Posted by Unknown on Sabtu, April 18, 2015 in Islami | No comments
Hingga saat ini, memang tidak sedikit masyarakat muslim yang masih
mempertanyakan tentang halal dan tidaknya jima’ atau berhubungan suami
istri dengan cara oral. Mitos yang banyak berkembang selama ini,
melakukan hubungan dengan cara memasukkan alat kelamin ke dalam mulut
pasangan itu dianggap sama seperti kelakuan orang kafir, sehingga
hukumnya haram. Benarkah?
Ibnu Taymiyyah berpendapat, selain ciuman dan rayuan, unsur penting lain
dalam pemanasan adalah sentuhan mesra. Bagi pasangan suami istri,
seluruh bagian tubuh adalah obyek yang HALAL untuk disentuh, termasuk
kemaluan. Terlebih jika dimaksudkan sebagai penyemangat jima’.
Nashirudin Al-Albani, mengutip perkataan Ibnu Urwah Al-Hanbali dalam kitabnya yang masih berbentuk manuskrip, Al-Kawakbu Ad-Durari, “Diperbolehkan bagi suami istri untuk melihat dan meraba seluruh lekuk tubuh pasangannya, termasuk kemaluan. Karena kemaluan merupakan bagian tubuh yang boleh dinikmati dalam bercumbu, tentu boleh pula dilihat dan diraba. Diambil dari pandangan Imam Malik dan ulama lainnya.”
Nashirudin Al-Albani, mengutip perkataan Ibnu Urwah Al-Hanbali dalam kitabnya yang masih berbentuk manuskrip, Al-Kawakbu Ad-Durari, “Diperbolehkan bagi suami istri untuk melihat dan meraba seluruh lekuk tubuh pasangannya, termasuk kemaluan. Karena kemaluan merupakan bagian tubuh yang boleh dinikmati dalam bercumbu, tentu boleh pula dilihat dan diraba. Diambil dari pandangan Imam Malik dan ulama lainnya.”
Berkat kebesaran Allah, setiap bagian tubuh manusia memhliki kepekaan
dan rasa yang berbeda saat disentuh atau dipandangi. Maka, untuk
menambah kualitas jima’, suami istri juga diperbolehkan pula
menanggalkan seluruh pakaiannya. Dari Aisyah RA, ia menceritakan, “Aku
pernah mandi bersama Rasulullah dalam satu bejana…” (HR. Bukhari dan
Muslim).
Untuk mendapatkan hasil sentuhan yang optimal, seyogyanya suami istri
mengetahui dengan baik titik-titik yang mudah membangkitkan gairah
pasangan masing-masing. Maka diperlukan sebuah komunikasi terbuka dan
santai antara pasangan suami istri, untuk menemukan titik-titik
tersebut, agar menghasilkan efek yang maksimal saat berjima’.
Satu hal lagi yang menambah kenikmatan dalam hubungan intim suami istri,
yaitu posisi bersetubuh. Kebetulan Islam sendiri memberikan kebebasan
seluas-luasnya kepada pemeluknya untuk mencoba berbagai variasi posisi
dalam berhubungan seks. Satu-satunya ketentuan yang diatur syariat
hanyalah, semua posisi seks itu tetap dilakukan pada satu jalan, yaitu
farji. Bukan yang lainnya. Allah SWT berfirman, “Istri-istrimu adalah
tempat bercocok tanammu, datangilah ia dari arah manapun yang kalian
kehendaki.” QS. Al-Baqarah (2:223).
Demikian halnya dengan Sheikh Muhammad Ali Al-Hanooti, mufty, dalam
Islamawarness.net menegaskan bahwa oral sex diperbolehkan dalam Islam.
Ali Al-Hanooti menegaskan bahwa yang diharamkan dalam jima’ hanya ada
tiga hal, diantaramya: Anal sex, berhubungan sex saat istri sedang haid
atau menstruasi dan sex pasca istri melahirkan (masa nifas). Sedangkan
di luar ketiga hal itu, hukumnya halal.
Hal yang sama juga diungkapkan : Ustadz Sigit Pranowo, Lc di
eramuslim.com. Dalam sebuah kajian konsultasi yang membahas tentang sex
oral, Sigit mengatakan bahwa Hubungan seksual antara pasangan suami
istri bukanlah hal yang terlarang untuk dibicarakan didalam Islam.
Namun, bukan pula hal yang dibebaskan sedemikian rupa bak layaknya
seekor hewan yang berhubungan dengan sesamanya.
Islam adalah agama fitrah yang sangat memperhatikan masalah seksualitas
karena ini adalah kebutuhan setiap manusia, sebagaimana firman Allah
swt,”Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam,
Maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu
kehendaki. dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan
bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan
menemui-Nya. dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman.” (QS.
Al Baqoroh : 223)
Ayat diatas menunjukkan betapa islam memandang seks sebagai sesuatu yang
moderat sebagaimana karakteristik dari islam itu sendiri. Ia tidaklah
dilepas begitu saja sehingga manusia bisa berbuat sebebas-bebasnya dan
juga tidak diperketat sedemikian rupa sehingga menjadi suatu pekerjaan
yang membosankan.
