Posted by Unknown on Senin, April 13, 2015 in Islami | No comments
Kita tahu, syariat telah menetapkan bahwa wanita yang sedang haid haram mengerjakan ibadah shalat. Kalau toh si wanita tetap mengerjakannya maka shalatnya tidak sah. Karenanya Rasulullah n bersabda kepada Fathimah bintu Abi Hubaisy x:
فَإِذَا أَقبَلَتْ حَيضَتُكِ فَدَعِي الصَّلاَةَ، وَإِذَا أَدبَرَتْ فَاغْسِلِي عَنْكِ الدَّمَ ثُمَّ صَلِّي
“Apabila datang haidmu tinggalkanlah shalat, dan bila telah berlalu mandilah kemudian shalatlah.” (HR. Al-Bukhari no. 228 dan Muslim no. 751)
Rasulullah n juga bersabda menjelaskan sebab wanita dikatakan kurang agamanya:
أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تَصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ؟
“Bukankah bila si wanita haid ia tidak shalat dan tidak puasa?” (HR. Al-Bukhari no. 304)
Shalat yang ditinggalkan selama
masa haid tersebut tidak wajib diqadha. Tidak ada yang menyelisihi hal
ini kecuali Khawarij, namun penyelisihan mereka tidaklah teranggap.
Karenanya, ketika Mu’adzah, seorang wanita tabi’in, bertanya kepada
Aisyah x:
ماَ بَالُ الْحَائِضِ تَقْضِي
الصَّوْمَ وَلاَ تَقْضِي الصَّلاَةَ؟ فَقَالَت: أَحَرُوْرِيَّةٌ أَنْتِ؟
قُلتُ: لَسْتُ بِحَرُوْرِيَّةٍ وَلَكِنِّي أَسأَلُ. قَالَتْ: كَانَ
يُصِيبُنَا ذَلِكَ فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلاَ نُؤْمَرُ
بِقَضَاءِ الصَّلاَةِ.
Kenapa wanita haid mengqadha puasa tapi tidak mengqadha shalat? Berkatalah Aisyah, “Apakah engkau wanita Haruriyyah[1]?” Aku menjawab, “Aku bukan wanita Haruriyyah, aku hanya bertanya[2].” Aisyah berkata, “Dulu kami ditimpa haid, maka kami diperintah untuk mengqadha puasa dan tidak diperintah mengqadha shalat.” (HR. Al-Bukhari no. 321 dan Muslim no. 761)
Mendapati suci sebelum habis waktu shalat
Mayoritas ahlul ilmi berpendapat
wajib bagi wanita yang semula haid kemudian mendapati suci sebelum habis
waktu sebuah shalat fardhu untuk mengerjakan shalat fardhu tersebut.
Misalnya, ia suci 20 menit sebelum keluar waktu dhuhur (untuk kemudian
masuk waktu ashar), berarti ia wajib mengerjakan shalat dhuhur karena ia
sempat mendapatinya dalam keadaan haidnya telah berhenti/selesai.
Namun, ahlul ilmi ini berbeda pendapat tentang persyaratan mandi dan
wudhu sebelum keluarnya waktu shalat tersebut. Mereka terbagi dalam dua
pendapat:
Pertama: shalat tersebut baru wajib ditunaikan dengan syarat telah selesai mandi suci.
Maka bila si wanita mendapati
dirinya suci dari haid pada akhir waktu shalat dengan kadar waktu yang
tidak memungkinkan baginya untuk menyelesaikan mandi dan wudhu[3], tanpa
ia mengulur-ulur waktu dan bermalas-malasan tentunya, maka tidak wajib
baginya mengerjakan shalat yang telah keluar waktunya tersebut dan tidak
pula mengqadhanya. Demikian pendapat Al-Imam Malik (Al-Kafi, 1/162), Al-Auza’i dan madzhab Zhahiriyyah.
