Posted by Unknown on Selasa, April 14, 2015 in Islami | No comments
Penjelasan: [1]
Pendapat yang tidak memperbolehkan memotong kuku dan rambut pada saat
haid bagi wanita atau juga umumnya bagi laki-laki dalam keadaan junub
adalah pendapat dalam madzhab Syafi’I sebagaimana disebutkan dalam kitab
I’anat at-Tholibin, dll
Sementara dalam madzhab yang lain—setahu penulis—tidak menyebutkan
masalah ini, kecuali dalam kitab Ghiza al-Albab dalam madzhab Hanbali,
juga kitab Majmu’ Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah yang tidak setuju
terhadap larangan tersebut.[2]
Pendapat di atas bersumber dari pernyataan Imam al-Ghozali dalam kitab
beliau Ihya’ ’ulum al-Din sebagaimana dikutip dalam Mughni al-Muhtaj
(1/72 al-Maktabah as-Syamilah) dan dalam Syarh al-Iqna li Matn Abi
Syuja’ (1/60)
قال فى الإحياء-أى إحياء علوم الدين للأمام الغزالى- لا ينبغى أن يحلق أو
يقلم أو يستحد-يحلق عانته -أو يخرج دما ، أو يُبين -يقطع -من نفسه جزًا وهو
جنب ، إذْ ترد سائر أجزائه فى الآخرة فيعود جنبا ، ويقال : إن كَل شعرة
تطالبه بجنابتها .
Artinya : Dinyatakan dalam
al-Ihya’ : Tidak semestinya memotong (rambut) atau menggunting kuku atau
memotong ari-ari, atau mengeluarkan darah atau memotong sesuatu bagian
tubuh dalam keadaan junub, mengingat seluruh anggota tubuh akan
dikembalikan kepada tubuh seseorang. Sehingga (jika hal itu dilakukan)
maka bagian yang terpotong tersebut kembali dalam keadaan junub.
Dikatakan: setiap rambut dimintai pertanggungjawaban karena janabahnya.
Dari beberapa kitab dalam madzbab Syafi’i sendiri, diketahui bahwa para
ulama madzhab Syafi’I tidak semuanya sepakat dengan pendapat Imam
Ghozali tersebut, sebagaimana diisyaratkan dalam kitab I’anat Tholibin
(1/96 Maktabah syamilah) dengan pernyataan:
وفي عود نحو الدم نظر، وكذا في غيره، لان العائد هو الاجزاء التي مات عليها.
„Tentang akan kembalinya (anggota tubuh) semisal darah, pendapat ini perlu diselidiki lagi. Demikian
pula (bagian tubuh) yang lainnya. Karena (bagian tubuh) yang kembali
(dibangkitkan bersama dengan pemilik bagian tubuh itu) adalah
bagian-bagian tubuh yang pemilik tubuh itu mati bersamanya (ada pada
saat kematian orang tersebut)”
Dalam kitab Syafi’i yang lain yaitu Niyatul Muhtaj Syarh al-Minhaj disebutkan:
( قَوْلُهُ : تُرَدُّ إلَيْهِ فِي الْآخِرَةِ ) هَذَا مَبْنِيٌّ عَلَى أَنَّ الرَّدَّ لَيْسَ خَاصًّا بِالْأَجْزَاءِ الْأَصْلِيَّةِ وَفِيهِ خِلَافٌ .
