi dipimpin oleh Ibrahim bin Yazid an-Nakha’iy, ahli
fiqih Iraq tanpa tanding. Di tangannya muncul beberapa orang murid, di
antaranya Hammad bin Sulaiman yang menggantikan pengajiannya
sepeninggalnya. Hammad adalah seorang Imam Mujtahid dan memiliki
pengajian yang begitu besar di Kufah. Pengajiannya ini didatangi banyak
penuntut ilmu, di antaranya Abu Hanifah an-Nu’man yang pada masanya
mengungguli semua rekan sepengajiannya dan kepadanya berakhir tampuk
kepemimpinan fiqih. Ia lah yang menggantikan syaikhnya setelah wafatnya
dan mengisi pengajian yang diselenggarakan perguruan Ahli Ra`yi. Pada
masanya, banyak sekali para penuntut ilmu belajar fiqih dengannya,
termasuk di antaranya murid-muridnya yang setia, yaitu Qadi Abu Yusuf,
Muhammad bin al-Hasan, Zufar, al-Hasan bin Ziyad dan ulama-ulama selain
mereka. Di tangan-tangan mereka itulah akhirnya metode perguruan Ahli
Ra`yi mengkristal, semakin eksis dan jelas manhajnya.
Sedangkan
perguruan Ahli Hadits berkembang di semenanjung Hijaz dan merupakan
kepanjangan tangan dari perguruan ‘Abdullah bin ‘Abbas, ‘Abdullah bin
‘Umar, ‘Aisyah dan para ahli fiqih dari kalangan shahabat lainnya yang
berdiam di Mekkah dan Madinah. Penganut perguruan ini banyak melahirkan
para imam seperti Sa’id bin al-Musayyab, ‘Urwah bin az-Zubair, al-Qasim
bin Muhammad, Ibn Syihab az-Zuhry, al-Laits bin Sa’d dan Malik bin Anas.
Perguruan ini unggul dalam hal keberpegangannya sebatas nash-nash
Kitabullah dan as-Sunnah, bila tidak mendapatkannya, maka dengan
atsar-atsar para shahabat. Di samping itu, timbulnya perkara-perkara
baru yang relatif sedikit di Hijaz, tidak sampai memaksa mereka untuk
melakukan penggalian hukum (istinbath) secara lebih luas, berbeda halnya
dengan kondisi di Iraq.
Saat
imam asy-Syafi’I muncul, antara kedua perguruan ini terjadi perdebatan
yang sengit, maka ia kemudian mengambil sikap menengah (baca: moderat).
Beliau berhasil melerai perdebatan fiqih yang terjadi antara kedua
perguruan tersebut berkat kemampuannya di dalam menggabungkan antara
kedua manhaj perguruan tersebut mengingat ia sempat berguru kepada tokoh
utama dari keduanya; dari perguruan Ahli Hadits, ia berguru dengan
pendirinya, Imam Malik dan dari perguruan Ahli Ra`yi, ia berguru dengan
orang nomor dua yang tidak lain adalah sahabat dan murid Imam Abu
Hanifah, yaitu Muhammad bin al-Hasan asy-Syaibany.
Imam asy-Syafi’i menyusun Ushul (pokok-pokok
utama) yang dijadikan acuan di dalam fiqihnya dan kaidah-kaidah yang
dikomitmeninya di dalam ijtihadnya pada risalah ushul fiqih yang
berjudul ar-Risalah. Ushul tersebut ia terapkan dalam fiqihnya.
Ia merupakan Ushul amaliah bukan teoritis. Yang lebih jelas lagi dapat
dibaca pada kitabnya al-Umm di mana beliau menyebutkan hukum
berikut dalil-dalilnya, kemudian menjelaskan aspek pendalilan dengan
dalil, kaidah-kaidah ijtihad dan pokok-pokok penggalian dalil yang
dipakai di dalam menggalinya. Pertama, ia merujuk kepada al-Qur’an dan
hal-hal yang nampak baginya dari itu kecuali bila ada dalil lain yang
mengharuskan pengalihannya dari makna zhahirnya, kemudian setelah itu,
ia merujuk kepada as-Sunnah bahkan sampai pada penerimaan khabar Ahad
yang diriwayatkan oleh periwayat tunggal namun ia seorang yang Tsiqah
(dapat dipercaya) pada diennya, dikenal sebagai orang yang jujur dan
tersohor dengan kuat hafalan. Asy-Syafi’i menilai bahwa as-Sunnah dan
al-Qur’an setaraf sehingga tidak mungkin melihat hanya pada al-Qur’an
saja tanpa melihat lagi pada as-Sunnah yang menjelaskannya. Al-Qur’an
membawa hukum-hukum yang bersifat umum dan kaidah Kulliyyah (bersifat
menyeluruh) sedangkan as-Sunnah lah yang menafsirkan hal itu. as-Sunnah
pula lah yang mengkhususkan makna umum pada al-Qur’an, mengikat makna Muthlaq-nya atau menjelaskan makna globalnya.