Berkata Ibnu Hazm t, “Apabila
seorang wanita telah suci pada akhir waktu shalat dengan kadar yang
tidak memungkinkan baginya untuk mandi dan wudhu hingga habis waktu
shalat, maka dia tidak wajib menunaikan shalat tersebut dan tidak pula
mengqadhanya. Demikian pendapat Al-Auza’i dan teman-teman kami (madzhab
Zhahiriyyah). Al-Imam Asy-Syafi’i dan Ahmad berkata, “Wajib bagi si
wanita untuk mengerjakan shalat tersebut.” Abu Muhammad (kunyah Ibnu
Hazm) berkata, “Bukti benarnya pendapat kami adalah Allah k tidak
membolehkan seseorang mengerjakan shalat kecuali dengan thaharah (bersuci), sementara Allah telah menetapkan batasanwaktu-waktu shalat.
Maka, bila tidak memungkinkan bagi seorang wanita untuk berthaharah
setelah suci dari haidnya dalam waktu shalat yang tersisa, kami di atas
keyakinan bahwa si wanita tidak dibebani untuk mengerjakan shalat yang
telah keluar waktunya tersebut. Karena saat ia mendapati sisa waktunya,
ia belum berthaharah sehingga belum boleh menunaikannya.” (Al-Muhalla, 1/395)
Kedua: Shalat
yang masih didapati waktunya tersebut telah wajib ditunaikan si wanita
sejak saat ia melihat dirinya telah suci[4], tanpa membedakan apakah ia
bersegera mandi atau bermalas-malasan mandi hingga keluar waktu shalat
tersebut. Demikian pendapat madzhab Hanabilah (Al-Mughni), satu pendapat dalam madzhab Syafi’iyyah (Al-Majmu’, 3/69), pendapat Ats-Tsauri dan Qatadah. (Al Ausath, 2/248)
Argumen mereka adalah:
1. Ketika suci, si wanita berarti
termasuk orang-orang yang wajib menunaikan shalat fardhu, hanya saja
yang tersisa adalah mandinya. Setelah mandi suci baru ia menunaikan
shalat fardhu yang tadi sempat didapatinya, sama saja apakah masih
tersisa waktu shalat tersebut atau telah habis/keluar waktunya. (Al-Ausath, 2/248)
2. Mengamalkan zahir hadits Nabi n:
مَن أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنَ
الصُّبْحِ قَبْلَ أَنْ تَطْلُعَ الشَّمْسُ فَقَدْ أَدْرَكَ الصُّبْحَ،
وَمَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنَ الْعَصْرِ قَبْلَ أَنْ تَغْرُبَ الشَّمْسُ
فَقَدْ أَدْرَكَ الصَّلاَة
“Siapa yang mendapati satu rakaat dari shalat subuh sebelum matahari terbit maka sungguh ia telah mendapati subuh tersebut[5],
dan siapa yang mendapati satu rakaat dari shalat ashar sebelum matahari
tenggelam maka sungguh ia telah mendapati shalat ashar tersebut[6].” (HR. Al-Bukhari no. 579 dan Muslim no. 1373)
Al-Imam An-Nawawi t berkata, “Bila
seseorang yang semula tidak wajib menunaikan shalat mendapati satu
rakaat dari waktu shalat tersebut, maka wajib baginya menunaikan shalat
tersebut. Hal ini berlaku pada anak kecil yang kemudian baligh, orang
gila dan orang pingsan yang sadar dari gila atau pingsannya, wanita haid
dan nifas yang telah suci, dan orang kafir yang masuk Islam. Siapa di
antara mereka ini mendapati satu rakaat sebelum keluar/habis waktu
shalat, wajib baginya mengerjakan shalat tersebut. Namun bila salah satu
dari mereka mendapati kurang dari satu rakaat seperti hanya mendapati
satu takbir, maka dalam hal ini ada dua pendapat Al-Imam Asy-Syafi’i
t[7]. Pertama, tidak wajib mengerjakan shalat tersebut berdasarkan apa
yang dipahami dari hadits di atas. Namun yang paling shahih dari dua
pendapat yang ada menurut teman-teman kami (pengikut madzhab
Syafi’iyyah) adalah tetap wajib menunaikan shalat tersebut, karena ia
telah mendapati satu bagian dari shalat maka sama saja antara yang
sedikitnya dengan yang banyaknya. Juga dipersyaratkan shalat itu
dipandang dengan kesempurnaannya (dilihat secara utuh) menurut
kesepakatan, maka sepantasnya tidak dibedakan antara satu takbir dengan
satu rakaat.” (Al-Minhaj, 5/108)
Dari perbedaan pendapat yang ada,
wallahu a’lam, kami lebih tenang kepada pendapat kedua, karena dalilnya
lebih kuat dan lebih hati-hati. Pendapat ini yang dikuatkan oleh
Fadhilatusy Syaikh Muhammad ibnu Shalih Al-Utsaimin t. Beliau
menyatakan, tidak wajib bagi wanita yang suci dari haid mengerjakan satu
shalat fardhu terkecuali ia mendapati waktunya sekadar satu rakaat yang
sempurna. Bila demikian, wajib baginya mengerjakan shalat fardhu
tersebut.