وَعِبَارَةُ الشَّيْخِ سَعْدِ الدِّينِ فِي الْعَقَائِدِ نَصُّهَا : رَدًّا
عَلَى الْفَلَاسِفَةِ : وَذَلِكَ لِأَنَّ الْمَعَادَ إنَّمَا هُوَ
الْأَجْزَاءُ الْأَصْلِيَّةُ الْبَاقِيَةُ مِنْ أَوَّلِ الْعُمُرِ إلَى
آخِرِهِ ( قَوْلُهُ : فَيَعُودُ جُنُبًا ) ظَاهِرُ هَذَا الصَّنِيعِ أَنَّ
الْأَجْزَاءَ الْمُنْفَصِلَةَ قَبْلَ الِاغْتِسَالِ لَا تَرْتَفِعُ
جَنَابَتُهَا بِغَسْلِهَا سم عَلَى حَجّ ( قَوْلُهُ : وَيُقَالُ إنَّ كُلَّ
شَعْرَةٍ ..إلَخْ ) فَائِدَتُهُ التَّوْبِيخُ وَاللَّوْمُ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ لِفَاعِلِ ذَلِكَ ،
Lebih jelas lagi dalam kitab dalam Madzab Syafi’i yang lain yaitu
Hasyiah al-Bujairimi ’ala al-Khotib (2/335 al-Maktabah as-Syamilah),
mengkritisi pendapat Imam al-Ghozali tersebut yang intinya menyatakan
bahwa pendapat Imam al-Ghozali tersebut perlu dikaji lagi sebab bagian
tubuh yang kembali adalah yang ada disaat kematian pemiliknya dan bagian
badan asli yang pernah terpotong, bukan seluruh kuku dan rambut yang
pernah dipotong selama hidupnya. Beliau membawakan perkataan Ibnu Hajar
untuk menguatkan pendapatnya. Disebutkan dalam kitab tersebut:
قَوْلُهُ : ( إذْ يُرَدُّ إلَيْهِ سَائِرُ أَجْزَائِهِ ) فِيهِ نَظَرٌ ،
لِأَنَّ الَّذِي يُرَدُّ إلَيْهِ مَا مَاتَ عَلَيْهِ لَا جَمِيعُ
أَظْفَارِهِ الَّتِي قَلَّمَهَا فِي عُمُرِهِ ، وَلَا شَعْرِهِ كَذَلِكَ
فَرَاجِعْهُ .
ا هـ .
ق ل . أَيْ لِأَنَّهَا لَوْ رُدَّتْ إلَيْهِ جَمِيعُهَا لَتَشَوَّهَتْ خِلْقَتُهُ مِنْ طُولِهَا .
وَعِبَارَةُ م د إذْ يُرَدُّ إلَيْهِ سَائِرُ أَجْزَائِهِ أَيْ
الْأَصْلِيَّةُ فَقَطْ كَالْيَدِ الْمَقْطُوعَةِ بِخِلَافِ نَحْوِ
الشَّعْرِ وَالظُّفْرِ ، فَإِنَّهُ يَعُودُ إلَيْهِ مُنْفَصِلًا عَنْ
بَدَنِهِ لِتَبْكِيتِهِ أَيْ تَوْبِيخِهِ حَيْثُ أُمِرَ بِأَنْ لَا
يُزِيلَهُ حَالَةَ الْجَنَابَةِ أَوْ نَحْوِهَا ا هـ .
وَقَالَ الْحَافِظُ ابْنُ حَجَرٍ : إنَّ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ يَكُونُ
عَلَى مَا مَاتَ عَلَيْهِ ثُمَّ عِنْدَ دُخُولِ الْجَنَّةِ يَصِيرُونَ
طِوَالًا . وَفِي
الْحَدِيثِ الصَّحِيحِ فِي صِفَةِ أَهْلِ الْجَنَّةِ : { إنَّهُمْ عَلَى
صُورَةِ آدَمَ وَطُولُ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ سِتُّونَ ذِرَاعًا فِي
عَرْضِ سَبْعَةِ أَذْرُعٍ أَبْنَاءُ ثَلَاثٍ وَثَلَاثِينَ سَنَةً
وَإِنَّهُمْ جُرْدٌ مُرْدٌ } .