Untuk
berhujjah dengan as-Sunnah, asy-Syafi’i hanya mensyaratkan
bersambungnya sanad dan keshahihannya. Bila sudah seperti itu maka ia
shahih menurutnya dan menjadi hujjahnya. Ia tidak mensyaratkan harus
tidak bertentangan dengan amalan Ahli Madinah untuk menerima suatu
hadits sebagaimana yang disyaratkan gurunya, Imam Malik, atau hadits
tersebut harus masyhur dan periwayatnya tidak melakukan hal yang
bertolak belakang dengannya.
Selama
masa hidupnya, Imam asy-Syafi’i berada di garda terdepan dalam membela
as-Sunnah, menegakkan dalil atas keshahihan berhujjah dengan hadits
Ahad. Pembelaannya inilah yang merupakan faktor semakin melejitnya
popularitas dan kedudukannya di sisi Ahli Hadits sehingga mereka
menjulukinya sebagai Naashir as-Sunnah (Pembela as-Sunnah).
Barangkali
faktor utama kenapa asy-Syafi’i lebih banyak berpegang kepada hadits
ketimbang Imam Abu Hanifah bahkan menerima hadits Ahad bilamana
syarat-syaratnya terpenuhi adalah karena ia hafal hadits dan amat
memahami ‘illat-‘illat-nya di mana ia tidak menerima darinya
kecuali yang memang valid menurutnya. Bisa jadi hadits-hadits yang
menurutnya shahih, menurut Abu Hanifah dan para sahabatnya tidak
demikian.
Setelah
merujuk al-Qur’an dan as-Sunnah, asy-Syafi’i menjadikan ijma’ sebagai
dalil berikutnya bila menurutnya tidak ada yang bertentangan dengannya,
kemudian baru Qiyas tetapi dengan syarat terdapat asalnya dari al-Qur’an
dan as-Sunnah. Penggunaannya terhadap Qiyas tidak seluas yang dilakukan
Imam Abu Hanifah.
Aqidahnya
Di
sini dikatakan bahwa ia seorang Salafy di mana ‘aqidahnya sama dengan
‘aqidah para ulama Salaf; menetapkan apa yang ditetapkan Allah dan
Rasul-Nya dan menafikan apa yang dinafikan Allah dan Rasul-Nya tanpa
melakukan Tahrif (perubahan), Ta`wil(penafsiran yang menyimpang), Takyif (Pengadaptasian alias mempertanyakan; bagaimana), Tamtsil (Penyerupaan) dan Ta’thil (Pembatalan alias pendisfungsian asma dan sifat Allah).
Beliau,
misalnya, mengimani bahwa Allah memiliki Asma` dan Sifat sebagaimana
yang dijelaskan Allah dalam kitab-Nya dan Rasulullah dalam haditsnya,
bahwa siapa pun makhluk Allah yang sudah ditegakkan hujjah atasnya,
al-Qur’an sudah turun mengenainya dan menurutnya hadits Rasulullah sudah
shahih karena diriwayatkan oleh periwayat yang adil; maka tidak ada
alasan baginya untuk menentangnya dan siapa yang menentang hal itu
setelah hujjah sudah benar-benar valid atasnya, maka ia kafir kepada
Allah. Beliau juga menyatakan bahwa bila sebelum validnya hujjah atas
seseorang dari sisi hadits, maka ia dapat ditolerir karena kejahilannya
sebab ilmu mengenai hal itu tidak bisa diraba hanya dengan akal, dirayah atau pun pemikiran.