Misalnya, seorang wanita suci
dari haid sebelum terbit matahari[8] sekadar satu rakaat. Maka, wajib
baginya setelah mandi mengerjakan shalat subuh karena ia sempat
mendapati satu bagian dari waktunya yang memungkinkan untuk mengerjakan
satu rakaat. Namun bila ia mendapati sisa waktu shalat kurang dari satu
rakaat (tidak memungkinkan untuk mengerjakan satu rakaat yang sempurna)
seperti ia suci sesaat sebelum terbit matahari, maka shalat subuh tidak
wajib ditunaikannya berdasarkan sabda Nabi n:
مَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنَ الصَّلاَةِ فَقَدْ أَدْرَكَ الصَّلاَةَ
“Siapa yang mendapati satu rakaat dari shalat maka sungguh ia telah mendapati shalat tersebut.” (Muttafaqun alaihi)
Yang dipahami dari hadits di atas
adalah orang yang mendapati kurang dari satu rakaat, kemudian waktu
shalat habis, berarti ia tidak mendapati shalat. (Majmu’ Fatawa wa Rasa’il Fadhilatusy Syaikh Ibnu Utsaimin, 11/309)
Fadhilatusy Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan t ketika menjelaskan hadits Rasulullah n:
مَن أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنَ
الصُّبْحِ قَبْلَ أَنْ تَطْلُعَ الشَّمْسُ فَقَدْ أَدْرَكَ الصُّبْحَ،
وَمَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنَ الْعَصْرِ قَبْلَ أَنْ تَغْرُبَ الشَّمْسُ
فَقَدْ أَدْرَكَ الصَّلاَةَ
Beliau berkata, “Hadits di atas
menunjukkan penunaian shalat tidak tercapai kecuali bila mendapati satu
rakaatnya sebelum keluar waktunya. Siapa yang mendapati kurang dari satu
rakaat, berarti ia tidak mendapati shalat pada waktunya. Ini merupakan
pendapat jumhur ahlul ilmi, dan pendapat Syafi’iyah dan Malikiyah
sebagaimana dalam Al-Majmu’ (3/67) dan Mawahibul Jalil (1/407).
Sekelompok ulama berpendapat,
bila sempat didapatkan takbiratul ihram berarti didapatkan shalat
tersebut. Dengan demikian, menurut pendapat ini, bila seseorang telah
bertakbiratul ihram sebelum habis waktu shalat berarti ia mendapati
shalat tersebut pada waktunya, karena ia masuk dalam amalan shalat masih
dalam batasan waktunya. Ini merupakan pendapat Hanabilah dan Hanafiyah
sebagaimana dalam Al-Inshaf (1/439) danHasyiyah Ibnu Abidin (2/63).
Akan tetapi yang rajih adalah
pendapat yang mengatakan tidak didapatkan shalat pada waktunya
terkecuali bila sempat didapatkan satu rakaat yang sempurna, karena
pendapat inilah yang ditunjukkan oleh hadits-hadits.” (Tas-hilul Ilmam fi Fiqh lil Ahadits min Bulughil Maram, 2/31)
Apakah ada keharusan menjamak dengan shalat yang sebelumnya?