Masalah ini pernah ditanyakan kepada Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan
beliau jelaskan dalam Majmu’ Fatawa, intinya: setahu beliau tidak ada
dalil syar’i yang menunjukkan makruhnya memotong rambut dan kuku bagi
orang yang sedang junub, bahkan terdapat hadis shohih riwayat
Bukhari-Muslim yang menegaskan bahwa (tubuh) seorang mukmin itu tidak
najis. Dengan tambahan riwayat dari Shohih al-Hakim: ”baik dalam keadan
hidup ataupun mati”. Demikian pula adanya hadis tentang perintah bagi
yang haid untuk menyisir rambut pada waktu mandi, padahal sisiran bisa
menyebabkan rontoknya rambut. Berikut petikannya:
فَأَجَابَ : قَدْ ثَبَتَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ مِنْ حَدِيثِ حُذَيْفَةَ وَمِنْ حَدِيثِ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُمَا { : أَنَّهُ لَمَّا ذَكَرَ لَهُ الْجُنُبَ قَالَ : إنَّ
الْمُؤْمِنَ لَا يَنْجُسُ}[3] .
وَفِي صَحِيحِ الْحَاكِمِ : { حَيًّا وَلَا مَيِّتًا } . وَمَا أَعْلَمُ
عَلَى كَرَاهِيَةِ إزَالَةِ شَعْرِ الْجُنُبِ وَظُفْرِهِ دَلِيلًا
شَرْعِيًّا بَلْ قَدْ { قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ لِلَّذِي أَسْلَمَ : أَلْقِ عَنْك شَعْرَ الْكُفْرِ وَاخْتَتِنْ }[4] فَأَمَرَ
الَّذِي أَسْلَمَ أَنْ يَغْتَسِلَ وَلَمْ يَأْمُرْهُ بِتَأْخِيرِ
الِاخْتِتَانِ . وَإِزَالَةِ الشَّعْرِ عَنْ الِاغْتِسَالِ فَإِطْلَاقُ
كَلَامِهِ يَقْتَضِي جَوَازَ الْأَمْرَيْنِ . وَكَذَلِكَ تُؤْمَرُ
الْحَائِضُ بِالِامْتِشَاطِ فِي غُسْلِهَا مَعَ أَنَّ الِامْتِشَاطَ
يَذْهَبُ بِبَعْضِ الشَّعْرِ . وَاَللَّهُ أَعْلَمُ .
Dalam Fatwa ketua lajnah Fatwa ulama al-Azhar, Syaikh ’Atiyah Shaqr
(Fatwa Mei 1997 al-Maktabah as-Syamilah) menyebutkan bahwa pernyataan
yang melarang memotong kuku dan rambut ketika dalam keadaan junub tidak
berdasarkan dalil. Beliau membawakan penjelasan Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah di atas dan menambahkan:
(dengan hadis tersebut) kita ketahui bahwa hal demikian tidaklah
dimakruhkan. Pendapat yang menyatakan makruh adalah pendapat yang la ashla lahu (tidak ada dasarnya). ’Atho—yaitu ’Atho bin Abi robah ra, seorang tabi’in senior—menyatakan:
وَقَالَ عَطَاءٌ يَحْتَجِمُ الْجُنُبُ وَيُقَلِّمُ أَظْفَارَهُ ، وَيَحْلِقُ رَأْسَهُ ، وَإِنْ لَمْ يَتَوَضَّأْ .
Seorang yang junub
(diperbolehkan) melakukan hijamah (pengobatan dengan cara mengeluarkan
darah kotor) dan memotong kuku dan menggunting rambutnya, walaupun ia
belum berwudhu” (Shohih al-Bukhari 1/496 al-Maktabah al-Syamilah babal-Junubu yakhruju wayamsyi fis suq waghairihi)
Berdasarkan dalil ini maka tidak dimakruhkan untuk memotong rambut dan
kuku ketika janabah. Adapun hukum menimbun potongan kuku dan rontokan
rambut dari sisir ada dalam bahasan lain (tidak termasuk dalam bahasan
ini)”.