Hubungan seks yang baik dan benar, yang tidak melanggar syariat selain
merupakan puncak keharmonisan suami istri serta penguat perasaan cinta
dan kasih sayang diantara mereka berdua maka ia juga termasuk suatu
ibadah disisi Allah swt, sebagaimana sabda Rasulullah saw,”..dan
bersetubuh dengan istri juga sedekah. Mereka bertanya,’Wahai Rasulullah,
apakah jika diantara kami menyalurkan hasrat biologisnya (bersetubuh)
juga mendapat pahala?’ Beliau menjawab,’Bukankah jika ia menyalurkan
pada yang haram itu berdosa?, maka demikian pula apabila ia menyalurkan
pada yang halal, maka ia juga akan mendapatkan pahala.” (HR. Muslim)
Diantara variasi seksual yang sering dibicarakan para seksolog adalah
oral seks, yaitu adanya kontak seksual antara kemaluan dan mulut (lidah)
pasangannya. Tentunya ada bermacam-macam oral seks ini, dari mulai
menyentuh, mencium hingga menelan kemaluan pasangannya kedalam mulutnya.
Hal yang tidak bisa dihindari ketika seorang ingin melakukan oral seks
terhadap pasangannya adalah melihat dan menyentuh kemaluan pasangannya.
Dalam hal ini para ulama dari madzhab yang empat bersepakat
diperbolehkan bagi suami untuk melihat seluruh tubuh istrinya hingga
kemaluannya karena kemaluan adalah pusat kenikmatan. Akan tetapi setiap
dari mereka berdua dimakruhkan melihat kemaluan pasangannya terlebih
lagi bagian dalamnya tanpa suatu keperluan, sebagaimana diriwayatkan
dari Aisyah yang mengatakan,”Aku tidak pernah melihat kemaluannya saw
dan beliau saw tidak pernah memperlihatkannya kepadaku.” (al Fiqhul
Islami wa Adillatuhu juz IV hal 2650)
Seorang suami berhak menikmati istrinya, khususnya bagaimana dia
menikmati berjima’ dengannya dan seluruh bagian tubuh istrinya dengan
suatu kenikmatan atau menguasai tubuh dan jiwanya yang menjadi haknya
untuk dinikmati maka telah terjadi perbedaan pendapat diantara para
ulama kami, karena tujuan dari berjima’ tidaklah sampai kecuali dengan
hal yang demikian. (Bada’iush Shona’i juz VI hal 157 – 159, Maktabah
Syamilah)
Setiap pasangan suami istri yang diikat dengan pernikahan yang sah
didalam berjima’ diperbolehkan untuk saling melihat setiap bagian dari
tubuh pasangannya hingga kemaluannya. Adapun hadits yang menyebutkan
bahwa siapa yang melihat kemaluan (istrinya) akan menjadi buta adalah
hadits munkar tidak ada landasannya. (asy Syarhul Kabir Lisy Syeikh ad
Durdir juz II hal 215, Maktabah Syamilah)
Dibolehkan bagi setiap pasangan suami istri untuk saling melihat seluruh
tubuh dari pasangannya serta menyentuhnya hingga kemaluannya
sebagaimana diriwayatkan dari Bahz bin Hakim dari ayahnya dari kakeknya
berkata,” Aku bertanya,’Wahai Rasulullah aurat-aurat kami mana yang
tutup dan mana yang kami biarkan? Beliau bersabda,’Jagalah aurat kamu
kecuali terhadap istrimu dan budak perempuanmu.” (HR. tirmidzi, dia
berkata,”Ini hadits Hasan Shohih.”) Karena kemaluan boleh untuk
dinikmati maka ia boleh pula dilihat dan disentuhnya seperti bagian
tubuh yang lainnya.
Dan dimakruhkan untuk melihat kemaluannya sebagaimana hadits yang
diriwayatkan Aisyah yang berkata,”Aku tidak pernah melihat kemaluan
Rasulullah saw.” (HR. Ibnu Majah) dalam lafazh yang lain, Aisyah
menyebutkan : Aku tidak melihat kemaluan Rasulullah saw dan beliau saw
tidak memperlihatkannya kepadaku.”
Didalam riwayat Ja’far bin Muhammad tentang perempuan yang duduk
dihadapan suaminya, di dalam rumahnya dengan menampakkan auratnya yang
hanya mengenakan pakaian tipis, Imam Ahmad mengatakan,”Tidak mengapa.”
(al Mughni juz XV hal 79, maktabah Syamilah)
Oral seks yang merupakan bagian dari suatu aktivitas seksual ini,
menurut Prof DR Ali Al Jumu’ah dan Dr Sabri Abdur Rauf (Ahli Fiqih Univ
Al Azhar) boleh dilakukan oleh pasangan suami istri selama hal itu
memang dibutuhkan untuk menghadirkan kepuasan mereka berdua dalam
berhubungan. Terlebih lagi jika hanya dengan itu ia merasakan kepuasan
ketimbang ia terjatuh didalam perzinahan.