Bila wanita haid telah suci pada
waktu shalat ashar atau isya misalnya, apakah ia wajib mengerjakan
shalat sebelum ashar yaitu dhuhur atau shalat sebelum isya yaitu
maghrib?
Dalam hal ini ada dua pendapat di kalangan ulama.
Pertama: selain
wajib baginya mengerjakan shalat yang masih didapatkannya waktunya yaitu
ashar atau isya, ia juga wajib mengerjakan shalat fardhu yang
sebelumnya, yaitu dhuhur dijamak dengan ashar, atau maghrib dijamak
dengan isya. Demikian pendapat yang dipegangi madzhab Malikiyah (Al-Kafi, 1/162) Syafi’iyah (Al-Majmu’ 3/69), Hanabilah (Al-Mughni, Kitabush Shalah, fashl Man shalla qablal waqt) dan pendapat Thawus, An-Nakha’i, Mujahid, Az-Zuhri, Rabi’ah, Al-Laits, Abu Tsaur, Ishaq, Al-Hakm dan Al-Auza’i. (Al-Mughni Kitabush Shalah, fashl Man shalla qablal waqt, Al-Ausath 2/244)
Namun kalau sucinya waktu subuh,
atau dhuhur atau maghrib maka tidak ada kewajiban baginya menjamaknya
dengan shalat fardhu sebelumnya, karena tidak ada jamak dalam penunaian
shalat subuh dan tidak ada penjamakan dhuhur dengan shalat sebelumnya.
Demikian pula maghrib dengan shalat sebelumnya.
Mereka berdalil dengan:
1. Atsar yang diriwayatkan dari
Ibnu Abbas c dan Abdurrahman bin Auf z tentang wanita haid yang suci
sebelum terbit fajar (sebelum masuk waktu subuh) dengan kadar satu
rakaat (dia bisa mengerjakan shalat sebelumnya -pent.), maka ia
menunaikan shalat maghrib dan isya. Bila sucinya sebelum matahari
tenggelam, ia mengerjakan shalat ashar dan dhuhur bersama-sama
(dijamak)[9].
2. Karena waktu shalat yang kedua
(yaitu ashar bila dihadapkan dengan dhuhur, atau isya bila dihadapkan
dengan maghrib) merupakan waktu shalat yang pertama tatkala ada uzur,
seperti ketika dijamak dalam keadaan safar, atau saat hujan???,
atau ketika di Muzdalifah. Misalnya ia menjamak shalat saat safar
dengan jamak ta’khir, maka berarti ia mengerjakan shalat dhuhur di waktu
ashar, atau shalat maghrib di waktu isya.
Kedua: Tidak ada
kewajiban bagi si wanita untuk mengerjakan shalat yang sebelumnya. Bila
ia suci di waktu ashar berarti ia hanya mengerjakan shalat ashar dan
tidak ada kewajiban mengerjakan shalat dhuhur. Demikian pula bila ia
suci di waktu isya, berarti ia hanya mengerjakan isya. Demikian pendapat
dalam madzhab Hanafiyah (Al-Mabsuth, 3/15), Zhahiriyah (Al-Muhalla), pendapat Al-Hasan, Qatadah, Hammad ibnu Abi Sulaiman, Sufyan Ats-Tsauri (Al-Ausath 2/245, Al-Mughni, Kitabush Shalah, fashl Man shalla qablal waqt ) dan pendapat yang dipilih oleh Ibnul Mundzir (Al-Ausath, 2/245).
Argumen mereka sebagai berikut:
1. Waktu shalat yang pertama
telah habis tatkala ia masih beruzur (belum suci dari haidnya) maka ia
tidak wajib menunaikannya. Sebagaimana bila ia tidak mendapati waktu
shalat kedua, ia pun tidak mengerjakannya. (Al-Mughni, Kitabush Shalah, fashl Man shalla qablal waqt)
2. Sabda Rasulullah n:
وَمَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنَ الْعَصْرِ قَبْلَ أَنْ تَغْرُبَ الشَّمْسُ فَقَدْ أَدْرَكَ الصَّلاَةَ
merupakan dalil bahwa yang didapatinya adalah shalat ashar saja, bukan shalat dhuhur. (Al-Ausath, 2/245)
Dari dua pendapat yang ada, yang
lebih kuat dari sisi dalil adalah pendapat kedua. Fadhilatusy Syaikh
Muhammad ibnu Shalih Al-Utsaimin t menyatakan siapa yang mendapati satu
rakaat shalat ashar maka tidak wajib baginya mengerjakan shalat dhuhur.