Dalam Fath al-Bari Syarah Shohih al-Bukhari oleh Ibnu Rajab 2/54
terhadap perkataan ‘Atho di atas menyebutkan bahwa Imam Ahmad bin Hanbal
menyatakan la ba’sa (tidak
mengapa) untuk mengeluarkan darah (hijamah) atau memotong kuku dan
rambut ketika junub. Ibnu Rajab al-Hanbali menyatakan: tidak ada khilaf
tentang bolehnya ini di antara ashabina (ulama
mazhab Hanbali) kecuali Abu al-Farj al-Syirozi yang memakruhkan untuk
mengambil kuku dan rambut dari orang yang junub, dan menyebutkan hadis
yang marfu’ riwayat al-Isma’ily dalam Musnad ‘Ali dengan Isnad yang dho’if jiddan dari ‘Ali :
عَن علي – مرفوعاً – : (( لا يقلمن أحد ظفراً ، ولا يقص شعراً ، إلا وَهوَ
طاهر ، ومن اطلى وَهوَ جنب كانَ [ علته ] عليهِ )) ، وذكر كلاماً ، قيل
لَهُ : لَم يا رسول الله ؟ قالَ : (( لأنه لا ينبغي أن يلقي الشعر إلا
وَهوَ طاهر )) . وهذا منكر جداً ، بل الظاهر أنَّهُ موضوع . والله أعلم .
Ibnu Rajab menjelaskan bahwa hadis tersebut adalah hadis yang Munkar jiddan bahkan secara eksplisit menunjukkan kualitasnya maudhu’ (palsu).
Berdasarkan penelitian penulis, hadis tersebut tidak ditemukan dalam al-kutub at-tis’ahbahkan kitab-kitab hadis selain itu di lebih dari 200 kitab hadis dalam maktabah syamilah.
Kesimpulan bahasan di atas:
- Tidak dalil dari Al-Qur’an maupun Sunnah yang shohih yang menjadi dasar hukum larangan bagi orang yang memotong kuku dan rambut bagi orang yang sedang junub khususnya wanita yang haid. Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Syaikh ‘Atiyah Shaqr.
- Pendapat tersebut bersumber dari pendapat Imam al-Ghozali dalam madzhab Syafi’i. Imam al-Ghozali sendiri tidak menyatakan larangan itu dengan kalimat yang tegas yang menunjukkan hukum haram. Beliau menggunakan lafadz: “la yanbaghi” yang artinya “tidak semestinya, tidak seharusnya atau tidak seyogyanya…”dst
- Sementara itu tidak semua ulama madzhab Syafi’I sepakat dengan Imam al-Ghozali dalam masalah tersebut (sebagaimana disebutkan tentang khilaf itu dalam beberapa kitab mazhab Syafi’I, antara lain Nihayat al-Muhtaj di atas).
- Alasan Imam al-Ghozali bahwa bagian tubuh yang terpotong tersebut akan dikembalikan pada pemilik tubuh tersebut, yang jika dipotong pada keadaan junub maka pada hari kiamat akan dikembalikan lagi dalam keadaan junub. Alasan atau argument ini tidak tepat, sebab jumhur ulama menyatakan bahwa bagian tubuh yang dikembalikan adalah (a) bagian-bagian tubuh lengkap yang ada pada waktu kematian pemiliknya, dan (b) bagian-bagian tubuh yang asli (al-ajza’ al-ashliyah) yang pernah terpotong sewaktu pemiliknya masih hidup seperti kaki dan/atau tangan yang terpotong). Bagian-bagian itulah yang akan dikembalikan secara sempurna pada hari kiamat. Adapun kuku atau rambut yang disunnahkan untuk dipotong tidak termasuk bagian yang dikembalikan tersebut.
- Logika untuk menolak alasan al-Imam al-Gozali tersebut dalam bentuk pertanyaan: apakah logis jika seluruh kuku dan rambut yang pernah tumbuh pada tubuh seseorang di dunia dikembalikan pada saat bangkitnya di hari kiamat? Seberapa panjang kuku dan rambut manusia jika seluruh rambut dan kuku mereka yang pernah tumbuh dan dipotong selama hidupnya akan dikembalikan lagi kepada tubuh pemiliknya?
- Perlu diingat, berdasarkan hadis Rasulullah riwayat Bukhari dan Muslim, dll, bahwa tubuh orang mukmin yang junub tidaklah najis.
Wallahu A’lam bi as-Showab
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan Komentar Disini