Beliau juga mengimani bahwa Allah Ta’ala Maha Mendengar, memiliki dua tangan, berada di atas ‘arasy-Nya dan sebagainya.
Beliau
juga menegaskan bahwa iman adalah ucapan, perbuatan dan keyakinan
dengan hati. (untuk lebih jelasnya, silahkan merujuk buku Manaaqib asy-Syafi’i karangan Imam al-Baihaqi; I’tiqaad al-A`immah al-Arba’ah karya
Syaikh Dr.Muhammad ‘Abdurrahman al-Khumais [sudah diterjemahkan –kurang
lebih judulnya-: ‘Aqidah Empat Imam Madzhab oleh KH.Musthafa Ya’qub])
Sya’ir-Sya’irnya
Imam
asy-Syafi’i dikenal sebagai salah seorang dari empat imam madzhab
tetapi tidak banyak yang tahu bahwa ia juga seorang penyair. Beliau
seorang yang fasih lisannya, amat menyentuh kata-katanya, menjadi hujjah
di dalam bahasa ‘Arab. Hal ini dapat dimengerti, karena sejak dini,
beliau sudah tinggal dan berinteraksi dengan suku Hudzail yang merupakan
suku arab paling fasih kala itu. Beliau mempelajari semua sya’ir-sya’ir
mereka, karena itu ia dianggap sebagai salah satu rujukan bagi para
ahli bahasa semasanya, di antaranya diakui sendiri oleh seorang tokoh
sastra Arab semasanya, al-Ashmu’i sebagaimana telah disinggung
sebelumnya.
Imam
Ahmad berkata, “asy-Syafi’i adalah orang yang paling fasih.” Imam Malik
terkagum-kagum dengan bacaannya karena demikian fasih. Karena itu,
pantas bila Imam Ahmad pernah berkata, “Tidak seorang pun yang menyentuh
tinta atau pun pena melainkan di pundaknya ada jasa asy-Syafi’i.” Ayyub
bin Suwaid berkata, “Ambillah bahasa dari asy-Syafi’i.”
Hampir
semua isi sya’ir yang dirangkai Imam asy-Syafi’i bertemakan perenungan.
Sedangkan karakteristik khusus sya’irnya adalah sya’ir klasik. Alhasil,
ia mirip dengan perumpamaan-perumpamaan atau hikmah-hikmah yang berlaku
di tengah manusia.
Di antara contohnya,
- Sya’ir Zuhud
Hendaknya engkau bertakwa kepada Allah jika engkau lalai
Pasti Dia membawa rizki tanpa engkau sadari
Bagaimana engkau takut miskin padahal Allah Sang Pemberi rizki
Dia telah memberi rizki burung dan ikan hiu di laut
Siapa yang mengira rizki hanya didapat dengan kekuatan
Semestinya burung pipit tidak dapat makan karena takut pada elang
Turun dari dunia (mati), tidak engkau tahu kapan
Bila sudah malam, apakah engkau akan hidup hingga fajar?
Berapa banyak orang yang segar-bugar mati tanpa sakit
Dan berapa banyak orang yang sakit hidup sekian tahunan?
- Sya’ir Akhaq
Kala mema’afkan, aku tidak iri pada siapa pun
Aku tenangkan jiwaku dari keinginan bermusuhan
Sesungguhnya aku ucapkan selamat pada musuhku saat melihatnya
Agar dapat menangkal kejahatannya dengan ucapan-ucapan selamat tersebut
Manusia yang paling nampak bagi seseorang adalah yang paling dibencinya
Sebagaimana rasa cinta telah menyumbat hatiku
Manusia itu penyakit dan penyakit manusia adalah kedekatan dengan mereka
Namun mengasingkan mereka adalah pula memutus kasih sayang
Tawadlu’, Wara’ Dan ‘ibadahnya
Imam
asy-Syafi’i terkenal dengan ketawadlu’an (kerendahan diri)-nya dan
ketundukannya pada kebenaran. Hal ini dibuktikan dengan pengajiannya dan
pergaulannya dengan teman sejawat, murid-murid dan orang-orang lain.
Demikian juga, para ulama dari kalangan ahli fiqih, ushul, hadits dan
bahasa sepakat atas keamanahan, keadilan, kezuhudan, kewara’an,
ketakwaan dan ketinggian martabatnya.