Bila ada wanita yang suci dari haid sebelum tenggelam matahari dengan
kadar ia bisa mendapati satu rakaat shalat ashar dengan sempurna atau
bahkan dua atau tiga, maka wajib baginya mengerjakan shalat ashar
tersebut, dan menurut pendapat yang rajih (kuat) tidak wajib baginya
mengerjakan shalat dhuhur. Karena shalat dhuhur telah lewat dan telah
habis waktunya pada saat si wanita belum termasuk orang yang wajib
shalat (karena masih haid/belum suci). Seandainya shalat dhuhur tersebut
wajib diqadha, niscaya akan diterangkan dalam Kitabullah atau Sunnah
Rasulullah n. Rasulullah n dalam sabdanya:
وَمَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنَ الْعَصْرِ قَبْلَ أَنْ تَغْرُبَ الشَّمْسُ فَقَدْ أَدْرَكَ الصَّلاَةَ
hanya menyebutkan shalat ashar, dan tidak memperingatkan tentang kewajiban shalat yang sebelumnya yaitu dhuhur.
Kalau pun itu merupakan pendapat
ulama, maka pendapat mereka bisa salah dan bisa benar. Dengan demikian,
pendapat yang rajih adalah bila si wanita suci sebelum matahari
tenggelam, tidak ada kewajiban baginya selain mengerjakan shalat ashar
(dengan kadar bisa mendapati satu rakaat yang sempurna). Demikian pula
bila ia suci sebelum berakhir waktu isya, tidak ada shalat yang wajib
ditunaikannya selain shalat isya.
Adapun alasan mereka yang
berpendapat adanya jamak dengan shalat yang sebelumnya karena dua shalat
yang dijamak itu berserikat dalam waktu (dhuhur dengan ashar, maghrib
dengan isya) maka dijawab: Sungguh ucapan mereka itu bertentangan dengan
pendapat mereka yang mengatakan, jika seorang wanita ditimpa haid
setelah masuk waktu dhuhur misalnya padahal ia belum sempat mengerjakan
shalat dhuhur, maka saat suci nanti si wanita tidak wajib mengqadha
selain shalat dhuhur, adapun shalat setelahnya (ashar) tidak wajib
ditunaikannya.
Lalu apa bedanya hal ini?!
Bukankah mereka mengatakan dhuhur dan ashar berserikat dalam waktu saat ada uzur? (Fathur Dzil Jalali wal Ikram, 2/71-72)
Dalil lain yang menunjukkan tidak wajibnya menunaikan shalat yang sebelumnya adalah sabda Rasulullah n:
مَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنَ الصَّلاَةِ فَقَدْ أَدْرَكَ الصَّلاَةَ
“Siapa yang mendapati satu rakaat dari shalat maka sungguh ia telah mendapati shalat tersebut.” (Muttafaqun alaihi)
Huruf alif lam pada kata ash-shalah adalah lil ‘ahd (menunjukkan
sesuatu yang sudah diketahui/tertentu) yakni seseorang mendapati satu
rakaat dari shalat tertentu, bukan shalat yang sebelumnya karena sama
sekali ia tidak dapatkan waktunya.
Sementara atsar dari sahabat,
kalau memang shahih, maka dibawa kepada makna kehati-hatian saja, karena
khawatir penghalang untuk mengerjakan shalat telah hilang sebelum habis
waktu shalat yang pertama. Terlebih lagi keadaan haid, terkadang si
wanita tidak menyadari ia telah suci dari haidnya terkecuali setelah
lewat beberapa waktu. (Asy-Syarhul Mumti’, 2/135-136)
Tertimpa haid ketika telah masuk waktu shalat
Bila seorang wanita yang suci
mendapati waktu shalat fardhu telah tiba, namun belum sempat mengerjakan
shalat, ia ditimpa haid, apakah ada tuntutan baginya berkenaan dengan
shalat tersebut saat suci nantinya? Ataukah ada uzur untuknya?