Meskipun banyak seksolog yang menempatkan oral seks ini kedalam kategori
permainan seks yang aman berbeda dengan anal seks selama betul-betul
dijamin kebersihan dan kesehatannya, baik mulut ataupun kemaluannya.
Akan tetapi kemungkinan untuk terjangkitnya berbagai penyakit manakala
tidak ekstra hati-hati didalam menjaga kebersihannya sangatlah besar.
Hal itu dikarenakan yang keluar dari kemaluan adalah madzi dan mani.
Madzi adalah cairan berwarna putih dan halus yang keluar dari kemaluan
ketika adanya ketegangan syahwat, hukumnya najis. Sedangkan mani adalah
cairan kental memancar yang keluar dari kemaluan ketika syahwatnya
memuncak, hukumnya menurut para ulama madzhab Hanafi dan Maliki adalah
najis sedangkan menurut para ulama Syafi’i dan Hambali adalah suci.
Mufti Saudi Arabia bagian Selatan, Asy-Syaikh Al`Allamah Ahmad bin Yahya
An-Najmi berpenapat bahwa isapan istri terhadap kemaluan suaminya (oral
seks) adalah haram dikarenakan kemaluannya itu bisa memancarkan cairan
(madzi). Para ulama telah bersepakat bahwa madzi adalah najis. Jika ia
masuk kedalam mulutnya dan tertelan sampai ke perut maka akan dapat
menyebabkan penyakit.
Adapun Syeikh Yusuf al Qaradhawi memberikan fatwa bahwa oral seks selama tidak menelan madzi yang keluar dari kemaluan pasangannya maka ia adalah makruh dikarenakan hal yang demikian adalah salah satu bentuk kezhaliman (diluar kewajaran dalam berhubungan).
Adapun Syeikh Yusuf al Qaradhawi memberikan fatwa bahwa oral seks selama tidak menelan madzi yang keluar dari kemaluan pasangannya maka ia adalah makruh dikarenakan hal yang demikian adalah salah satu bentuk kezhaliman (diluar kewajaran dalam berhubungan).
Berhubungan disaat Haidh
Allah swt berfirman,”Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: “Haidh itu adalah suatu kotoran”. oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. apabila mereka telah Suci, Maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” (QS. Al BAqoroh : 222)
Allah swt berfirman,”Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: “Haidh itu adalah suatu kotoran”. oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. apabila mereka telah Suci, Maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” (QS. Al BAqoroh : 222)
Ayat diatas telah menyebutkan bahwa haidh adalah kotoran yang keluar
dari kemaluan perempuan dan diminta kepada para suami yang mendapati
istrinya sedang dalam keadaan haidh untuk tidak menyetubuhinya hingga ia
suci dari haidhnya.
Jumhur ulama berpendapat bahwa diharamkan bagi suami menyetubuhi
(memasukkan penis kedalam vagina) istrinya yang sedang dalam keadaan
haidh dan bersenang-senang dengan bagian tubuh yang ada diantara pusar
dan lutut, sebagaimana firman Allah swt,” Oleh sebab itu hendaklah kamu
menjauhkan diri dari wanita diwaktu haidh.”
Dibolehkan bagi suami yang mendapati istrinya sedang dalam keadaan haidh
untuk menikmati bagian tubuh yang ada diatas pusar. Dikarenakan jika ia
bersenang-senang dengan bagian yang dibawah pusar maka hal itu sangat
mungkin mendorong kepada terjadinya wath’u (masuknya penis kedalam
vagina) dan ini diharamkan sebagaiman sabda Rasulullah saw,”Maka
barangsiapa yang mengitari daerah larangan maka dikhawatirkan ia akan
jatuh kedalamnya.” (HR. Bukhori Muslim)
Adapun tentang kafarat jika terjadi wath’u yang dilakukan suami terhadap
istrinya maka terdapat perbedaan pendapat dikalangan para ulama :
1. Para ulama madzhab Maliki, Hanafi dan Syafi’i dalam pendapatnya yang baru adalah tidak ada kafarat namun diwajibkan baginya untuk istighfar dan bertaubat.
1. Para ulama madzhab Maliki, Hanafi dan Syafi’i dalam pendapatnya yang baru adalah tidak ada kafarat namun diwajibkan baginya untuk istighfar dan bertaubat.
2. Para ulama Hambali, riwayat yang paling benar dari mereka,
berpendapat wajib baginya membayar kafarat dia boleh memilih dengan
membayar 1 dinar (seharga 3,25 gr emas, pen) atau ½ dinar. Kafarat ini
tidak diwajibkan bagi yang memang tidak mempunyai sesuatu untuk
membayarnya.
3. Para ulama madzhab Syafi’i berpendapat barangsiapa menggaulinya
diawal keluarnya darah maka ia harus bersedekah dengan 1 dinar sedangkan
baangsiapa yang menggaulinya diakhir keluarnya darah maka ia bersedekah
dengan ½ dinar.
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan Komentar Disini