Sekali
pun demikian agungnya beliau dari sisi ilmu, ahli debat, amanah dan
hanya mencari kebenaran, namun hal itu semua bukan karena ingin
dipandang dan tersohor. Karena itu, masih terduplikasi dalam memori
sejarah ucapannya yang amat masyhur, “Tidaklah aku berdebat dengan
seseorang melainkan aku tidak peduli apakah Allah menjelaskan kebenaran
atas lisannya atau lisanku.”
Sampai-sampai
saking hormatnya Imam Ahmad kepada gurunya, asy-Syafi’i ini; ketika ia
ditanya oleh anaknya tentang gurunya tersebut, “Siapa sih asy-Syafi’i
itu hingga ayahanda memperbanyak doa untuknya?” ia menjawab, “Imam
asy-Syafi’i ibarat matahari bagi siang hari dan ibarat kesehatan bagi
manusia; maka lihat, apakah bagi keduanya ini ada penggantinya.?”
Imam
asy-Syafi’i seorang yang faqih bagi dirinya, banyak akalnya, benar
pandangan dan fikirnya, ahli ibadah dan dzikir. Beliau amat mencintai
ilmu, sampai-sampai ia berkata, “Menuntut ilmu lebih afdlal daripada
shalat sunnat.”
Sekali
pun demikian, ar-Rabi’ bin Sualaiman, muridnya meriwayatkan bahwasanya
ia selalu shalat malam hingga wafat dan setiap malam satu kali khatam
al-Qur’an.
Ad-Dzahabi di dalam kitabnya Siyar an-Nubalaa` meriwayatkan
dari ar-Rabi’ bin Sulaiman yang berkata, “Imam asy-Syafi’i membagi-bagi
malamnya; sepertiga pertama untuk menulis, sepertiga kedua untuk shalat
dan sepertiga ketiga untuk tidur.”
Menambahi ucapan ar-Rabi’ tersebut, Adz-Dzahabi berkata, “Tentunya, ketiga pekerjaan itu hendaknya dilakukan dengan niat.”
Ya,
Imam adz-Dzahabi benar sebab niat merupakan ciri kelakuan para ulama.
Bila ilmu membuahkan perbuatan, maka ia akan meletakkan pelakunya di
atas jalan keselamatan.
Betapa
kita sekarang-sekarang ini lebih berhajat kepada para ulama yang
bekerja (‘amiliin), yang tulus (shadiqiin) dan ahli ibadah (‘abidiin),
yang menjadi tumpuan umat di dalam menghadapi berbagai problematika yang
begitu banyaknya, La hawla wa la quwwata illa billaah.
Imam
asy-Syafi’i tetap tinggal di Mesir dan tidak pergi lagi dari sana.
Beliau mengisi pengajian yang dikerubuti oleh para muridnya hingga
beliau menemui Rabbnya pada tanggal 30 Rajab tahun 204 H.
Alangkah indah isi bait Ratsâ` (sya’ir mengenang jasa baik orang sudah meninggal dunia) yang dikarang Muhammad bin Duraid, awalnya berbunyi,
Tidakkah engkau lihat peninggalan Ibn Idris (asy-Syafi’i) setelahnya
Dalil-dalilnya mengenai berbagai problematika begitu berkilauan
Tidakkah engkau lihat peninggalan Ibn Idris (asy-Syafi’i) setelahnya
Dalil-dalilnya mengenai berbagai problematika begitu berkilauan
Untuk lebih mendalami sejarah hidup Imam Syafi’i harap merujuk kepada kitab-kitab berikut ini :
- asy-Syafi’i; Malaamih Wa Atsar Fi Dzikra Wafaatih karya Ahmad Tamam
- I’tiqaad A`immah as-Salaf Ahl al-Hadits karya Dr.Muhammad ‘Abdurrahman al-Khumais
- Mawsuu’ah al-Mawrid al-Hadiitsah
- Al-Imam asy-Syafi’i Syaa’iran karya Muhammad Khumais
- Diiwaan al-Imam asy-Syafi’i, terbitan al-Hai`ah al-Mishriiyyah Li al-Kitaab
- Qiyaam asy-Syafi’i (Thariqul Islam)
- Manhaj Aqidah Imam asy-Syafi’i karya Dr.Muhammad al-‘Aqil, penerbit: Pustaka Imam asy-Syafi’i
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan Komentar Disini