Dalam hal ini ahlul ilmi juga berbeda pendapat.
Pendapat pertama: ia
wajib mengqadha shalat tersebut, tanpa membedakan apakah ia hanya
sempat mendapati sesaat dari waktu shalat tersebut,sekadar hanya bisa
bertakbiratul ihram, kemudian haid menimpanya ataukah lebih dari itu.
Demikian pandangan dalam madzhab Hanabilah (Al-Mughni), pendapat Asy-Sya’bi, An-Nakha’i, Qatadah dan Ishaq (Al-Muhalla 1/394).
Dengan dalil, si wanita telah
mendapati bagian dari waktu shalat maka wajib baginya mengerjakannya
saat telah hilang uzurnya, sebagaimana kalau ia suci dan sempat
mendapati sisa waktu shalat walaupun sesaat, maka shalat tersebut wajib
ditunaikannya. (Al-Mughni)
Pendapat kedua: bila
ia mendapati waktu yang cukup untuk mengerjakan shalat tersebut maka
wajib baginya qadha saat suci nanti. Namun kalau waktunya tidak
memungkinkan untuk menyempurnakan shalat maka tidak ada qadha baginya.
Demikian yang dipegangi madzhab Syafi’iyah. (Al-Majmu’, 3/71)
Pendapat ketiga: tidak ada qadha baginya. Ini pendapat Zhahiriyah (Al-Muhalla, 1/394) dan pendapat yang dipilih Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (Majmu’ Fatawa, 23/335). Ini juga merupakan pendapat Hammad bin Abi Sulaiman, Ibnu Sirin dan Al-Auza’i (Al-Ausath 1/247, Al Muhalla).
Dalil mereka, Allah k menjadikan
shalat itu memiliki waktu tertentu, ada awal dan ada akhirnya.
Rasulullah n sendiri pernah mengerjakan shalat di awal waktu dan pernah
pula di akhir waktu. Orang yang menunaikan shalat di akhir waktu
tidaklah dianggap bermaksiat, karena Rasulullah n tidak mungkin
melakukan maksiat. Bila demikian, ketika si wanita belum menunaikan
shalat di awal waktunya, ia tidaklah disalahkan/dianggap berbuat
maksiat. Bahkan hal itu boleh dilakukannya. Ketika ternyata sebelum
shalat itu tertunaikan, haid menimpanya maka kewajiban shalat tersebut
gugurdarinya. (Al-Muhalla 1/394-395, Majmu’ Fatawa, 23/335)
Kalau ada yang membandingkannya
dengan orang yang lupa atau tertidur dari mengerjakan shalat hingga
keluar waktunya[10], maka ini berbeda, kata Ibnu Taimiyah. Orang yang
lupa atau ketiduran, bila memang ia tidak bersengaja menyia-nyiakan
shalat, maka ia mengerjakan shalat tersebut saat ingat atau saat
terbangun, sekalipun waktu shalat telah habis. Penunaian itu bukanlah
teranggap qadha, tapi itulah waktu shalat baginya, sebagaimana sabda
Rasulullah n, “Siapa yang tertidur dari menunaikan shalat atau ia
terlupakan maka hendaklah ia shalat saat ingat, karena itulah waktu
shalat baginya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)[11]
Fadhilatusy Syaikh Ibnu
Utsaimin t menyatakan pendapat yang menetapkan tidak ada qadha bagi si
wanita kuat sekali. Karena tidaklah ia bermaksud meremehkan shalat
dengan sengaja mengulur-ulur pelaksanaannya hingga ia diharuskan
mengqadha shalat yang sempat didapatinya tersebut. Bila si wanita tidak
meremehkan shalat dan ia pun diizinkan menunda shalat selama masih dalam
batasan waktunya, lalu bagaimana kita mengharuskannya melakukan sesuatu
yang sebenarnya tidak wajib baginya? Akan tetapi bila shalat tersebut
diqadha maka itu lebih hati-hati. (Fathu Dzil Jalali wal Ikram, hal. 71)
Beliau t juga mengatakan, tidak
didapatkan penukilan bahwa seorang wanita bila haid di tengah waktu
shalat sementara ia belum sempat menunaikan shalat tersebut, ia
diharuskan mengqadhanya. Hukum asal adalah bara’ah dzimmah. Ini
merupakan alasan yang sangat kuat. Namun kalau toh si wanita
mengqadhanya dalam rangka berhati-hati maka hal itu baik. Akan tetapi
bila ia tidak mengqadhanya, ia tidak berdosa karena ia menunda shalat,
tidak mengerjakannya di awal waktu dalam keadaan waktu shalat masih
ada[12]. (Asy-Syarhul Mumti’, 2/131)
Fadhilatusy Syaikh Shalih bin
Fauzan Al-Fauzan t berkata, “Adapula satu masalah berkaitan dengan
hadits ini[13] yaitu bila seseorang mendapati waktu shalat seperti
shalat ashar misalnya atau waktu dhuhur kemudian dia terhalang oleh satu
perkara yang membuatnya tidak bisa mengerjakan shalat tersebut seperti
kematian atau seorang wanita haid sebelum sempat mengerjakan shalat,
apakah si wanita harus mengqadha shalat yang sempat didapatinya di awal
waktu sebelum akhirnya ia ditimpa haid?
Dalam hal ini ada dua pendapat ulama:
Pertama: ia tidak mengqadha karena diperkenankan baginya menunda pelaksanaan shalat dari awal waktunya.
Kedua: ia mengqadhanya karena ia sempat mendapati shalat tersebut di awal waktunya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t dalam Majmu’ Fatawa (23/334-335)
menukilkan pendapat pertama dari Abu Hanifah dan Malik. Pendapat kedua
beliau nukilkan dari Ahmad dan Asy-Syafi’i. Akan tetapi pendapat pertama
lebih rajih/kuat, dengan alasan si wanita mengakhirkan shalat yang
memang boleh baginya menundanya. Karena waktunya lapang/masih ada, lalu
terjadi suatu perkara yang menghalanginya untuk menunaikan shalat yaitu
haid yang bukan kemauannya sendiri, maka tidak wajib baginya mengqadha
shalat. Demikian pula orang yang meninggal sementara telah masuk waktu
shalat dalam keadaan ia belum sempat shalat, maka orang ini tak berdosa
karena ia mengakhirkan shalat yang memang pada waktu yang
diperkenankan.” (Tashilul Ilmam fi Fiqh lil Ahadits min Bulughil Maram, 2/31-32)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
[1] Harura adalah sebuah negeri
yang berjarak dua mil dari Kufah. Haruri/haruriyah merupakan sebutan
bagi orang yang meyakini madzhab Khawarij, karena kelompok pertama dari
mereka memberontak pada Ali bin Abi Thalib z di negeri Harura ini.
Keyakinan mereka yang disepakati di antara mereka adalah mengambil apa
yang ditunjukkan oleh Al-Qur’an dan menolak secara mutlak tambahan yang
disebutkan dalam hadits. Karena itulah Aisyah xbertanya kepada Mu’adzah
dengan pertanyaan mengingkari. (Fathul Bari, 1/546)
[2] Karena menginginkan ilmu, bukan ingin menentang. (Fathul Bari, 1/546)
[3] Ia mendapati dirinya telah
suci dari haid dalam keadaan masih tersisa waktu shalat namun ketika
selesai mandi suci ternyata waktu shalat telah habis.
[4] Tentunya shalat tersebut baru
ditunaikan setelah mandi suci. Kalau toh, waktu shalat tersebut telah
habis ketika ia selesai mandi maka ia tetap menunaikannya.
[5] Bukan maksudnya ia cukup
mengerjakan shalat subuh satu rakaat atau shalat ashar satu rakaat.
Namun maknanya sekalipun ia hanya sempat mendapati waktu shalat sekadar
menyelesaikan satu rakaat yang sempurna maka ia terhitung telah
mendapati shalat secara sempurna, walaupun rakaat-rakaat yang berikutnya
ia selesaikan dalam keadaan waktu shalat telah habis.
[6] Namun hadits ini jangan
dipahami bahwa seseorang boleh menunda/mengakhirkan shalat ashar hingga
tidak tersisa dari waktunya kecuali satu rakaat, atau boleh mengakhirkan
shalat subuh hingga tidak tersisa dari waktunya kecuali satu rakaat.
Yang semestinya dipahami dari hadits di atas adalah bila seseorang
terhalang oleh suatu perkara, kelelahan yang sangat misalnya, hingga
tidak mampu untuk segera mengerjakan shalat, atau merasa kesakitan dan
menunggu sampai rasa sakit agak reda, atau uzur yang semisalnya –bukan
karena malas, meremehkan dan sengaja mengulur-ulur waktu shalat
sebagaimana perbuatan orang-orang munafik– hingga ketika tiba saatnya ia
shalat, ia hanya mendapati kadar satu rakaat dari shalat tersebut
setelah itu habis waktunya. Kami katakan kepada orang yang keadaannya
demikian, “Engkau telah mendapati shalat tersebut sebagai keutamaan dari
Allah k kepada hamba-hamba-Nya.” (Fathu Dzil Jalali wal Ikram bi Syarhi Bulughil Maram, Ibnu Utsaimin, hal. 71-72)
[7] Perbedaan pendapat ini akan dibicarakan kemudian.
[8] Sebagai tanda waktu subuh telah habis.
[9] Atsar dari Ibnu Abbas z ini diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannafnya (no. 7206) dan selainnya. Namun dilemahkan sanadnya oleh Ibnu At-Turkumani dalam Al-Jauhar An-Naqi, karena dhaifnya perawi yang bernama Yazid bin Abi Ziyad sebagaimana dalam At-Taqrib. Di samping itu, Yazid mudhtharib dalam atsar ini, terkadang ia meriwayatkan dari Miqsam dan terkadang dari Thawus.
Namun Yazid diikuti oleh Laits ibnu Abi Sulaim dari Thawus, dan Atha’ dari Ibnu Abbas z, dalam riwayat Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kurba(1/378). Akan tetapi Laits seorang rawi yang mukhtalith. Ibnu At-Turkumani juga mendhaifkan sanadnya.
Atsar yang kedua dari Abdurrahman bin Auf z, diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf (no.
7204) dan selainnya. Atsar ini dari maula Abdurrahman bin Auf, dari
Abdurrahman, sama dengan atsar Ibnu Abbas. Kata Ibnu At Turkumani, maula
Abdurrahman ini majhul. Abdurrazzaq juga meriwayatkannya dari Ibnu Juraij, ia berkata, “Telah disampaikan oleh seseorang dari Abdurrahman bin Auf…”
Dalam sanadnya kita lihat ada jahalah (hanya dikatakan seseorang tanpa dijelaskan siapa dia) sehingga sanadnya juga lemah. Wallahu a’lam. (catatan kaki Asy Syarhul Mumti’, hal. 133-134)
[10] Orang tersebut tetap wajib
mengerjakan shalat yang luput darinya saat ia bangun atau saat ia ingat
walaupun waktu shalat telah habis.
[11] Sehingga jelaslah perbedaan
antara wanita yang tertimpa haid ketika waktu shalat telah masuk
sementara ia belum sempat mengerjakan shalat tersebut, dengan orang yang
ketiduran atau kelupaan dari mengerjakan shalat.
[12] Beliau memilih pendapat yang mengqadha dalam rangka kehati-hatian, wallahu a’lam. Walaupun di sisi lain beliau menguatkan pendapat yang tidak mengqadha.
[13] Yaitu hadits:
مَن أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنَ
الصُّبْحِ قَبْلَ أَنْ تَطْلُعَ الشَّمْسُ فَقَدْ أَدْرَكَ الصُّبْحَ،
وَمَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنَ الْعَصْرِ قَبْلَ أَنْ تَغْرُبَ الشَّمْسُ
فَقَدْ أَدْرَكَ الصَّلاَةَ